Ancaman Kekerasan Seksual
Belakangan ini kekerasan seksual menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat yang mengundang kekhawatiran masyarakat. Menurut Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan terhadap Perempuan, pelecehan seksual merujuk pada tindakan bernuansa seksual melalui kontak fisik maupun non-fisik yang ditujukan pada bagian tubuh seksual atau seksualitas seseorang.
 Tindakan-tindakan yang tergolong dalam kekerasan seksual meliput siulan, main mata, komentar atau ucapan bernuansa seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan ketidaknyamanan, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin hingga menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan jiwa. Merebaknya fenomena ini dibuktikan dengan berdasarkan data statistik terkini yang menyatakan kekerasan seksual terjadi di Indonesia lebih dari 18.172 korban tercatat.
 Korban terbanyak diketahui berasal dari anak usia sekolah atau sedang mengenyam pendidikan, yaitu anak pada kisaran usia 6-12 Tahun sebanyak 17,6%, remaja awal pada kisaran usia 13-17 Tahun sebanyak 31,5%, dan remaja akhir pada kisaran usia 18-24 Tahun sebanyak 11,4%. Hal ini menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual sebanyak 60,5% terjadi pada anak usia di bawah umur dan juga remaja yang masih dalam masa wajib belajar atau mengenyam pendidikan di bangku sekolah maupun perguruan tinggi.
Merdekakan lingkungan pendidikan dari penjahat kekerasan seksual
Fakta lapangan menunjukkan kasus kekerasan seksual belakangan ini marak terjadi di lingkungan Pendidikan menjadi sebuah fenomena yang sangatlah mengecewakan. Lingkungan pendidikan seharusnya mampu menjadi tempat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bukan malah menjadi lingkungan yang merusak masa depan bangsa.
 Bahkan, pelakunya tak jarang juga berasal dari civitas akademika dimana salah satunya merupakan tenaga pendidik institusi itu sendiri dimana seharusnya guru atau pendidik mampu berperan sebagai tauladan bagi murid.Â
Menurut data yang dilansir oleh Komnas Perempuan terkait kekerasan seksual juga menyebutkan bahwa kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dalam rentang waktu 2015-2021, terdapat 67 kasus kekerasan seksual. Perguruan tinggi sebagai penyumbang kasus terbanyak dan sepanjang Januari-Juli 2022, terdapat 12 kasus kekerasan seksual di sekolah.Â
Sebanyak 25 persen di antaranya terjadi di dalam wilayah kewenangan Kemendikbudristek dan 75 persen di satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama. Wadah pendidikan yang harusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk belajar malah menjadi ancaman bagi mereka saat sedang menempuh  pendidikan. Dari Januari-Juli tercatat 12 kasus kekerasan seksual yang terjadi di 3 (25%) sekolah dalam wilayah kewenangan Kemendikbudristek dan 9 (75%) satuan pendidikan di bawah kewenangan Kementerian Agama.Â
Dari 12 kasus itu, sebanyak 31% kekerasan seksual terjadi pada anak laki-laki dan 69% anak perempuan. Berdasarkan jenjang pendidikan, kasus kekerasan terjadi dijenjang SD sebanyak 2 kasus, jenjang SMP sebanyak 1 kasus, pondok pesantren 5 kasus, madrasah tempat mengaji/tempat ibadah 3 kasus; dan 1 tempat kursus musik bagi anak usia TK dan SD.Â
Sangatlah miris dimana data lapangan menunjukkan bahwa para korban banyak berasal dari anak di bawah umur dan juga remaja yang masih memiliki masa depan panjang dan bukan untuk dirusak hanya karena dirundung nafsu semata. Hal ini juga tidak terlepas dari trauma yang harus dialami oleh para korban kekerasan seksual baik secara fisik dan psikis terutama di lingkungan pendidikan dimana mereka tidak mendapatkan keamanan secara fisik meupun psikis dari tindak kekerasan kala menimba ilmu.
Berdasarkan Pasal 31 ayat 1 dimana semua warga berhak mendapatkan pendidikan pada kenyataannya mereka malah harus dibayang-bayangi ketakutan dari ancaman kekerasan seksual yang semakin marak terjadi. Menghidupkan lingkungan pendidikan yang aman dan nyaman juga perlu diwujudkan kembali agar generasi bangsa Indonesia mampu terselamatkan dari darurat kekerasan seksual.Â
Dapat melalui penegakan Undang-undang yang baru saja dilahirikan secara sah, yaitu No 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), Undang-undang ini merupakan suatu bentuk komitmen pemerintah dalam memberikan jaminan hak asasi manusia secara menyeluruh, khususnya dari kekerasan dan diskriminasi kepada masyarakat.
Upaya pemerintah selanjutnya juga dengan melayangkan melalui KPAI atau Komisi Perlindungan Anak yang menjamin seratus persen bahwa guru maupun siswa yang ingin melapor kepada pihak yang berwajib akan dijamin perlindungannya terkait kekerasan seksual di sekolahnya.Â
Bahkan kami sudah kerjasama dengan LPSK (Lembaga Perlidungan Saksi dan Korban). Tidak hanya terlindungi dari aspek psikis tapi juga ingin melindungi dari aspek fisik. Mungkin juga ada gangguan-gangguan fisik terhadap pelapor. Kemudian, juga memberikan jaminan pelapor sebagai pihak anonim atau tidak diketahui identitasnya. Kedua kebijakan tersebut harus benar-benar direalisasikan di lapangan agar lingkungan pendidikan mampu merdeka dari ancaman kekerasan seksual.
Kebijakan saja kurang cukup tanpa edukasi didalamnya
Berbagai gerakan telah digalakkan oleh pembuat kebijakan maupun masyarakat, namun edukasi  nampaknya juga tak kalah penting sebagai bentuk langkah preventif kekerasan seksual yang terjadi di kalangan siswa hingga mahasiswa sekalipun. Edukasi dapat diberikan mulai dari lingkungan terdekat berupa peranan keluarga yang menjadi rumah utama dalam mendapatkan pendidikan terutama pendidikan berkarakter.Â
Untuk mereka yang masih di bawah umur dapat dikenalkan sejak dini terkait anggota tubuh, mengedukasi bagian tubuh yang dilarang untuk disentuh oleh orang lain, dan memberikan pemahaman perbedaan sentuhan biasa dengan sentuhan yang mengancam terjadinya kekerasan seksual.Â
Ketika mereka beranjak usia yang dinilai lebih mampu memahami pengetahuan terkait aturan-aturan perilaku sebagai bentuk pendidikan seksualitas dan juga secara terbuka memberikan pengetahuan seksualitas kepada mereka agar mereka tidak mencari tahu dengan sendirinya tanpa arahan, namun dengan bahasa yang sesuai atau tidak secara vulgar dalam menjelaskan.
Kemudian, dengan berkembangnya teknologi informasi harusnya mampu menjadi wadah edukasi bukan menjadi wadah untuk mengulik terutama informasi pribadi korban. Sebab, budaya menyalahkan korban masih sangat sering ditemui apalagi setekah mengulik latar belakang kehidupan yang dimiliki oleh korban.Â
Hal ini tidak jauh berbeda dengan budaya yang menganggap bahwa korban kekerasan seksual merupakan sebuah aib yang seharusnya cukup disembunyikan dan tidak tersuarakan untuk menjaga citra korban.Â
Namun, sebaliknya hal itu malah berarti bahwa mendukung pelaku kekerasan seksual untuk berkeliaran bebas memangsa korban yang lainnya dan tidak adil bagi korban yang menelan tanpa suara trauma fisik dan juga psikis yang diterima.Â
Bukannya malah menjaga citra korban karena tidak mengumbar aib tapi justru mengarah pada pemberian perlindungan citra penjahat yang menjadi pelaku kekerasan seksual. Meskipun sudah dikeluarkan kebijakan untuk melindungi privasi korban kekerasan seksual bagi masyarakat umum juga perlu memahami bagaimana menanggapi kasus-kasus yang marak terjadi saat ini. Bijak dalam menggunakan sarana komunikasi dan informasi juga diperlukan dalam menyikapi isu-isu terkini yang terjadi.
 Kekerasan seksual sudah bukan lagi menjadi kejahatan biasa yang harus dibungkam oleh korban dan dianggap sebagai aib kotor yang merusak nama baik apabila disuarakan.Â
Kekerasan seksual harus dilawan dengan senjata berbagai kebijakan yang digalakkan dan juga melalui edukasi sejak dini agar kekerasan seksual terutama yang terjadi di lingkungan pendidikan tempat mereka meraih cita-cita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H