Mohon tunggu...
Dhyane Permata Widodo
Dhyane Permata Widodo Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Malang

Travelling & Study

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pengaruh Male Gaze dalam Iklan: Perspektif Feminisme dan Pengaruh

13 Desember 2023   18:42 Diperbarui: 13 Desember 2023   18:45 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dalam era media massa yang semakin berkembang dalam inovasi dan teknologi, kita tidak bisa menghindari terlibatnya diri kita dalam aliran informasi yang muncul dan disajikan oleh berbagai platform, seperti televisi, majalah, hingga media online. Dengan adanya perkembangan ini, industri periklanan turut memanfaatkan beragam strategi untuk menyampaikan pesan - pesan pemasaran kepada konsumen. Di antara strategi yang sering digunakan salah satunya adalah penerapan "male gaze" yang secara konsisten digunakan dan memasukkan unsur sensual untuk menarik perhatian khususnya dari pandangan laki-laki.

Menurut Mulvey (1989: 19) male gaze adalah sebuah gagasan dimana wanita menjadi objek seksual dari pandangan pria dan pria mendapatkan kepuasan dari pandangan tersebut. Media massa menggunakan budaya pop untuk mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap sesuatu, baik untuk memahami manusia maupun lingkungan sekitar. Hal ini dapat dilihat terutama dalam penyajian visual yang memasukkan konten sensual yang bertujuan untuk menarik perhatian target pasar. Fenomena ini terbukti berhasil, mengingat banyaknya konten-konten yang menggunakan male gaze sebagai strategi pemasaran.

Saat melihat lebih dekat, media massa menjadi medan subur bagi penerapan male gaze. Iklan di televisi, halaman - halaman berwarna pada majalah, hingga karya fotografi yang kerap kita temui sehari - hari tidak jarang memanfaatkan daya tarik sensual untuk menciptakan daya tarik tertentu. Keberhasilan male gaze dalam menarik perhatian tidak bisa dipungkiri, mengingat selera konsumen yang cenderung merespon merespons positif terhadap muatan sensual dalam konten media. Dengan demikian, kita dengan mudah menemui jejak-jejak male gaze sebagai strategi utama yang digunakan dalam menciptakan konten periklanan.

Konsep Male Gaze sendiri pertama kali diperkenalkan oleh seorang kritikus film Laura Mulvey dalam esainya yang berjudul "Visual Pleasure and Narrative Cinema," yang diterbitkan pada tahun 1975. Mulvey mengembangkan konsep Male Gaze ini sebagai bagian dari analisisnya terhadap struktur naratif dan representasi gender dalam film Hollywood.

Dalam esainya, Mulvey membahas cara pandang pria yang mendominasi dalam produksi dan konsumsi film. Dia berpendapat bahwa kamera, sebagai alat pembuat film yang dikuasai oleh sutradara pria, yang cenderung memandang objek perempuan sebagai objek seksual untuk kepuasan visual pria. Ia menyoroti bahwa perempuan dalam film seringkali dijadikan objek yang dipandang dan diarahkan untuk menyenangkan mata penonton pria, sementara karakter pria lebih sering memiliki peran yang lebih aktif dan kompleks dalam naratif.

Sejarah Male Gaze sejalan dengan perkembangan teori feminis dalam studi film dan budaya populer pada akhir abad ke-20. Konsep ini membuka diskusi penting tentang bagaimana representasi gender dapat mempengaruhi persepsi dan konstruksi sosial tentang perempuan. Selanjutnya, sejumlah teoritikus dan aktivis feminis mengadopsi dan mengembangkan konsep Male Gaze dalam konteks yang lebih luas, termasuk dalam analisis media, iklan, televisi, dan budaya populer secara umum.

Meskipun konsep Male Gaze awalnya muncul dalam konteks film, kini konsep ini terus relevan dalam kajian gender dan budaya populer serta memainkan peran penting dalam upaya untuk meningkatkan kesadaran terhadap stereotip gender dan mempromosikan representasi yang lebih adil dan inklusif dalam media.

Fenomena male gaze dapat dengan mudah ditemukan dalam berbagai media seperti poster, film, majalah, dan televisi, terutama pada dunia periklanan. Standar kecantikan perempuan dalam budaya pop sering kali didefinisikan oleh kulit putih, rambut lurus panjang, tubuh sintal, dan pakaian seksi yang menonjolkan lekuk-lekuk tubuh. Hal tersebut sering digunakan marketing sebagai daya tarik seksual sebagai strategi untuk menarik dan mempertahankan perhatian konsumen. Penelitian Shimp (2003) menunjukkan bahwa iklan dengan daya tarik seksual dapat meningkatkan ingatan, terutama jika terkait dengan kategori produk yang diiklankan. Namun, sebaliknya, jika strategi yang digunakan tidak sesuai dengan produk yang diiklankan, maka malah akan menimbulkan perasaan negatif seperti rasa jijik, malu, atau ketidaknyamanan.

Pentingnya daya tarik fisik dalam mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kecantikan perempuan tercermin dalam iklan Dot Dodo. Perempuan dalam iklan tersebut dijadikan objek seksualitas di mana penonjolan aspek fisik tertentu dianggap sebagai daya tarik. Representasi tubuh perempuan sering kali berada di bawah kendali male gaze, di mana perempuan dianggap sebagai objek fantasi yang harus sesuai dengan keinginan laki-laki. 

Iklan tersebut mencerminkan penerapan teori Male Gaze dengan cara yang mencolok. Male Gaze, yang ditemukan oleh Laura Mulvey, menyoroti dominasi pandangan laki-laki dalam merancang representasi perempuan. Maka dari itu fokus pada bagian tubuh perempuan seperti payudara yang ditayangkan secara berulang - ulang digunakan sebagai strategi utama untuk menarik perhatian konsumen. Fenomena ini menciptakan citra perempuan sebagai objek seksual yang diarahkan untuk memenuhi keinginan pasar. Male Gaze dalam iklan Dot Dodo tidak hanya menciptakan stereotip, tetapi juga memperkuat ketidaksetaraan dalam representasi gender di media.

Bukan sekali atau dua kali perempuan dijadikan sebagai objek dengan menggunakan male gaze untuk kepentingan periklanan seperti ini. Hal tersebut menciptakan citra tubuh perempuan sebagai objek seksual dalam rangka mempengaruhi persepsi dan perilaku konsumen. Representasi male gaze terhadap perempuan sangat dominan, dan tanpa disadari, perempuan dituntut untuk tampil sempurna dalam media dengan bentuk tubuhnya.

Dampak Terhadap Perempuan

Menurut kami male gaze memiliki dampak yang signifikan terhadap persepsi dan peran perempuan di masyarakat. Saat perempuan dipresentasikan melalui pandangan male gaze, bias gender dan stereotip yang menggambarkan perempuan sebagai objek keinginan atau hanya sebagai objek tambahan untuk memenuhi kepuasan visual laki - laki dapat mengakibatkan beberapa konsekuensi negatif. Akan terjadi pembatasan terhadap representasi perempuan sebagai individu yang memiliki keberagaman, kecerdasan, dan kemampuan di luar dimensi fisik dan seksual. Hal ini dapat memperkuat pandangan bahwa nilai perempuan terutama terletak pada penampilan fisik mereka, bukan pada prestasi atau potensi intelektual.

Selain itu, penggunaan male gaze dalam periklanan dapat memperkuat norma-norma sosial yang memandang perempuan sebagai objek pasif yang ada untuk memuaskan pandangan laki-laki. Dengan menghadirkan citra perempuan yang sesuai dengan stereotip gender yang telah ada, periklanan yang menerapkan male gaze dapat secara tidak langsung mengkonfirmasi dan memperpetuasi ketidaksetaraan gender. Ini dapat berdampak pada persepsi masyarakat terhadap peran dan nilai perempuan, menciptakan ekspektasi yang tidak realistis dan membatasi aspirasi mereka dalam kehidupan nyata.

Dalam konteks periklanan yang menggunakan male gaze, dampak psikologis pada perempuan menjadi semakin relevan. Terpaparnya perempuan dalam gambaran yang mereduksi mereka menjadi objek seksual tidak hanya menciptakan tekanan dan ketidakpuasan terhadap tubuh, namun juga merugikan kesehatan mental perempuan serta mempengaruhi persepsi mereka terhadap identitas dan nilai diri. Pemahaman kritis terhadap penggunaan male gaze dalam periklanan menjadi penting dalam rangka mempromosikan representasi yang lebih seimbang dan mendukung perkembangan positif bagi perempuan dalam masyarakat.

Sejalan dengan perspektif feminisme yang ditegaskan oleh Freedman (2002 hal: 7), gerakan ini muncul sebagai keyakinan bahwa laki-laki dan perempuan seharusnya setara derajat. Pemaparan perempuan sebagai objek seksual dalam media dianggap sebagai manifestasi dari penindasan gender yang menjadi fokus gerakan feminis. Kritik terhadap penggunaan male gaze dalam periklanan bukan hanya sebatas masalah estetika, melainkan juga mencerminkan ketidaksetaraan sosial. Oleh karena itu, pemahaman yang lebih mendalam terhadap peran periklanan dalam mempengaruhi pandangan dan persepsi terhadap gender menjadi krusial dalam upaya mengatasi ketidaksetaraan yang terus berlangsung.

Freedman juga menekankan bahwa feminisme sebagai teori tentang penindasan gender (Launius & Hassel, 2014: 4) memberikan perspektif yang kritis terhadap fenomena ini. Selain itu, media, sebagai agen dalam melanggengkan dominasi laki-laki, terlibat dalam menciptakan representasi perempuan yang seringkali berada dalam situasi rentan dan terpapar dalam konteks fantasi seksual laki-laki. Kultur kapitalisme turut memainkan peran dalam menormalisasi pelecehan terhadap perempuan melalui media, sehingga segala bentuk subordinasi terhadap perempuan dianggap wajar.

Melalui media, terutama iklan, stereotip gender diperkuat dan menciptakan pandangan yang tidak realistis tentang perempuan. Representasi perempuan dalam media, yang sering dipandang dari perspektif laki-laki, menguatkan objektifikasi dan fokus pandangan yang terpusat pada sudut pandang laki-laki terhadap perempuan. Dengan demikian, untuk mencapai kesetaraan gender yang diusung oleh gerakan feminis, perlu adanya pemahaman kritis terhadap male gaze dalam periklanan serta upaya untuk mengubah representasi gender yang tercipta melalui media.

Menurut kami, male gaze menciptakan pandangan serta tantangan besar dalam menghadapi objektivitas perempuan, yang mempersempit perempuan menjadi objek seksual dalam media. Konsep ini menimbulkan tekanan pada perempuan, khususnya perempuan muda, sehingga menghasilkan representasi yang sering kali memanfaatkan perempuan sebagai objek eksploitasi. Baik dalam media maupun dalam hubungan interpersonal. Perempuan juga merasa terbebani untuk memenuhi ekspektasi atau harapan pandangan laki - laki terhadap perempuan dalam media terutama iklan. 

Para perempuan merasa terbebani oleh standar yang telah ditanamkan oleh pandangan laki - laki terkait penampilan fisik maupun perilaku sosial. Dalam media yang sering mengekspos citra yang menuntut lebih seorang perempuan bertingkah laki dan berpenampilan. Dalam hal ini, menciptakan tekanan emosional bagi perempuan yang dapat membatasi kebebasan perempuan dalam berekspresi dan berinteraksi sosial yang pada akhirnya menimbulkan perasaan ketidakpuasan serta kehilangan percaya diri jika mereka tidak mampu memenuhi harapan atau ekspektasi laki - laki. Konsep ini menciptakan dinamika sosial yang mempengaruhi cara perempuan memandang diri mereka serta membatasi kebebasan mereka dalam berekspresi. Soroti pencapaian dan perjuangan feminis dalam merespons media yang bias gender.

 

Untuk mengurangi atau mengubah representasi gender yang tidak seimbang dalam media ini dapat menggunakan solusi yang tepat seperti memberikan pendidikan kesadaran gender oleh lembaga pendidikan untuk membantu memperkuat pemahaman sejak dini tentang stereotip gender serta dampaknya dalam media. Memberikan pelatihan serta sosialisasi khusus kepada praktisi media untuk menghindari bias gender. Serta kerjasama antara industri media, aktivis gender, dan komunitas untuk mengidentifikasi, mengkritisi, dan memperbaiki representasi yang tidak seimbang serta menciptakan pandangan yang lebih inklusif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun