Kau merunduk lalu berpaling
Sanggar tatapanmu
Terukir jelas tanya pada raut wajahmu
Â
Haru .. dan aku tersenyum ..
Mendewasalah..
Hai kamu yang menempati rahim ibu setelah aku
Guratan cahaya itu tak seberapaÂ
Â
Sepiring nasi jadi saksiÂ
Bagaimana kita berbagi
Segelas air jadi saksi
Akrabnya dahaga dan kelegaan
Â
Hai kamu ..Â
Yang bermanja dipangkuan ibuÂ
Merengek dan mengadu
Tentangku yang gemar menggoda
Â
Langkah lugu kitaÂ
Berlarian kian kemariÂ
Menelusuri waktu sehari
Dengan tawa dan air mata
Â
Cemas di sore hariÂ
Kita pulang dengan raguÂ
Antara kaki dan tanganÂ
Manakah yang disalahkan
Â
Ada tangisan tetap tiap senja
Kita yang keluh tanpa sesal
Berupaya membenarkan diri
Mengadu mencari perlindungan
Â
Dipangkuan pria sederhana
Dua gadis kecil ini bermanja
Kita mulai mengadu
Tentang kaki dan tangan yang disalahkan
Â
Ya .. itulah kita yang beliaÂ
Bermanja dan mengadu
Lugu dan lucuÂ
Haru tuk ku kenang
Â
Disudut teras, pojok halaman depan
Kau duduk termanggu
Wajah kesalmu tak terelakan
Sesekali menghela nafas panjang
Â
Dibawah guratan cahaya bulan
Tiang-tiang tak bernyawa jadi saksi
Kau bersandar dan bergumam
Mengeluhkan kesesakan dalam hati
Â
Aku tertawa geliÂ
Mendewasalah saudaraku
Aku pun telah melewatinya
Tanya dan kesesakan
Â
Kita tak dapat mengadu dan bermanja
Pada pangkuan pria sederhana itu, ayah ..
Apa lagi merengek dan merayu dipangkuan ibu ..
Bermanjalah dengan hembusan angin malam
Â
Berkawanlah dengan tiap kesesakan
Kenalilah kesesakan itu
Pahamilah segala caranya
Niscaya kau dapati jawaban atas tanyamu
Â
Terbiasalah saudaraku
Waktu terus berganti
Keadaan terus berubah
Tetaplah jadi dirimu sendiri
Â
Wajah sanggarmu itu
Wajah sanggarku setahun lalu
Guratan cahaya diwajahmu itu
Guratan cahaya diwajahku setahun lalu
Â
Dian Rusniyanti
Ende, 14 Maret 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H