PENDAHULUAN
Abad ke-21 adalah era teknologi di mana perkembangan teknologi informasi berkembang dengan sangat cepat. Teknologi informasi saat ini juga mengubah cara masyarakat berinteraksi satu sama lain. Teknologi informasi seharusnya dapat meningkatkan kinerja dan produktivitas individu karena memungkinkan orang melakukan berbagai tugas dengan cepat, tepat, dan akurat. Namun, pesatnya perkembangan teknologi informasi juga mengakibatkan tidak adanya batasan wilayah (Ahmad Ramli, 2006).
Dianggap memudahkan hampir segala aspek kehidupan, seperti komunikasi, pendidikan, politik, dan ekonomi, internet diterima baik oleh masyarakat Indonesia. Perkembangan dunia internet telah menciptakan wadah baru, yaitu media sosial, yang memungkinkan internet untuk membantu banyak pekerjaan masyarakat dan menghemat waktu.
Media sosial adalah platform online yang dibuat oleh pengembang untuk memungkinkan orang berinteraksi, berkomunikasi, mengirim pesan, berbagi, dan membangun jaringan. Media sosial, selain berfungsi sebagai alat untuk komunikasi dan informasi, juga telah berkembang menjadi sarana baru untuk masyarakat untuk berkomunikasi. Di media sosial, seseorang dapat mengungkapkan ide, perasaan, dan maksud mereka, baik dari dirinya sendiri maupun dari tanggapan terhadap sesuatu. Ekspresi ini dapat berupa tulisan atau video, gambar, dan lainnya.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengdefinisikan ekspresi sebagai proses pengungkapan atau pengungkapan (memperlihatkan atau menyatakan maksud, gagasan, perasaan, dll.). Pengungkapan dapat berarti mengungkapkan pendapat seseorang tentang sesuatu dari luar atau memperlihatkan, atau menyatakan suatu ide yang murni berasal dari pikiran seseorang. Saat kita hidup di era globalisasi saat ini, informasi dapat menyebar dengan cepat dan dalam jumlah besar berkat wadah yang disebut internet, yang jangkauan internetnya tidak terbatas, memungkinkan setiap pengguna internet untuk menggunakan internet secara bebas kapan saja.Â
Namun, Internet yang tidak terbatas membuat orang menganggap apa pun dapat diakses, sehingga berekspresi di media sosial sering membawa efek negatif. Ini adalah bukti dalam beberapa contoh kebebasan berbicara yang mengandung konten negatif, seperti intimidasi, pencemaran nama baik, dan sebagainya, yang memerlukan proses hukum bagi mereka yang melakukannya.
Oleh karena itu, Pasal 28 E ayat (3) dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (juga dikenal sebagai UUD NRI 1945), Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39 Tahun 1999, dan Undang-Undang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU No. 19/2016) memberikan perlindungan khusus untuk kebebasan berpendapat. Namun, batasan diperlukan agar kelompok tertentu tidak memanfaatkan kebebasan berekspresi ini dengan cara yang tidak adil untuk menghilangkan kehormatan orang lain. Kebebasan berkomunikasi dalam media sosial adalah fokus penelitian ini.
Hak Asasi Manusia (HAM) selalu terkait dengan harga diri seseorang dan Indonesia seharusnya melindungi semua warganya dengan hukum. Indonesia telah menetapkan hukum untuk membatasi kebebasan untuk berkomunikasi melalui internet, khususnya melalui media sosial. UU ITE membatasi kebebasan berbicara di media sosial dengan melarang seseorang secara sengaja menyebarkan dokumen elektronik dan informasi elektronik tanpa izin yang mengandung konten yang melanggar kesusilaan.
Pembatasan ini dibuat oleh negara untuk melindungi hak asasi manusia dan menghormati hak-hak orang lain. Penelitian ini akan mempelajari lebih lanjut tentang cara hukum HAM dan UU ITE melihat pembatasan kebebasan berekspresi di media sosial.
Fokus penelitian ini adalah bagaimana pengurangan konten media sosial berdampak pada kebebasan berpendapat dan pers. Penelitian dilakukan melalui analisis literatur dan wawancara mendalam dengan aktivis hak asasi manusia, jurnalis, pengamat media, dan akademisi.
Penelitian menunjukkan bahwa banyak negara di seluruh dunia mulai melarang konten tertentu di media sosial. Pemblokiran atau sensor informasi yang dianggap mengandung kekerasan, pornografi, atau ujaran kebencian dapat termasuk dalam kategori pembatasan ini. Namun demikian, para penggiat hak asasi manusia sering mempersoalkan tindakan semacam itu karena dianggap merugikan kebebasan berpendapat dan pers.