Mohon tunggu...
Sudirta Lasabuda
Sudirta Lasabuda Mohon Tunggu... -

Dan hanya jika kau peka, maka akan sering kau sadari bahwa saya selalu ada disaat kau, kalian dan mereka serta manusia manusia lainnya sedang merasa tak mengenal saya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pendidikan yang Membebaskan

2 Juli 2016   20:54 Diperbarui: 2 Juli 2016   21:00 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Namun terkadang bagi mereka yang berkompeten di bidang pendidikan akan menyadari bahwa sampai saat ini dunia pendidikan kita masih mengalami “sakit”. Ini disebabkan karena pendidikan yang seharusnya membuat manusia menjadi manusia, berbeda dengan kenyataannya. Seringkali justru pendidikan lah yang tidak memanusiakan manusia. Kepribadian manusia cenderung direduksi oleh sistem pendidikan yang ada dan akan ada.

Tanpa bermaksud menggurui, saya harus memberikan sedikit referensi mengenai realita masalah pendidikan yang dianggap sebagai hal penting yang sedang terjadi disekitar kita. Paling tidak, ini dapat manjadi bahan pembuka pikiran (bagi yang belum paham), atau mencoba untuk jujur (bagi yang sudah paham tapi pura – pura bodoh).

Pertama, bahwa pendidikan khususnya di Indonesia, menghasilkan “manusia robot”. Mengapa demikian? Alasannya sederhana. Hal yang sering disinyalir ialah, pendidikan acapkali dipraktekkan sebagai sederetan instruksi dari guru kepada murid. Apalagi dengan istilah yang sekarang sering digembar – gemborkan hingga sampai dijadikan slogan “pendidikan yang menciptakan manusia siap pakai”. Perlu dipahami, “siap pakai” disini berarti menghasilkan tenaga – tenaga yang dibutuhkan dalam pengembangan dan persaingan bidang industri dan teknologi.

Memperhatikan secara skeptis hal tersebut, akan nampak bahwa manusia dalam hal ini dipandang setara dengan bahan atau komponen pendukung industri. Dan itu berarti, lembaga pendidikan diharapkan mampu menjadi lembaga produksi sebagai penghasil bahan atau komponen dengan kualitas tertentu yang dituntut pasar. Lucunya kenyataan ini justru disambut dengan antusias oleh banyak orang.

Kedua, adalah sistem pendidikan yang top-down (dari atas ke bawah), meminjam istilah yang digunakan Paulo Freire (seorang tokoh pendidik dari Amerika Latin), adalah pendidikan gaya bank. Sistem pendidikan ini sungguh sangat tidak membebaskan. Sebab para peserta didik (murid) dianggap manusia – manusia yang tidak tahu apa – apa. Guru sebagai pemberi, mengarahkan kepada murid untuk menghafal secara mekanis tentang isi pelajaran yang diceritakan. Otak murid dipandang sebagai safe deposit box, dimana pengetahuan dari guru ditransfer kedalam otak murid dan bila sewaktu – waktu diperlukan, pengetahuan tersebut tinggal diambil saja.

Jadi hubungannya adalah guru sebagai subyek dan murid sebagai obyek. Freire mengatakan bahwa dalam pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan kepada mereka yang dianggap tidak mempunyai pengetahuan apa – apa.

Ketiga, dari model pendidikan yang demikian, maka manusia yang dihasilkan hanya siap untuk memenuhi kebutuhan zaman dan bukan bersikap kritis terhadap zamannya. Lihat saja bagaimana kaum muda zaman ini, bukankah begitu gandrung dengan hal – hal yang berbau Barat? Bukan bermaksud anti-Barat kalau hal ini saya kemukakan. Melainkan justru mengajak kita semua untuk melihat kenyataan ini sebagai sebuah tantangan bagi dunia pendidikan kita. Mampukah kita menjadikan lembaga pendidikan sebagai sarana interaksi kultural untuk membentuk manusia yang sadar akan tradisi dan kebudayaan serta keberadaan masyarakatnya, sekaligus mampu menerima dan menghargai keberadaan tradisi, budaya, dan situasi masyarakat lain? Dalam hal ini makna pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan untuk direnungkan.

Kembali ke hakikatnya, dalam Pendidikan yang membebaskan, hubungan antara guru dan murid bersifat membebaskan, yaitu masing – masing pihak mencoba untuk membangkitkan kemampuan yang dimilki oleh pihak lain dan menjadikannya dapat tersedia satu bagi yang lain. Misalnya kalau seorang murid menghendaki seorang guru, maka dia harus memberikan kebebasan kepada orang itu untuk menjadi gurunya dengan membagikan pengalaman sebagai sumber pemahaman dan pengertian. Dalam pengertian ini, guru menjadi sahabat bagi murid

Pendidikan/Pengajaran yang membebaskan terjadi dalam dua arah. Guru belajar dari murid dan murid juga belajar dari guru. Singkatnya, guru dan murid adalah teman seperjalanan mencari yang benar, bernilai dan sahih serta saling memberikan kesempatan untuk berperan satu terhadap yang lain. Seorang guru tidak mesti takut jika murid lebih mengerti tentang pelajaran yang diberikan. Dan tidak perlu merasa kehilangan kehormatan, karena justru yang demikian guru telah membebaskan murid dari perasaan takut dan memberikan kepada murid kebebasan untuk berkembang.

Pengajaran bukannya untuk mengasingkan dengan mengarahkan kesadaran murid keluar dari dirinya sendiri dan menjauh dari hubungannya yang langsung dengan kenyataan saat ini dalam diri dan lingkungannya. Akan tetapi pengajaran harus mengaktualisasikan. Begitulah cara kerja pendidikan yang membebaskan.

Sampai di ujung tulisan ini, satu hal yang nampak mengemuka adalah, betapa ideal dan agungnya pendidikan itu (selagi kita tidak membuatnya menyimpang). Namun sebagaimana hal lainnya yang ideal dan agung, acapkali dapat mengerutkan dahi kita dan tanpa sadar kita menggerakkan otot dada untuk menghela napas panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun