Mohon tunggu...
Dhita Shofiana
Dhita Shofiana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Program studi Komunikasi dan Penyiaran Islam / Hobi melukis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pembatasan Konten Media Sosial dalam Perspektif Kebebasan Berpendapat

26 Juni 2023   22:52 Diperbarui: 1 Juli 2023   17:50 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Oleh karena itu, peraturan khusus bukanlah solusi untuk internet. Menurut Antonio (2006), konservatif berpendapat bahwa negara memiliki otoritas untuk menetapkan aturan khusus untuk internet.  Kelompok ini percaya bahwa dunia virtual sama dengan dunia nyata. Akibatnya, pendapat terakhir berasal dari kelompok moderat yang menggunakan regulasi hibrida, yang kombinasi peraturan nasional dan internasional untuk membuat peraturan dunia maya. Ketiganya memberikan alasan pembenar ketika beberapa Negara membatasi akses internet, yang merupakan besarnya pelanggaran terhadap hukum negara dalam mengurangi kebebasan berbicara di internet.

Ketika isu politik tertentu disebarkan, penyaringan dan pemblokiran konten internet secara tidak sengaja sering terjadi dengan tujuan memenuhi kepentingan politik satu pihak dalam bernegara. Salah satu cara baru untuk menahan orang yang mencari, menerima, dan atau memberikan data politik yang sensitif melalui media sosial adalah kriminalisasi pengguna internet.

3. Pengaturan Kebebasan Berekspresi dalam Bermedia Sosial di Indonesia

Bahkan setelah transformasi yang diantisipasi untuk mendorong penggunaan teknologi berdasarkan hak asasi manusia, beberapa ahli berpendapat bahwa Kebebasan berekspresi yang dibatasi oleh UU ITE masih belum memiliki perlindungan hukum terkait manajemen. 

Ini malah membatasi aktivitas masyarakat sipil. Sebelum perubahan, masyarakat sipil banyak dikriminalisasi karena limitasi pada kebebasan berekspresi di internet dan media sosial, terutama pasal 27, 28, dan 29. Karena kebebasan berekspresi dilarang oleh UU ITE, setiap orang yang menggunakan media sosial dapat secara tidak langsung menjadi tersangka dalam pencemaran nama baik, yang sangat subjektif, masyarakat dipandang takut untuk menyuarakan aspirasinya.

Kesimpulan

Dalam upaya menjaga ketertiban publik dan melindungi masyarakat dari ancaman tertentu, perlu ada keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan pers. Dalam mengatur konten di media sosial, aturan yang lebih ketat dan transparan harus menjadi prioritas utama. Selain itu, kolaborasi antara pemerintah, perusahaan teknologi, dan masyarakat luas sangat penting.

Dari sudut pandang hak asasi manusia, pembatasan dapat dilakukan sepanjang diatur oleh hukum negara. Sebagai bagian dari ekspresi, pembatasan seperti ini dapat dilakukan di media sosial. Ini membuat masyarakat takut untuk menyatakan pendapatnya karena kritik atau keyakinan kita terhadap seseorang dapat dikriminalisasi. Tujuan utama UU ITE sangat bagus, tetapi implementasinya menyebabkan banyak interpretasi. Para penegak hukum dan pemangku kekuasaan harus mampu menilai hambatan-hambatan tersebut. Selain itu, hukum HAM internasional harus sesuai dengan hukum nasional. Selain itu, Masyarakat memerlukan lebih banyak bertanggung jawab atas pernyataan mereka di media sosial.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad M. Ramli, “Cyber Law dan Hak dalam Sistem Hukum Indonesia”, Bandung:Penerbit Armico, 2006.

Antonio Segura-Serrano, “Internet Regulation and the Role of International Law,”Max. Planck Yearbook of Anggotated Nation Law, Volume 10, 2006.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun