Citra dan elektabilitas menjadi hal yang penting bagi kandidat pasangan calon untuk mendapatkan suara rakyat. Berbagai cara bisa ditempuh agar suatu pasangan calon terlihat baik di mata publik. Pasangan calon sering kali menggunakan jasa buzzer untuk meningkatkan popularitas di media sosial sehingga menjadi pusat perhatian.
Masa kampanye pemilu adalah waktu bagi buzzer untuk aktif di media sosial. Jumlah yang banyak dan tersebar di berbagai platform serta kemampuan untuk menciptakan narasi yang menggemparkan menjadikan buzzer kampanye terkesan sebagai pasukan yang kuat untuk menaikkan citra pasangan calon dukungannya.
Dalam penyebaran berita, tentu saja buzzer memikirkan secara matang narasi seperti apa yang mampu mempengaruhi opini audiens. Buzzer bisa menciptakan berita yang diambil dari sudut pandang tertentu untuk menjatuhkan pihak lawan dan menaikkan reputasi kandidat pasangan calon pilihannya. Tak lupa, narasi yang sensasional akan menaikkan potensi berita untuk viral dan membuatnya cepat menyebar ke semua platform internet.
Berita buzzer yang memanipulasi opini publik dan mempermainkan fakta tentu saja memiliki banyak dampak negatif. Selain merugikan pihak lain, berita palsu yang beredar juga menyebabkan keributan di internet. Berita palsu yang disebar oleh buzzer bisa menimbulkan perdebatan antar audiens. Akibatnya, masyarakat menjadi terpecah-belah dan mucul polarisasi dalam politik.
Ketika hoax menyebar, kepercayaan masyarakat terhadap pasangan calon juga menurun. Tentu saja, kepercayaan masyarakat sangat berpengaruh pada elektabilitas pasangan calon. Tidak hanya pasangan lawan saja yang reputasinya bisa terinjak-injak karena buzzer. Bahkan, jika masyarakat mengetahui ada pasangan calon yang menggunakan jasa buzzer untuk meraih popularitas, citra pasangan calon tersebut tentu saja akan hancur.
Praktik buzzer dalam menyebarkan informasi palsu juga bertentangan dengan prinsip demokrasi di Indonesia. Sebab, buzzer politik sering kali menyebarkan informasi yang manipulatif, penuh ujaran kebencian, dan mempengaruhi opini rakyat. Hal tersebut dapat memecah belah masyarakat dan merusak kepercayaan publik terhadap pemilu.
Ada banyak sekali berita hoax yang disebarkan buzzer di media sosial selama pemilu 2024. Salah satu hoax yang pernah beredar adalah tentang Anies Baswedan, calon presiden nomor urut 1. Sebuah akun Facebook dengan nama Wan Ping mengunggah foto Anies Baswedan yang mengenakan baju putih dan sarung sedang membaca buku. Dalam gambar, Anies Baswedan sedang membaca buku yang berjudul 'Cara Licik Menang Pilpres 2024'. Foto tersebut menyebar dengan cepat di Facebook.
Berita tersebut dinyatakan tidak benar, sebab gambar yang diunggah merupakan hasil manipulasi foto. Foto yang sebenarnya berasal dari akun instagram resmi Anies Baswedan menunjukkan bahwa buku yang dibaca berjudul 'How Democrasies Die'.
Untuk menjaga integritas masyarakat di tengah fenomena buzzer yang bermunculan selama pemilu, media harus berperan aktif dalam memverifikasi kebenaran berita. Maka, media harus bersikap independen dan berpihak pada kepentingan rakyat agar pemilu bisa berjalan secara demokratis. Setiap media harus memberitakan seluruh pasangan calon secara netral dan tidak memihak kandidat manapun. Selain itu, media juga harus mengecek ulang berita yang akan disebarkan agar tidak terjadi misinformasi.
Pada saat ini, media sosial menjadi ranah yang lebih bebas untuk menyebarkan informasi, sehingga banyak berita palsu yang tersebar dan tidak dapat diverifikasi kebenarannya. Hal ini menjadi tantangan bagi media massa dan pemerintah untuk mengatasi dan menghapus jejak persebaran berita palsu. Oleh karenanya, berbagai media massa dan media online di Indonesia bekerjasama dengan Kominfo melalui Mafindo (Masyarakat Anti Fitnah Indonesia) dan cekfakta.com untuk memverifikasi kebenaran berita yang tersebar. Berita hoax yang ditemukan akan langsung di-take down dan dijelaskan sumber berita dan kejadian yang sebenarnya melalui situs berita online.
Penutup