Mohon tunggu...
Rahmadhona
Rahmadhona Mohon Tunggu... Administrasi - International Affairs Graduate

"and one day, a girl with book will the girl writing them.."

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Kekerasan Seksual sebagai Senjata Perang

25 Maret 2019   18:00 Diperbarui: 26 Mei 2019   03:20 964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: dw.com/REUTERS/D. Sagoli

Kasus perkosaan terhadap perempuan di daerah konflik bukanlah isu yang baru. Perkosaan telah digunakan berkali-kali sebagai taktik atau senjata dalam perang. Perkosaan merupakan bagian dari kekerasan berdasarkan gender atau yang lebih dikenal dengan Gender Based Violance (GBV), namun GBV mencakup lebih luas tidak hanya berkaitan dengan perkosaan.

Perang dan GBV memiliki keterkaitan yang erat. Dimana perempuan seringkali menjadi korban dalam jumlah besar. Perang seringkali memberikan efek buruk bagi rakyat sipil, terutama perempuan. Meskipun pada dasarnya baik perempuan maupun laki-laki memiliki potensi yang sama menjadi korban, namun mereka mengalaminya dalam bentuk yang berbeda.

Laki-laki umumnya dipaksa untuk pergi berperang dan terbunuh dalam aksi senjata, sementara perempuan mengalami kekerasan seksual, pemaksaan kehamilan, penculikan, perkosaan, perbudakan seksual dan pemaksaan prostitusi.

Sebagai senjata perang, perkosaan digunakan secara strategis dan taktis untuk menaklukan, mengusir atau mengendalikan wanita dan komunitas mereka. Sebagai bentuk penyiksaan yang digunakan untuk mengumpulkan informasi, menghukum, mengintimidasi dan mempermalukan lawannya.

Kejahatan seksual yang terjadi ketika perang seringkali dijadikan alat negosiasi internasional antara pihak yang menang dan yang kalah ketika perang selesai. GBV dan perkosaan massal yang terjadi di negara-negara konflik dapat dikaitkan dengan kajian keamanan dimana perkosaan digunakan sebagai senjata perang melawan negara lain dan perempuan secara keseluruhan.

Kekerasan seksual dan perkosaan pada masa perang pada dasarnya tidak hanya menyerang seseorang saja tetapi juga satu komunitas. Oleh karena itu, seringkali dikatakan perkosaan sebagai alat dan senjata pada saat perang.

Contohnya, seperti yang terjadi di Republik Demokrasi Kongo, kelompok-kelompok bersenjata berpindah dari satu desa ke desa lain dan melakukan perkosaan massal dimana lebih dari 300 orang menjadi korban.

Memang tidak terjadi pembunuhan, namun cara ini terbukti memberikan teror yang tinggi dan untuk menujukkan kekuasaan dan kekuatan. Saat ini, GBV tidak lagi hanya masalah kemanusiaan semata tetapi menyangkut masalah keamanan juga dan menjadi High Political Issues.

Menemukan cara untuk membantu para korban 'forced pregnancy' memang tidak mudah. Strategi 'forcibly impregnating women' adalah sebagian dari taktik melakukan pembersihan etnis yang terjadi dalam konflik-konflik beberapa puluh tahun belakangan ini seperti di Bosnia, Timor Timur, Kosovo, Rwanda dan Sudan

 Perempuan Bosnia yang diperkosa dan hamil menghadapi pilihan yang mengerikan. Beberapa, yang mendapatkan bantuan lebih awal, memilih aborsi.

Yang lainnya melanjutkan kehamilan mereka dan meninggalkan bayi mereka saat lahir tanpa pernah melihat mereka dan banyak pula yang meninggal selama proses persalinan.

Dari sedikit yang menjaga bayi mereka, banyak yang mengalami penolakan dari keluarga mereka.

Di Sierra Leone banyak perempuan diperkosa oleh kelompok bersenjata yang ingin menebar teror kemana pun mereka pergi dan yang lainnya dipaksa untuk menjadi pekerja seks untuk menghidupi diri mereka sendiri dan keluarga mereka.

Berkut merupakan beberapa contoh pemerkosaan yang dijadikan sebagai taktik perang di negara-negara konflik dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir.

1. Bosnia Herzegovina (Baca ini)

Salah satu kejahatan besar dalam Perang Bosnia-Serbia adalah ethnic cleansing yang dilakukan pihak Serbia terhadap Muslim Bosnia. Pembersihan etnis muslim Bosnia diawali dengan pengepungan desa tertentu kemudian menutup akses keluar dan masuk wilayah tersebut.

Seluruh penghuni desa tersebut diminta keluar lalu dikumpulkan kemudian militer Serbia melucuti senjata kaum muslim. Kaum wanita dan anak-anak dipisahkan dari laki-laki.

Wanita dan anak-anak diperbolehkan pergi setelah barang-barang berharga miliknya dirampas, sementara laki-laki digiring untuk dijejalkan ke dalam kamp konsentrasi yang telah disiapkan oleh etnis Serbia.

Sebagian besar kamp-kamp konsentrasi mulai dioperasikan sejak perang dimulai, yaitu sekitar Juni 1992. Sebanyak 170 kamp ditemukan di seluruh Bosnia.

Kamp konsentrasi semula merupakan rumah-rumah penduduk, gedung-gedung pertemuan dan gudang pertanian yang dialihfungsikan sebagai kamp. Dua kamp terbesar tempat menahan orang-orang islam yaitu kamp Omarska dan kamp Trnopolje.

Sumber gambar: republika.co.id
Sumber gambar: republika.co.id
Dalam Perang Bosnia-Serbia, perkosaan dijadikan salah satu strategi perang terhadap wanita muslim Bosnia. War rape masuk ke dalam konvensi genosida karena mempunyai tujuan untuk mengacaukan dan mencegah kelahiran suatu etnik.

Di Bosnia, yang menjadi target pemerkosaan tentara Serbia adalah para perempuan dari etnis muslim Bosnia. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan etnik muslim Bosnia.

Menurut para saksi, perkosaan menjadi strategi perang Serbia yang sangat penting dan diatur secara sistematis.

Kamp yang digunakan perempuan muslim Bosnia berbeda dengan laki-laki. Kamp perempuan disebut juga rape camp merupakan tempat para wanita ini diperkosa secara sistematis dan berulang hingga terbukti bahwa mereka hamil. Diperkirakan 25.000 sampai 50.000 wanita secara sistematis diperkosa selama Perang Bosnia-Serbia dan dilaporkan 20.000 dari perempuan tersebut hamil serta lebih dari 5.000 bayi ditinggalkan di lereng bukit atau dibunuh setelah lahir.

Bayi-bayi ini banyak dibunuh dan dibuang karena wanita yang melahirkannya merasa bahwa mereka adalah suatu aib dan tidak akan diterima dilingkungan mereka.

2. ISIS

Dalam kesaksian dengan identitas yang dilindungi, para wanita Yazidi Irak yang diculik dan dijadikan budak seks oleh kelompok ISIS tersebut mengatakan ISIS menggunakan teknik perkosaan sebagai senjata untuk mengubah keyakinan korban.

Eksploitasi seksual terhadap perempuan dan anak-anak di samping perdagangan manusia bertujuan untuk mendanai 'kekhalifahan' itu, juga digunakan untuk melakukan rekrutmen menarik minat pria dari masyarakat muslim yang sangat konservatif dimana seks bebas itu tabu dan berpacaran dilarang agar mau bergabung.

ISIS juga menggunakan kekerasan seksual untuk menyebarkan teror, menganiaya pemeluk agama dan etnis minoritas serta mengancam masyarakat yang menentang ideologinya.

3. Rohingya

Human Rights Watch (HRW) merilis laporan secara khusus terkait kekerasan seksual yang menimpa perempuan Rohingya di Rakhine, Myanmar. Perkosaan menjadi cara yang paling mencolok dan paling efektif yang dilakukan militer Myanmar untuk kampanye pembersihan etnis terhadap warga Rohingya. Kekerasan seksual tersebut telah diperintahkan, dirancang dan dilakukan oleh angkatan bersenjata Myanmar.

Kami berlima, semua perempuan, membawa bayi-bayi kami. Lalu mereka mencengkeram kami, menyeret kami ke dalam sebuah rumah dan menutup pintu.

Cerita Rashida, salah satu korban perkosaan. Di dalam, sejumlah serdadu merampas bayi laki-laki Rashida dan membunuhnya. Para serdadu tersebut mencoba memotong lehernya dan melucuti pakaian perempuan tersebut. Ketika Rashida dalam keadaan tidak sadarkan diri karena diperkosa, para serdadu tersebut membakar rumah tersebut dengan tujuan membiarkan para korbannya tewas terpanggang. Namun, ketika merasakan kulitnya terbakar, Rashida terbangun dan selamat.

Korban lainnya yang menceritakan kisahnya mengatakan,

Mereka mulai menggeledah kami dan melepaskan pakaian kami secara paksa. Sekitar 10 sampai 15 tentara memperkosaku, meninggalkan saya di sana lalu pergi. Seluruh pakaianku penuh darah dan air kencing.

Bahkan berminggu-minggu kemudian, dia masih mengalami pendarahan internal. Namun, stigma yang dideritanya begitu kuat sehingga dia menyembunyikannya bahkan dari dokter, karena takut suaminya akan tahu dan menolaknya.

Suami saya bahkan mengancam akan meninggalkanku jika tidak segera sembuh dari pendarahan.

Di atas merupakan sebagian kecil contoh-contoh yang terjadi di dunia ini. Masih banyak kasus yang mungkin belum diketahui atau kurang menjadi perhatian dunia.

Dalam perkosaan massal di Nanking, pasukan Jepang memperkosa secara beramai-ramai antara 20.000 hingga 80.000 perempuan China dari berbagai usia. Di lapangan, tentara Jepang bahkan memaksa para bapak memperkosa putri-putrinya dan anak laki-laki memperkosa ibunya.

BBC melaporkan, bersamaan dengan pembersihan etnis pada Perang Bosnia, perkosaan sistematis dilakukan agar perempuan-perempuan Bosnia dan Kroasia melahirkan bayi-bayi Serbia.

Dalam konflik Pakistan dan Bangladesh, para pelaku kekerasan mengatakan mereka memperkosa agar para perempuan Bangladesh mengandung 'anak-anak Punjabi'.

Milisi Janjawid di darfur pada 2004 menggunakan perkosaan massal untuk menghukum, mempermalukan dan mengontrol komunitas-komunitas non-Arab.

Sumber Gambar: tirto.id
Sumber Gambar: tirto.id
Karena perempuan seringkali didudukan sebagai pilar komunitas, sebagai ibu atau calon ibu, daya rusak perkosaan akan mengobrak-abrik masyarakat yang diduduki dan ditaklukan. Kelahiran anak dari perempuan yang diperkosa seringkali dianggap aib.

Rusaknya kepercayaan antar anggota masyarakat dan konflik internal merupakan tujuan yang diperhitungkan dalam strategi perkosaan massal. Efeknya adalah merusak spirit pasukan musuh atau mencegah potensi perlawanan.

Dalam mayoritas kasus perkosaan massal, para pelaku sulit dituntut ke pengadilan. Di antara penyebabnya adalah rumitnya prosedur pembuktian dan situasi menyulitkan korban untuk membuka mulut, serta kuatnya posisi pelaku dalam struktur politik maupun sosial.

Referensi:

1. WOMEN'S HUMAN RIGHTS; Women, war and peace. Amnesty International, p.4.
2. Women, War and Peace: The Independent Experts' Assessment on the Impact of Armed Conflict on Women and Women's Role in Peace-building. Elisabeth Rehn and Ellen Johnson Sirleaf, p. 38-39.
3. Blent Diken dan Carsten Bagge Lausten, "Becoming Abject: Rape as a Weapon of War," Body & Society 11 (2005): 115.
4. Alexandra Stiglmayer, Mass Rape; The War Againts Women in Bosnia-Herzegovina (London: University of Nebraska Press, 1994),  54.
5. Allison Ruby Reid-Cunningham, "Rape as a Weapon of Genocide," Genocide Studies and Prevention: An International Journal 3 (2008): 282-283.
6. www.academia.edu
7. sindonews.com
8. cnnindonesia.com
9. dw.com
10. liputan6.com
11. detik.com
12. tirto.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun