Jika dilihat, kita dapat menemukan ketidakberpihaknya negara terhadap kaum kurang mampu, karena seperti yang sudah dijelaskan tadi bahwa pada akhirnya hanya kelas atas yang mampu mengakses pendidikan dalam Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Untuk dapat menunjang Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dibutuhkan gadget dan internet yang lancar, namun apakah semua masyarakat memiliki gadget dan dapat mengakses internet yang lancar? Kesenjangan sangat jelas terlihat antara masyarakat kaya dan miskin, antara masyarakat kota dan desa. Memang pemerintah sudah memberikan subsidi kuota internet kepada para pelajar untuk menunjang kegiatan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), namun nyatanya hal ini bukan solusi yang tepat, banyak pelajar ataupun guru yang tinggal di wilayah terpencil yang mengakibatkan mereka kesulitan dalam mengakses internet. Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini hanya memberikan dampak positif kepada masyarakat yang memiliki ekonomi yang cukup, berbeda dengan masyarakat yang ekonominya terbilang kurang mampu.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) mengatakan terdapat 68 juta pelajar yang terkena dampak pandemi Covid-19. Pelajar di beberapa daerah banyak yang akhirnya tidak naik kelas dan akhirnya putus sekolah karena Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini. Kemudian seperti yang sudah disinggung tadi bahwa para guru juga merasakan hal yang sama, terlebih para guru yang sudah senior dan tinggal di daerah terpencil. Dimana guru senior biasanya tidak paham menggunakan gadget, karena dari dulu mereka tidak hidup di zaman internet.
SIMPULAN
Kendala Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) dirasakan oleh orang tua, murid, serta guru. Pembelajaran yang mulanya dilakukan secara tatap muka di dalam kelas, untuk sementara pembelajaran dilakukan di rumah, menggunakan alat yang menunjang Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Namun dalam pelaksanaannya, nyatanya tidak semua siswa mampu beradaptasi dalam Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini, mereka justru memanfaatkan waktu tersebut untuk liburan dan bermain game. Orang tua juga merasa terbebani karena harus membagi waktu dalam mengurus rumah, bekerja, dan mendampingi anaknya untuk belajar dirumah. Guru pun ikut merasakan kendala, yaitu harus menyesuaikan strategi pembelajaran, dan lain-lain. Ditambah lagi masyarakat yang memiliki perekonomian yang kurang, akan lebih merasa terbebani akan adanya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini, dimana tentunya mereka akan sulit menyiapkan alat yang menunjang pembelajaran, sulit mengakses internet bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan atau wilayah terpencil. Yang sangat merasakan kendala Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) tentunya banyak dari masyarakat kurang mampu. Bagi masyarakat yang perekonomiannya cukup, mereka bisa saja meminta asisten rumah tangga untuk membantu mendampingi anaknya belajar di rumah, dengan fasilitas yang memadai. Namun bagi masyarakat kurang mampu justru mereka akan kesulitan membagi waktunya untuk mendampingi anaknya belajar, dan belum tentu juga mereka mampu memfasilitasi anaknya dalam Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ).
Menurut Marx, masyarakat merupakan struktur yang didalamnya terdapat ketegangan sebagai akibat pertentangan antar kelas sosial sebagai akibat pembagian nilai-nilai ekonomi yang tidak merata didalamnya. Ilmu sosial melihat sistem sosial sebagai hubungan antara bagian-bagian di dalam kehidupan masyarakat terutama tindakan-tindakan manusia, lembaga sosial, dan kelompok-kelompok sosial yang saling mempengaruhi. Dalam tulisan ini, kebijakan pemerintah yaitu Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) menimbulkan kesenjangan yang terjadi antara masyarakat yang perekonomiannya cukup dan masyarakat yang perekonomiannya kurang, kesenjangan terlihat dalam aspek wilayah dimana masyarakat desa atau masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil akan sulit mengakses internet, kemudian dalam memenuhi peralatan yang dibutuhkan untuk menunjang Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Kebijakan ini berpengaruh pada beberapa aspek terutama aspek pendidikan, masyarakat yang memiliki perekonomian kurang yang terkena dampak yang cukup signifikan.
Diluar dari kendala-kendala Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang sudah disebutkan sebelumnya, tentunya juga terdapat beberapa hal baru yang terjadi. Dimana sebelumnya orang tua menyerahkan sepenuhnya pembelajaran kepada guru di sekolah, karena adanya Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) ini, orang tua mulai ikut serta dalam membantu tumbuh kembang anaknya dalam pembelajaran. Orang tua yang sibuk bekerja dan jarang berkomunikasi dengan anaknya, kini mereka akan sering berkomunikasi dirumah dan semakin dekat hubungannya. Para guru juga tentunya dipaksa untuk lebih kreatif dalam menyajikan pembelajaran agar mampu menarik perhatian peserta didik.
Kondisi Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) belum bisa dikatakan menjadi pembelajaran yang ideal, namun ini adalah proses pembelajaran secara darurat. Masih cukup banyak kendala didalamnya sehingga proses pembelajaran belum berjalan secara optimal. Maka, pemerintah harus menyiapkan formula bagi pendidikan kaum miskin, pemerintah harus lebih melihat dan memperhatikan masyarakat yang berada di daerah terpencil, masyarakat yang kurang mampu dan tidak bisa mengikuti kebijakan dan akhirnya terkena dampak dari kebijakan yang dibuat sehingga tidak akan ada kesenjangan lagi dalam pendidikan. Kemudian para guru juga mengambil andil dalam mengatasi kesenjangan dalam pendidikan ini, dimana guru merupakan salah satu yang memiliki peranan besar dalam memajukan dunia pendidikan.
Berdasarkan permasalahan kesenjangan dalam pembelajaran jarak jauh, dapat dikaitkan dengan konsep pendidikan kaum tertindas oleh Paulo Freire. Paulo Freire lahir di Recife, yaitu sebuah kota pelabuhan di Brazil bagian Timur Laut, yang termasuk wilayah kemiskinan dan keterbelakangan. Dimana pendidikan menurut Paulo Freire harus berorientasi untuk membebaskan manusia dari kungkungan rasa takut dan tertekan akibat otoritas kekuasaan (penindasan). Konsep yang ditawarkan oleh Freire ini, secara ideal mestinya mampu menjadi solusi atas bentuk-bentuk ketimpangan sistem pendidikan kita, baik secara teoritik maupun praktik di lapangan. Paulo Freire mengatakan:
"Kelompok yang tertindas perlu berjuang untuk melakukan perubahan terhadap penderitaan yang mereka alami, bukannya menyerah begitu saja. Menyerah pada penderitaan adalah sebuah bentuk penghancuran diri, maka harus ada perubahan yang diyakini dan menggerakkan semangat. Hanya dengan keyakinan ini yang terus menggelora sampai saatnya berjuang, mereka dapat memiliki masa depan yang berarti, bukannya ketidak jelasan yang mengalienasi atau masadepan yang sudah ditakdirkan, namun menjadi tugas untuk membangun, dan ini sebutir benih kebebasan"
DAFTAR PUSTAKA
Akrim, dkk. 2020. “Book Chapter, Covid-19 & Kampus Merdeka di Era New Normal, Ditinjau dari Perspektif Ilmu Pengetahuan”. Medan: UMSU PRESS.