Mohon tunggu...
Dhita Arinanda
Dhita Arinanda Mohon Tunggu... wiraswasta -

I find inspiration from hearing a song 'Time' by 'Chantal Kreviazuk'

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Masa Depan Rokok Indonesia

10 April 2014   02:10 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:51 1537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pro Kontra Rokok Di Indonesia

Memang kalau membicarakan rokok ini kita seperti makan buah simalakama, di satu sisi kita mengetahui bagaimana bahaya kesehatan yang ditimbulkan, namun di sisi lain kita juga tidak boleh menutup mata bahwa di 2014 ini masih ada 40 juta lebih rakyat Indonesia yang menggantungkan nafkah hidupnya dari Industri rokok tersebut.

Jumlah total industri rokok di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 3000 pabrik, dan di 2014 ini tinggal 1970 pabrik. Berkurangnya secara drastis  Industri rokok (skala kecil-menengah) tersebut disebabkan oleh banyak faktor, selain semakin kompetitifnya persaingan di pasar, faktor lain adalah semakin ketatnya regulasi pemerintah dalam Industri rokok ini.

Regulasi tentang rokok dewasa ini dimulai dengan, PP Nomor 109 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa produk Tembakau bagi kesehatan yang dikeluarkan pemerintah tahun 2012 kemarin yang mengacu pada  Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang dicanangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) 2003 kemarin. Inilah salah satu faktor yang memukul Industri rokok kecil-menengah untuk berhenti melanjutkan produksinya.

Indonesia adalah negara ketiga konsumsi rokok terbesar dunia setelah China dan India. Padahal menurut badan kesehatan dunia WHO, rokok telah menyebabkan kematian 400.000 orang (25.000 orang di antaranya perokok pasif) di tiap tahunya dan jutaan orang sakit serta menjadi tidak produktif, oleh karena itu sangatlah penting adanya promosi tentang bahaya tersebut di tiap dunia, khususnya Indonesia sebagai negara konsusmsi terbesar rokok menurut WHO. Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi pun menyatakan, peran rokok dalam penerimaan APBN hanya berkisar di angka 60 Trilliun, tetapi di sisi lain konsumsi rokok, biaya kesehatan, dan kehilangan nilai ekonomi tenaga kerja produktif akibat rokok dalam setahun mencapai empat kali lipatnya, jadi dalam hal ini ditegaskan oleh Mentri Kesehatan tersebut bahwa rokok lebih banyak kerugianya daripada kelebihanya, sehingga program memperketat Industri rokok kedepanya adalah suatu keharusan, terlebih jika Indonesia menandatangani juga FCTC yang disahkan di tahun 2003 dan sudah diikuti oleh sebagian besar negara asia pasifik.

Bisnis Rokok Indonesia
Sudah kita ketahui bersama, dari dua nama taipan Indonesia terkaya yang dirilis oleh forbes, selalu ditempati oleh Konglomerat Industri rokok di peringkat 1 dan 2, mereka adalah pemilik dari salah satu 'The Big Four' Industri rokok Indonesia, yang sukses dan besar karena kelas produk kretek-nya, produk asli Indonesia yang sangat terkenal di Dunia karena menggunakan campuran cengkeh.

Membicarakan bisnis rokok kretek ini jadi mengingatkan saya terhadap buku dari Mark Hanusz yang berjudul 'The Culture and  Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes'. Yang menjelaskan bagaimana awal sejarah kretek di Indonesia hingga terkenal di seluruh dunia yang seolah-olah menjadi cerita dongeng tentang kejayaan negara ini.

Perlu kita ketahui produk kretek ini dikonsumsi di dalam negri mencapai angka 93% dari total kebutuhan rokok dan dewasa ini angka-nya semakin menurun karena semakin besarnya persaingan dengan rokok putih (Malboro,dll)dan jenis rokok lain. sedangkan di perdagangan Internasional produk kretek ini bisa masuk ke sebagian besar negara Asia, Eropa dan Amerika, bahkan kretek ini dalam sejarahnya pernah merajai pasar rokok di Amerika hingga 100%, itulah yang membuat Amerika menerbitkan UU kontrol Tembakau, yang inti sebenarnya adalah melarang peredaran rokok kretek, yups rasa takut terhadap produk asli Indonesia yang membuat sang negara Adikuasa tersebut mengingkari azaz 'pasar bebasnya' sendiri.

Sedangkan dalam perkembanganya, semakin ketatnya regulasi pemerintah terhadap rokok ini dan semakin intensifnya kampanye anti rokok semenjak 2003, Tetapi dalam kenyataanya ada hal aneh yang terjadi yaitu impor rokok meningkat di tiap tahunya mencapai angka 520.000 ton di tahun kemarin. Selain itu ditengah gencarnya kampanye anti rokok tersebut, yang terjadi malah dua dari 'The Big Four' Raksasa Industri rokok diakuisisi sahamnya oleh asing, yaitu Sampoena oleh Philip Morris dan Bentoel oleh British American Tobacco (BAT), sedangkan di sisi lain banyak sekali dari home Industri rokok yang bangkrut atau gulung tikar karena semakin ketatnya regulasi pemerintah tersebut.

Masih berdasarkan buku dari Mark Hanusz yang berjudul 'The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarettes' tadi perlu kita ketahui, bahwa Philip Morris dan British American Tobacco ini ada dibalik kampanye anti rokok kretek dunia dengan membawa isu kesehatan tentang tingginya kadar tar dan nikotin pada rokok kretek, selain itu mereka juga ada di balik penerbitan PP no.81 tahun 1999, yang memojokan keberadaan produksi kretek dalam negri. Tetapi itu dimentahkan oleh pemerintahan presiden Abdurrahman Wahid yang mengeluarkan pp no. 32 tahun 2000, yang malah menumpulkan keberadaan dua produsen rokok putih dunia tersebut di Indonesia.

Nah berdasarkan uraian tersebut, bukankah sudah jelas apa yang terjadi dengan Industri rokok Indonesia, keberadaan dua raksasa rokok asing tersebut jelas tujuanya ingin merongrong pasar rokok kretek Indonesia dan menggantinya dengan rokok putih, salah satu dari produk unggulan Indonesia yang sangat kuat dan jika dibiarkan akan memiliki nasib yang sama dengan produk terdahulu, sebutlah seperti minyak kelapa dan garam yang telah hancur secara perlahan terlebih dahulu dengan strategi yang sama.

Tentang Kampanye Anti-Tembakau WHO

Sebenarnya data yang diumumkan oleh WHO mengenai jumlah korban dan kerugian akibat rokok ini masih banyak dipertentangkan oleh peneliti-peneliti dunia. berikut ini saya kutip beberapa pihak yang kontra terhadap data kampanye tersebut,

1. Dimulai dari  Hamilton dengan bukunya Nicotine War (Yogyakarta: INSIST Press, 2010), yang secara singkat menjelaskan bahwa Kampanye anti rokok ini merupakan satu bagian dari upaya marketing Industri Farmasi, Tujuanya adalah orang berhenti merokok dengan melakukan treatment (perawatan dan penanganan) terhadap ketagihan nikotin dengan obat-obat. Nah Treatment tersebut adalah kunci marketing dari Industri Farmasi untuk memasarkan produk-produknya dan memperoleh keuntungan yang besar.

2. Menurut  Angell M dalam tulisanya di New England Journal of Medicine, 22 juni 2000 yang berjudul 'The Pharmaceutical Industry : To Whom Is It Accountable ? ', menyebutkan bahwa sepulu perusahaan Industri farmasi terbesar Amerika dilaporkan menghasilkan laba yang sangat besar selama beberapa tahun ini semenjak kampanye Anti-Rokok disuarakan oleh WHO, secara keseluruhan sejauh ini Industri Farmasi merupakan industri yang paling menjanjikan di Amerika Serikat.

3. Menurut David Earnshaw, mantan direktur urusan pemerintah Eropa untuk  Smith Kline Beecham, yang kini menjadi ketua kampanye Oxfam untuk akses terhadap obat-obatan, dalam tulisanya yang berjudul 'Public Citizen Report, Rx R&D Myths : The Case Againts the Drug Industry’s R&D ‘Scare Card,' di 23 Juli 2001. bahwa sejak tahun 1992 menurut peringkat majalah Fortune, besarnya keuntungan perusahaan Farmasi selalu meningkat secara tajam atau bisa di rata-rata sebesar tiga kali keuntungan rata-rata semua industri lain yang tercantum dalam Fortune 500. Yang jika ditotal kapitalisasi pasar dari empat perusahaan Farmasi terbesar Amerika itu jumlahnya bisa melebihi perekonomian India.

4. Menurut  Robert A Levy dan Rosalind B Marimont dalam makalah yang berjudul  'Lies, 'Damned Lies & 400.000 Smoking-Relating Deaths (1998)', menjelaskan bahwa kampanye anti tembakau telah berubah menjadi monster kebohongan dan kerakusan yang banyak dimanfaatkan oleh banyak kepentingan, Ilmu pengetahuan yang benar telah berganti Ilmu pengetahuan yang keliru, dan yang menjadi korban dalam kampanye tersebut adalah kebenaran.

Masih menurut Levy dan Marimont, Angka 400 ribu kematian akibat rokok di Amerika merupakan data yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan, karena menggunakan progam komputer dalam pengambilan data yaitu Smoking Associated Mortality, Morbidity and Econimic Cost (SAMMEC), mereka melakukan metode pengambilan data yang salah, dan terlelu dini mengambil kesimpulan kematian karena rokok. Contohnya : Jika si A yang berbadan gemuk serta mempunyai kadar kolesterol yang tinggi, punya diabetes serta punya riwayat penyakit jantung dalam keturunan, tidak pernah melakukan olahraga dan dia merokok, terus meninggal karena penyakit jantung, maka SAMMEC akan membuat kesimpulan bahwa rokok adalah penyebab kematian si A tersebut, inilah yang disebut terlalu dini dalam mengambil kesimpulan oleh Levy dan Marimont, karena faktor penyakit jantung itu banyak penyebabnya.

Industri Rokok Indonesia Ke Depanya

Berdasarkan data statistik, sebenarnya rokok kretek ini adalah produk yang minim sekali terhadap muatan impor, karena 95% bahan bakunya sudah ada di Indonesia sendiri, karakter Industri yang seperti inilah yang di butuhkan Indonesia dalam rangka mengurangi angka impor, dan karena karakter ini jugalah yang menyebabkan perusahaan rokok Indonesia relatif aman dari badai krisis ekonomi 1998 kemarin, dan tentunya produk seperti ini akan mempunyai daya saing yang sangat tinggi terhadap era globalisasi.

Dari hulu ke hilir Industri rokok ini juga mempunyai nilai tambah lebih tinggi daripada komoditi seperti coklat, tambang, dll, yang hanya mengekspor bahan mentah sehingga nilai plusnya dimiliki negara lain. Kalau rokok mulai dari petani tembakau sudah ada yang menerima langsung yaitu Industri rokok tanpa harus dijual dalam bentuk mentah, dalam rantai ekonomi tersebut terdapat puluhan juta orang yang menjadikanya sebagai lahan untuk mencari nafkah.

Jika regulasi pemerintah tentang tembakau lebih diketatkan lagi dan lebih lebih pemerintah sampai menandatangani Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), dapat dipastikan ini akan membunuh industri rokok menengah dan kecil, apakah pemerintah sudah siap dengan bertambahnya angka pengangguran ketika itu terjadi ? disini seharusnya jadi pertimbangan lebih pemerintah dalam menghadapi permasalahan ini, jangan hanya terkesan menuruti kepentingan pihak lain terutama asing yang datanya juga harus tetap dipertanyakan kebenaranya.

Bukankah lebih bijak jika dalam konteks ini kita berupaya menyelamatkan apa yang bisa diselamatkan di dalam negri ini, daripada menghakimi sesuatu yang masih butuh pengkajian lebih dalam lagi. Andaikan regulasi tersebut benar-benar membunuh Industri rokok kecil-menengah kedepanya, sementara di sisi lain perusahaan rokok asing dalam kenyataanya semakin berkembang ketika itu diterapkan, atau malah jumlah impor rokok kita semakin tinggi, karena pada kenyataanya tidak semudah membalik tangan kita melarang rakyat Indonesia untuk berhenti merokok, sementara Industri rokok lokal sudah pada hancur karena regulasi tersebut. apakah itu tidak akan menjadi blunder bagi kita sendiri ?

Jadi dalam konteks permasalahan ini jika proges akhirnya adalah mengurangi angka perokok di Indonesia, seharusnya pemerintah melakukan itu secara bertahap dan memberi waktu penyesuain bagi Industri yang kecil dan menengah, sementara di sisilain pemerintah berupaya membangun Industri di sektor yang lain untuk solusi pengalihan bidang dan tenaga kerja dari Industri rokok ini. Tentunya ini hanya bisa dilakukan dengan birokrasi pemerintah yang bersih dari sebuah kepentingan tertentu.

Kesimpulan

Industri rokok kretek Indonesia ini sangat istimewa dalam pandangan bisnis, secara perlahan saya menyadari bahwa Industri ini sangatlah berharga jika hanya sekedar di hakimi, di musuhi dan di rampas dengan berbagai cara, industri ini sebenarnya membawa karakter nilai lebih bagi perekonomian Indonesia khususnya mulai dari sektor hilir hingga sektor hulu-nya. Jangan sampai terjadi karena kesalahan pemerintah Industri rokok dalam negri hancur, sementara Industri rokok Asing berkembang, sedangkan di sisi lain pemerintah gagal mengurangi jumlah perokok Indonesia, akan sangatlah ironis sekali jika itu terjadi.

Coba kalau anda pernah ke sentra home Industri rokok kecil-menengah seperti di Kudus Jawa Tengah atau di Malang Jawa Timur, Industri tersebut hanya mengajak para ibu-ibu untuk mencari nafkah dengan melinting rokok, tanpa mereka mempertanyakan apa yang telah diberikan negara kepada mereka sehingga mereka bekerja seperti itu, di situ mereka hanya berusaha untuk menyambung hidup dengan melinting rokok tersebut. Selanjutnya karena kesalahan pemerintah, mereka harus berhenti kerja karena perusahaan rokok dimana mereka mencari uang tadi tutup, akibat dari semakin ketatnya peraturan pemerintah yang terkesan dipukul rata untuk semua Industri rokok baik besar maupun kecil. Cukai yang semakin tinggi bagi mereka merupakan sebuah nilai yang tinggi juga karena akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan mereka, bila dibandingkan dengan kapitalis besar sekelas Sampoerna (Phillip Morris) dan Bentoel (British Tobacco Indonesia).

Jujur sebenarnya saya pesimis terhadap keberadaan Industri rokok Indonesia dewasa ini, jika mengingat dan Bapak Poetra Sampoerna generasi kedua pendiri HM. Sampoerna, beliau ini sangatlah terkenal dengan mental visionernya sebagai pebisnis yang mampu melihat jauh pasar masa depan, saya pribadi seringkali mengikuti langkah atau terobosan bisnis beliau hingga saat ini, beliau selalu membuat sensasi yang terukur dalam dunia bisnis, yang terkadang itu tidak bisa dimengerti atau dipahami orang lain karena mungkin orang lain tersebut belum selevel pemikiran beliau, seperti banyaknya yang terkejut ketika beliau menjual saham mayoritas HM. Sampoerna kepada Philip Morris, dimana ketika di jual HM. Sampoerna sangatlah sehat sekali keuanganya dengan menghasilkan laba yang sangat tinggi, dan saya melihat ini seperti langkah terbaik Bapak poetra Sampoerna dalam menghadapi masa depan Industri rokok Indonesia yang suram, karena dominasi kekuatan asing semakin menancapkan kukunya di sektor Industri ini. Langkah seperti ini terulang ketika Bapak Peter Sondakh melepaskan mayoritas sahamnya di Bentoel kepada British American Tobacco, yang seolah memperkuat argumen yang sedang timbul.

Semoga pemerintah semakin baik mengatasi permasalahan ini kedepanya.

Dhita Arinanda PM

9 April 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun