Mohon tunggu...
Dhita Mutiara Nabella
Dhita Mutiara Nabella Mohon Tunggu... Konsultan - Program Officer Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia - Pendiri Komunitas Cerita Iklim

I am a dedicated sustainability professional with a Master’s degree in Environment and Sustainable Development from University College London and a background from the Faculty of Mathematics and Natural Sciences at the University of Indonesia. In my current role as Senior Consultant for Net Zero Sustainability Transition at Equatorise, an international advisory firm based in London, I collaborate with institutions and governments to support Indonesian corporates and family offices in exploring opportunities within the UK and EU markets. I also help UK and EU-based entities unlock value and thrive in Indonesia, a growing hub in the Indo-Pacific region. My previous experience includes founding Climate Stories (Cerita Iklim), a youth community focused on climate change awareness, and working at the Research Center for Climate Change at the University of Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Swasembada Energi dan Swasembada Pangan, Kunci Kemandirian Bangsa dalam Pidato Pertama Presiden Prabowo Subianto

20 Oktober 2024   12:15 Diperbarui: 20 Oktober 2024   16:45 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.antaranews.com

Hari ini, 20 Oktober 2024, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia untuk periode 2024-2029. 

Kepemimpinan baru ini diharapkan mampu membawa Indonesia menuju kemandirian ekonomi yang lebih kuat, terutama di tengah ketidakpastian global yang semakin meningkat. Dalam pidato perdananya, Presiden Prabowo menekankan dua pilar utama dalam menjaga kemandirian bangsa: swasembada pangan dan swasembada energi.

Presiden Prabowo menegaskan bahwa Indonesia harus mencapai swasembada pangan dan energi dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, mengingat ancaman global terhadap pasokan pangan dan energi. Namun, untuk mencapai ambisi besar ini, berbagai tantangan struktural, ekonomi, dan lingkungan harus dihadapi dengan strategi yang tepat.

Swasembada Pangan: Ambisi Besar di Tengah Tantangan Global

Prabowo Subianto mencanangkan bahwa Indonesia harus mencapai swasembada pangan dalam waktu 4-5 tahun ke depan, dengan target lebih lanjut menjadi lumbung pangan dunia. Ambisi ini sangat penting mengingat fakta bahwa ketergantungan Indonesia pada impor pangan masih cukup besar. 

Data Kementerian Pertanian mencatat bahwa pada tahun 2023, Indonesia masih mengimpor sekitar 7,6 juta ton beras dan 4,3 juta ton kedelai, dua bahan pangan strategis bagi konsumsi nasional. Hal ini menunjukkan tantangan yang harus diatasi untuk mewujudkan swasembada pangan.

Prabowo juga menekankan potensi komoditas lokal seperti jagung, singkong, sagu, dan tebu yang dapat meningkatkan ketahanan pangan nasional. Produksi jagung, misalnya, pada tahun 2023 mencapai 33,2 juta ton, namun masih banyak tantangan dalam rantai pasok dan infrastruktur distribusi. Selain itu, produktivitas lahan pertanian di Indonesia masih relatif rendah jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Thailand dan Vietnam.

Namun, ambisi untuk mencapai swasembada pangan juga harus memperhatikan tantangan lingkungan. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan laju deforestasi tertinggi di dunia. Forest Watch Indonesia melaporkan bahwa antara 2000 dan 2020, Indonesia kehilangan sekitar 24,4 juta hektar hutan, sebagian besar terkait dengan ekspansi lahan pertanian dan perkebunan. Tantangan utama pemerintah adalah memastikan bahwa peningkatan produksi pangan tidak memperburuk kerusakan lingkungan, termasuk deforestasi dan degradasi lahan.

Selain itu, akses terhadap teknologi pertanian modern juga menjadi kunci. World Bank melaporkan bahwa Indonesia tertinggal dalam hal adopsi teknologi pertanian cerdas, yang berpotensi meningkatkan produktivitas dan efisiensi. Untuk mencapai target swasembada pangan, Indonesia perlu mengadopsi teknologi yang lebih maju, termasuk pertanian presisi dan manajemen air yang lebih efisien.

Swasembada Energi: Peluang dan Tantangan Transisi Energi

Selain swasembada pangan, Prabowo juga menegaskan pentingnya swasembada energi sebagai pilar kemandirian bangsa. Indonesia memiliki potensi besar dalam hal sumber daya energi terbarukan, seperti panas bumi, air, dan batu bara. 

Data dari BP Statistical Review of World Energy 2023 menunjukkan bahwa Indonesia adalah produsen batu bara terbesar keempat di dunia, dengan produksi mencapai 564 juta ton pada tahun 2022. Namun, ketergantungan pada bahan bakar fosil masih menjadi tantangan utama dalam transisi menuju energi bersih.

Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan energi panas bumi (geothermal). Dengan cadangan mencapai 23.965 megawatt, Indonesia menjadi negara dengan cadangan panas bumi terbesar di dunia. Namun, hingga tahun 2023, kapasitas terpasang panas bumi baru mencapai 2.276 megawatt, atau hanya sekitar 9,5% dari total potensi yang ada. Ini menunjukkan bahwa pengembangan energi terbarukan di Indonesia masih membutuhkan investasi dan inovasi yang lebih besar.

Prabowo juga menyinggung potensi tanaman seperti kelapa sawit sebagai sumber biofuel yang dapat membantu Indonesia mencapai swasembada energi. Namun, penggunaan kelapa sawit untuk biofuel sering kali dikritik karena dampaknya terhadap lingkungan, terutama terkait dengan deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati. 

Menurut UNDP, produksi minyak kelapa sawit berkontribusi terhadap 25% deforestasi di Indonesia dalam 20 tahun terakhir. Karena itu, untuk mencapai swasembada energi, Prabowo harus memastikan bahwa ekspansi biofuel tidak mengorbankan keberlanjutan lingkungan.

Di sisi lain, potensi energi hidro di Indonesia juga sangat besar. PLN (Perusahaan Listrik Negara) mencatat bahwa potensi energi hidro di Indonesia mencapai 94.476 megawatt, tetapi baru sekitar 7% yang telah dimanfaatkan. 

Pembangunan infrastruktur untuk memanfaatkan potensi ini akan menjadi langkah penting untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan memperkuat ketahanan energi nasional.

Reformasi Subsidi: Mengarahkan Bantuan pada yang Tepat

Salah satu poin penting dalam pidato Prabowo adalah mengenai reformasi subsidi. Prabowo menegaskan pentingnya memastikan bahwa subsidi benar-benar sampai pada masyarakat yang membutuhkan. "Kita harus berani meneliti dan, jika perlu, mengubah cara kita menyalurkan subsidi," ujarnya. Hal ini merupakan langkah yang krusial, mengingat selama ini distribusi subsidi di Indonesia sering kali tidak tepat sasaran.

Menurut data Kementerian Keuangan, pada tahun 2023, pemerintah mengalokasikan sekitar Rp 502,4 triliun untuk subsidi energi, namun masih terdapat ketidakmerataan dalam distribusinya. Kelompok masyarakat yang lebih mampu justru sering kali lebih banyak menikmati subsidi dibandingkan masyarakat miskin. Oleh karena itu, reformasi subsidi yang lebih terarah dengan menggunakan teknologi digital untuk mendistribusikan bantuan secara langsung ke keluarga yang membutuhkan adalah langkah yang sangat diperlukan.

Namun, reformasi subsidi ini juga harus diimbangi dengan penguatan program-program perlindungan sosial, terutama untuk kelompok masyarakat rentan. Bank Dunia memperingatkan bahwa ketergantungan masyarakat pada subsidi energi tanpa disertai dengan reformasi perlindungan sosial bisa memperburuk ketimpangan sosial. Oleh karena itu, Prabowo harus memastikan bahwa setiap langkah reformasi di bidang energi dan pangan tidak hanya berfokus pada efisiensi fiskal, tetapi juga mempertimbangkan dampak sosialnya.

Hilirisasi dan Nilai Tambah Ekonomi

Pidato Prabowo juga menyinggung pentingnya hilirisasi sebagai strategi untuk menambah nilai komoditas dan memperkuat ekonomi nasional. Dengan melakukan hilirisasi, Indonesia dapat mengolah sumber daya alam di dalam negeri dan meningkatkan nilai tambah sebelum diekspor. Sektor pertambangan dan pertanian menjadi fokus utama dalam kebijakan hilirisasi ini.

Namun, meski hilirisasi terdengar menjanjikan, pelaksanaannya memerlukan investasi besar dalam infrastruktur industri dan teknologi. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa pada tahun 2022, sekitar 70% ekspor Indonesia masih berbasis bahan mentah atau setengah jadi, sementara produk dengan nilai tambah tinggi masih relatif kecil. Tantangan utama pemerintah adalah mendorong hilirisasi secara efektif sehingga bisa menciptakan lapangan kerja baru dan mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah.

Menuju Kemandirian yang Berkelanjutan

Pidato pertama Prabowo Subianto menandai komitmen besar terhadap swasembada pangan dan energi sebagai landasan kemandirian bangsa. Namun, ambisi besar ini hanya bisa terwujud dengan perencanaan yang matang dan kebijakan yang tepat sasaran. Data dan teknologi harus menjadi pendorong utama dalam setiap langkah menuju kemandirian tersebut.

Indonesia memiliki potensi besar, baik dalam hal sumber daya alam maupun kapasitas manusia, untuk menjadi negara yang mandiri secara pangan dan energi. Namun, perjalanan menuju swasembada ini tidak akan mudah. Reformasi dalam sektor pertanian, energi, dan subsidi akan menjadi kunci keberhasilan, dengan mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap ekonomi dan lingkungan. 

Jika dikelola dengan baik, swasembada pangan dan energi tidak hanya akan meningkatkan kemandirian bangsa, tetapi juga memastikan bahwa kesejahteraan dan keberlanjutan menjadi warisan bagi generasi mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun