Hoffman juga mengembangkan teori tentang bagaimana empati berkembang dalam diri individu sepanjang hidupnya. Menurutnya, empati berkembang melalui beberapa tahapan yang berkaitan dengan usia dan pengalaman hidup seseorang.
a. Empati pada Anak-Anak
Pada usia dini, empati bersifat lebih afektif dan terbatas pada respons terhadap emosi orang lain yang dekat dengan mereka, seperti orang tua atau pengasuh. Pada tahap ini, anak-anak belum sepenuhnya mampu membedakan antara diri mereka dan orang lain, sehingga mereka lebih cenderung merasakan apa yang orang lain rasakan secara langsung. Sebagai contoh, jika seorang anak melihat temannya jatuh dan menangis, ia mungkin akan merasa tertekan dan cemas karena merasakan kesedihan temannya.
b. Perkembangan Empati pada Usia Sekolah
Seiring bertambahnya usia, anak-anak mulai mengembangkan empati kognitif, yang memungkinkan mereka untuk memahami perasaan orang lain dengan cara yang lebih kompleks. Anak-anak mulai belajar bahwa orang lain dapat memiliki perasaan yang berbeda, dan mereka juga mulai memahami bahwa perasaan tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal dan internal. Mereka mulai mampu berpikir lebih rasional tentang bagaimana perasaan orang lain, meskipun mereka tetap merasakan perasaan tersebut secara emosional.
c. Empati pada Orang Dewasa
Pada orang dewasa, empati menjadi lebih terintegrasi antara aspek afektif dan kognitif. Orang dewasa dapat merasakan emosi orang lain, namun mereka juga dapat menganalisis situasi dengan lebih rasional dan memahami alasan di balik perasaan tersebut. Empati pada orang dewasa sering kali digunakan dalam konteks sosial yang lebih kompleks, seperti dalam hubungan profesional atau saat berinteraksi dengan orang yang memiliki latar belakang budaya atau pengalaman hidup yang berbeda.
4. Teori Empati Hoffman dan Konsep Altruism
Salah satu konsep penting dalam teori empati Hoffman adalah hubungan antara empati dan altruism (perilaku tidak egois). Hoffman berpendapat bahwa empati memainkan peran kunci dalam memotivasi perilaku altruistik. Ketika seseorang merasakan empati terhadap orang lain yang menderita, perasaan tersebut dapat mendorong mereka untuk bertindak demi kebaikan orang lain, bahkan jika tindakan tersebut mengorbankan kepentingan pribadi mereka. Dalam hal ini, empati bukan hanya tentang merasakan perasaan orang lain, tetapi juga tentang bertindak untuk meringankan penderitaan mereka.
5. Empati dan Moralitas
Hoffman juga mengaitkan empati dengan perkembangan moralitas. Menurutnya, kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain merupakan dasar penting bagi perkembangan moral seseorang. Tanpa empati, individu akan kesulitan untuk memahami dampak tindakan mereka terhadap orang lain dan mungkin akan lebih cenderung bertindak egois. Dengan adanya empati, seseorang dapat merasa tergerak untuk bertindak dengan cara yang mendukung kesejahteraan orang lain, yang pada gilirannya mendasari prinsip-prinsip moral.