Pembentukan kabinet baru di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto akan menjadi salah satu momen penting bagi arah kebijakan Indonesia dalam lima tahun ke depan. Salah satu isu yang menarik perhatian adalah wacana perubahan struktur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Apakah reformasi ini akan memperkuat upaya pelestarian lingkungan atau justru memperlemah koordinasi dan efektivitas kebijakan?
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah lama memiliki tanggung jawab yang luas dalam pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan. Namun, di tengah meningkatnya tekanan global terkait perubahan iklim dan pelestarian hutan, muncul gagasan bahwa KLHK mungkin perlu dipecah atau dirombak agar dapat berfungsi lebih efisien. Namun, apakah perubahan ini benar-benar diperlukan, atau apakah struktur yang ada hanya perlu diperkuat tanpa harus dipecah?
Tantangan Besar yang Dihadapi
KLHK saat ini menghadapi tantangan yang sangat kompleks, termasuk krisis iklim, deforestasi, dan kerusakan ekosistem yang memerlukan kebijakan terpadu. Indonesia merupakan salah satu negara dengan hutan hujan tropis terbesar di dunia, yang menjadi penopang utama ekosistem global. Namun, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 menunjukkan bahwa laju deforestasi masih cukup tinggi, mencapai 462.400 hektar. Kondisi ini memerlukan pengelolaan yang cermat dan terintegrasi antara upaya konservasi dan kepentingan pembangunan.
Di sisi lain, tekanan untuk mengurangi emisi karbon semakin besar, terutama terkait dengan komitmen Indonesia terhadap Perjanjian Paris. Pemerintah telah berkomitmen untuk menurunkan emisi hingga 29% pada tahun 2030, namun tantangan di lapangan, seperti koordinasi antara sektor kehutanan dan lingkungan, sering kali membuat pencapaian target ini menjadi sulit. Karena itu, wacana mengenai reformasi kementerian ini dianggap sebagai salah satu langkah potensial untuk mempercepat respons terhadap krisis lingkungan.
Peluang dari Reformasi
Salah satu argumen utama yang mendukung perubahan struktur KLHK adalah agar kementerian ini dapat lebih fokus pada tugasnya. Dalam wacana ini, fungsi kehutanan dan lingkungan dapat dipisahkan agar masing-masing mendapatkan perhatian yang lebih spesifik. Misalnya, kementerian yang fokus pada isu lingkungan dapat lebih fokus pada pengendalian polusi, konservasi keanekaragaman hayati, dan mitigasi perubahan iklim. Di sisi lain, sektor kehutanan dapat diarahkan untuk lebih fokus pada pengelolaan hutan yang berkelanjutan dan rehabilitasi lahan kritis.
Pembagian fokus ini diyakini dapat memberikan kementerian-kementerian baru lebih banyak ruang untuk bekerja secara mendalam dan efisien. Selain itu, dengan adanya kementerian yang lebih spesifik, pemerintah dapat lebih mudah dalam menyusun kebijakan yang sesuai dengan tantangan sektoral, baik dari segi pengelolaan hutan maupun pelestarian lingkungan.
Risiko dari Pemisahan Kementerian
Namun, wacana pemisahan KLHK ini tidak lepas dari potensi risiko. Salah satu kekhawatiran utama adalah terjadinya fragmentasi kebijakan. Dalam banyak kasus, isu lingkungan dan kehutanan sangat terkait erat satu sama lain. Misalnya, kebijakan yang terkait dengan penggunaan lahan hutan memiliki dampak langsung terhadap lingkungan, seperti penurunan kualitas tanah dan hilangnya habitat satwa liar. Jika kedua sektor ini dikelola secara terpisah, ada risiko terjadinya disharmonisasi kebijakan, yang pada akhirnya dapat merugikan upaya konservasi.
Selain itu, fragmentasi kelembagaan juga dapat memperlemah koordinasi antar kementerian. Saat ini, KLHK memiliki kewenangan yang terpadu untuk menangani masalah lingkungan dan kehutanan. Dengan adanya pemisahan, bisa jadi terdapat dualisme kebijakan yang membuat implementasi di lapangan menjadi kurang efektif.
Rekomendasi untuk Kabinet Prabowo
1. Optimalisasi Kelembagaan: Jika ada reformasi dalam KLHK, penting bagi pemerintah memastikan struktur kelembagaan tetap kuat dan efisien, baik dalam hal koordinasi kebijakan maupun pelaksanaannya di lapangan. Dengan koordinasi yang baik, kebijakan lingkungan dan kehutanan dapat diterapkan dengan lebih efektif tanpa mengorbankan salah satu aspek.
2. Tingkatkan Sumber Daya dan Kapasitas Teknis: Untuk menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim, diperlukan sumber daya manusia yang kompeten dan peningkatan kapasitas teknis. Pemerintah dapat meningkatkan alokasi anggaran untuk riset dan pengembangan teknologi yang berkaitan dengan mitigasi perubahan iklim, serta memperluas jaringan kerja sama internasional dalam menangani isu-isu lingkungan.
3. Prioritaskan Penegakan Hukum Lingkungan: Salah satu kelemahan yang ada saat ini adalah penegakan hukum lingkungan yang masih lemah. Pemerintah perlu memperkuat upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan, baik melalui pengawasan yang lebih ketat maupun penindakan yang lebih tegas terhadap perusahaan atau individu yang melakukan perusakan lingkungan.
4. Libatkan Masyarakat dalam Proses Pengambilan Keputusan: Pelibatan masyarakat, khususnya masyarakat adat dan kelompok-kelompok lokal, sangat penting dalam upaya pelestarian lingkungan. Pemerintah perlu lebih inklusif dalam merumuskan kebijakan lingkungan dengan mendengarkan suara masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan dan terlibat langsung dalam pengelolaannya.
Wacana reformasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di kabinet Prabowo membuka diskusi yang luas tentang masa depan pengelolaan lingkungan di Indonesia. Meskipun ada argumen yang mendukung pemisahan kementerian ini, pemerintah harus berhati-hati agar langkah tersebut tidak malah melemahkan efektivitas kebijakan lingkungan dan kehutanan. Sebaliknya, penguatan kelembagaan, penegakan hukum, serta peningkatan koordinasi antar sektor dapat menjadi kunci dalam menghadapi tantangan lingkungan yang semakin mendesak.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI