Pendahuluan
Kominfo telah menemukan 203 isu hoax selama masa pemilu 2024. Sebagian besar berita hoax yang ditemukan berasal dari media sosial, dengan total sebanyak 2.882 konten. Penyebaran hoax atau berita palsu di media sosial memang menjadi isu yang sangat memprihatinkan saat ini. Terlebih lagi, isu hoax ketika masa kampanye pemilu selalu meningkat tiap periode.
Jelang pemilu, tim sukses dan pasangan calon berlomba-lomba untuk mendapatkan suara rakyat. Melalui media sosial, pasangan calon membangun citra positif agar dapat meraih elektabilitas yang tinggi. Pasangan calon berusaha sebaik mungkin agar terlihat baik di mata masyarakat dengan mengunggah berbagai kegiatan yang menarik simpati rakyat selama masa kampanye;
Sebagai saluran informasi, media sosial menjadi wadah yang tepat untuk membangun citra pasangan calon. Namun, tidak jarang berita atau unggahan yang beredar di media sosial merupakan berita palsu atau hoax. Hoax biasa dibuat untuk menggiring opini publik dan mengunggulkan atau menjatuhkan kandidat pasangan calon.
Penyebaran hoax tidak terluput dari andil buzzer politik. Dalam kampanye pemilihan presiden di Indonesia, buzzer memiliki peran penting untuk mempengaruhi opini publik, khususnya dalam media sosial. Buzzer politik dapat membuat narasi yang mengundang sensasi agar topik tersebut menjadi viral di dunia maya. Berita yang dibuat oleh buzzer bisa membangkitkan citra pasangan yang didukung sehingga audiens ikut mendukung pasangan calon tersebut. Ada juga berita yang dibuat untuk menjatuhkan dan menjerumuskan lawan agar elektabilitas pasangan lawan berkurang. Tak jarang pula narasi yang diunggah buzzer dapat memicu keributan antar pendukung pasangan calon di media sosial.
Hoax, Buzzer, dan Elektabilitas dalam Pemilu
Hoax atau berita palsu sudah menjadi kata yang tidak asing di telinga masyarakat Indonesia. Hoax adalah informasi palsu atau bohong yang dibuat untuk merekayasa kejadian sebenarnya. Tujuan pembuatan hoax pun bermacam-macam. Dalam pemilu, biasanya hoax disebarkan untuk menggiring opini publik terhadap kandidat pasangan calon.
Ada tiga jenis gangguan informasi berdasarkan kebenaran dan tujuannya, yaitu misinformasi, disinformasi, dan malinformasi. Misinformasi adalah informasi yang tidak akurat sebab kelalaian penulis berita, namun tidak ada tujuan merugikan atau mengelabui audiens. Disinformasi adalah informasi yang salah dan sengaja dibuat dan disebarkan untuk mengelabui penerima. Sedangkan malinformasi adalah informasi yang dibuat berdasarkan fakta sebenarnya, namun dibungkus sedemikian rupa dari sudut pandang tertentu untuk merugikan suatu pihak dan mempengaruhi opini audiens. Dari tiga jenis gangguan informasi yang disebutkan, yang termasuk informasi hoax adalah disinformasi dan malinformasi.
Buzzer adalah istilah yang berkaitan dengan hoax, sebab buzzer kampanye biasa mempengaruhi opini publik dengan menciptakan berita hoax. Buzzer merupakan istilah yang populer mulai tahun 2019, mengacu pada orang-orang yang dibayar oleh pemerintah atau instansi untuk memanipulasi opini publik di media sosial. Â Buzzer dapat dikatakan sebagai suatu profesi di media sosial yang bertugas mengkampanyekan, menyebarkan berita, dan mempengaruhi pendapat audiens di media sosial.
Elektabilitas adalah tingkat keterpilihan partai politik kandidat pasangan calon dalam pemilu. Seringkali, kata elektabilitas dikaitkan dengan popularitas, namun kedua kata ini memiliki arti yang berbeda. Elektabilitas mengacu pada tingkat keterpilihan seseorang dan potensinya untuk menduduki suatu jabatan, sedangkan popularitas mengacu pada ketenaran seseorang.
Seorang kandidat atau pasangan calon dalam pemilu memerlukan elektabilitas dan popularitas yang tinggi. Kedua hal ini dapat meningkatkan potensi pasangan calon untuk menang dalam pemilu. Oleh karenanya, pasangan calon terus berlomba-lomba meraih simpati masyarakat dan membangun citra positif selama kampanye untuk memperbesar peluang terpilih dalam pemilu.
Citra dan elektabilitas menjadi hal yang penting bagi kandidat pasangan calon untuk mendapatkan suara rakyat. Berbagai cara bisa ditempuh agar suatu pasangan calon terlihat baik di mata publik. Pasangan calon sering kali menggunakan jasa buzzer untuk meningkatkan popularitas di media sosial sehingga menjadi pusat perhatian.
Masa kampanye pemilu adalah waktu bagi buzzer untuk aktif di media sosial. Jumlah yang banyak dan tersebar di berbagai platform serta kemampuan untuk menciptakan narasi yang menggemparkan menjadikan buzzer kampanye terkesan sebagai pasukan yang kuat untuk menaikkan citra pasangan calon dukungannya.
Dalam penyebaran berita, tentu saja buzzer memikirkan secara matang narasi seperti apa yang mampu mempengaruhi opini audiens. Buzzer bisa menciptakan berita yang diambil dari sudut pandang tertentu untuk menjatuhkan pihak lawan dan menaikkan reputasi kandidat pasangan calon pilihannya. Tak lupa, narasi yang sensasional akan menaikkan potensi berita untuk viral dan membuatnya cepat menyebar ke semua platform internet.
Berita buzzer yang memanipulasi opini publik dan mempermainkan fakta tentu saja memiliki banyak dampak negatif. Selain merugikan pihak lain, berita palsu yang beredar juga menyebabkan keributan di internet. Berita palsu yang disebar oleh buzzer bisa menimbulkan perdebatan antar audiens. Akibatnya, masyarakat menjadi terpecah-belah dan mucul polarisasi dalam politik.
Ketika hoax menyebar, kepercayaan masyarakat terhadap pasangan calon juga menurun. Tentu saja, kepercayaan masyarakat sangat berpengaruh pada elektabilitas pasangan calon. Tidak hanya pasangan lawan saja yang reputasinya bisa terinjak-injak karena buzzer. Bahkan, jika masyarakat mengetahui ada pasangan calon yang menggunakan jasa buzzer untuk meraih popularitas, citra pasangan calon tersebut tentu saja akan hancur.
Praktik buzzer dalam menyebarkan informasi palsu juga bertentangan dengan prinsip demokrasi di Indonesia. Sebab, buzzer politik sering kali menyebarkan informasi yang manipulatif, penuh ujaran kebencian, dan mempengaruhi opini rakyat. Hal tersebut dapat memecah belah masyarakat dan merusak kepercayaan publik terhadap pemilu.
Ada banyak sekali berita hoax yang disebarkan buzzer di media sosial selama pemilu 2024. Salah satu hoax yang pernah beredar adalah tentang Anies Baswedan, calon presiden nomor urut 1. Sebuah akun Facebook dengan nama Wan Ping mengunggah foto Anies Baswedan yang mengenakan baju putih dan sarung sedang membaca buku. Dalam gambar, Anies Baswedan sedang membaca buku yang berjudul 'Cara Licik Menang Pilpres 2024'. Foto tersebut menyebar dengan cepat di Facebook.
Berita tersebut dinyatakan tidak benar, sebab gambar yang diunggah merupakan hasil manipulasi foto. Foto yang sebenarnya berasal dari akun instagram resmi Anies Baswedan menunjukkan bahwa buku yang dibaca berjudul 'How Democrasies Die'.
Untuk menjaga integritas masyarakat di tengah fenomena buzzer yang bermunculan selama pemilu, media harus berperan aktif dalam memverifikasi kebenaran berita. Maka, media harus bersikap independen dan berpihak pada kepentingan rakyat agar pemilu bisa berjalan secara demokratis. Setiap media harus memberitakan seluruh pasangan calon secara netral dan tidak memihak kandidat manapun. Selain itu, media juga harus mengecek ulang berita yang akan disebarkan agar tidak terjadi misinformasi.
Pada saat ini, media sosial menjadi ranah yang lebih bebas untuk menyebarkan informasi, sehingga banyak berita palsu yang tersebar dan tidak dapat diverifikasi kebenarannya. Hal ini menjadi tantangan bagi media massa dan pemerintah untuk mengatasi dan menghapus jejak persebaran berita palsu. Oleh karenanya, berbagai media massa dan media online di Indonesia bekerjasama dengan Kominfo melalui Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) dan cekfakta.com untuk memverifikasi kebenaran berita yang tersebar. Berita hoax yang ditemukan akan langsung di-take down dan dijelaskan sumber berita dan kejadian yang sebenarnya melalui situs berita online.
Penutup
Pengaruh hoax dan buzzer adalah hal yang sulit untuk diatasi selama masa kampanye pemilu. Tetapi, hal tersebut bukan tidak mungkin untuk diminimalisir. Menjadi masyarakat yang mampu berpikir kritis dan selalu meninjau ulang berita yang tersebar di media sosial dapat melindungi Anda dari pengaruh buzzer yang ingin memanipulasi opini publik. Menjadi seseorang yang skeptis terhadap kebenaran berita juga membuat Anda tidak mudah tertipu dengan citra palsu tokoh publik yang dibuat oleh buzzer.
Kecepatan persebaran informasi dengan adanya media sosial seharusnya bukan menjadi sarana untuk menyebarkan fitnah, kebencian, dan saling menjatuhkan demi meraih elektabilitas. Media sosial seharusnya dimanfaatkan untuk menyebarkan informasi yang positif dan edukatif, dimana masyarakat dan calon pemimpin dapat berpendapat dan bertukar ide melalui media sosial.
Semoga dalam pemilu berikutnya, masyarakat tidak hanya fokus kepada debat politik, penyebaran kebencian, dan penyebaran berita palsu untuk merugikan pihak lain. Namun, kampanye pemilu bisa menjadi ajang edukasi yang menyorot visi dan misi calon pemimpin agar pemilih bisa mempertimbangkan pilihannya dengan baik untuk Indonesia yang lebih sejahtera di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H