Mohon tunggu...
dhira kurnia
dhira kurnia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ekonomi Pembangunan 2021

Tertarik dengan dunia ekonomi dan politik, tetapi tertarik juga dengan dunia kepenulisan fiksi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketimpangan Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia

20 Oktober 2024   20:10 Diperbarui: 20 Oktober 2024   20:20 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kematian adalah suatu hal yang tidak dapat diprediksi sama sekali oleh manusia. Namun, kematian tidak pernah luput dari kata mencegah, terutama pada kematian bayi dan ibu. Mendengar kasus kematian ibu dan bayi, mungkin terdengar pedih dan tidak bisa dicegah.

Ketika mendengar angka kematian bayi di Indonesia sedikit cukup melegakan melihat hasil Long Form SP2020 mencapai 16,85 per 1.000 kelahiran hidup. Hal ini tentunya mencapai target dari RPJMN 2020-2024 yang menargetkan 16 per 1.000 kelahiran hidup. Meski begitu, masih cukup jauh dari target Sustainable Development Goals (SDGs), yaitu 12 per 1.000 kelahiran hidup. Justru hanya Provinsi DI Yogyakarta dan DKI Jakarta yang berhasil menebas target tersebut, dengan angka masing-masing 10,9 dan 10,38 per 1.000 kelahiran hidup. Cukup memprihatinkan melihat angka tersebut, bukan?

Di sisi lain, angka kematian ibu masih tinggi, yakni 189 per 100.000 kelahiran hidup. Angka tersebut masih tergolong jauh sekali dengan target SDGs 2030 yang menginginkan angka kematian ibu kurang dari 70 per 100.000 kelahiran hidup. Namun, sedikit optimis dengan target RPJMN 2024 sebesar 183 per 100.000 kelahiran hidup. Tetapi tetap saja, hal ini terlalu banyak faktor yang mempengaruhi angka kematian bayi dan ibu, terutama akses dan kualitas layanan kesehatan di setiap wilayah.

Ketimpangan Wilayah Barat dan Timur 

Salah satu upaya Indonesia dalam menanggulangi angka ini adalah memberlakukan kebijakan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA). Apakah efektif? Iya, jika itu wilayah barat. Wilayah timur menunjukkan ketimpangan cukup signifikan dengan wilayah barat mengenai kematian ibu dan anak. Angka kematian ibu di Papua masih mencapai 565 per 100.000 kelahiran hidup. Berbeda di DKI Jakarta mencapai 48 per 100.000 kelahiran hidup. Bisakah Indonesia masih optimis mencapai target RPJMN 2024 dengan adanya ketimpangan ini?

Memang apa saja yang dapat menyebabkan ketimpangan ini? Mungkin akan terjawab dari perbedaan demografi. Di mana DKI Jakarta merupakan sebuah kota yang sekaligus pernah menjadi Ibu Kota sampai tahun 2024, secara tidak langsung tidak bisa dibandingkan dengan Papua yang didominasi oleh desa dan adat istiadatnya.

Dua faktor terus menyelimuti tingginya kematian ibu dan anak di Papua. Pertama, penyediaan layanan kesehatan belum optimal dalam menjalankan kebijakan dan program kesehatan, membangun infrastruktur, menyalurkan tenaga medis, dan memberikan kualitas pelayanan yang memadai. Kedua, kondisi sosial, budaya, dan ekonomi orang asli Papua (OAP) sebagai pengguna layanan kesehatan turut memengaruhi sulitnya mengakses fasilitas kesehatan yang sudah disediakan.

Meski tergolong rendah, DKI Jakarta juga tidak luput dari angka kematian ibu dan bayi. Jangan pikirkan wilayah Jakarta yang terdapat gedung tinggi dengan lanyard menggantung di leher pekerja, cukup pikirkan wilayah Jakarta di daerah pinggiran dengan sungai kotor dan kemiskinan merajalela. Dari sanalah angka kematian ibu dan bayi muncul. Namun, tidak menutup kemungkinan angka tersebut muncul dari daerah perkotaan.

Pernikahan Dini dan Risiko Kesehatan

Pernahkah kalian mendengar pernikahan dini di drama atau film? Ini sedikit berkesinambungan dengan kematian ibu dan bayi. Pernikahan dini dan seks sebelum nikah telah menjadi tren di masyarakat, terutama di pedesaan. Remaja hanya berpikiran pendek bahwa berhubungan dengan lawan jenis, kemudian semudah itu melahirkan seorang anak dan hidup bahagia bersama pasangan.

Kenyataan di lapangan sangat berbeda. Kehamilan di usia belia memiliki risiko tinggi bagi keselamatan ibu dan bayi, terutama bagi perempuan yang belum siap menjadi ibu secara fisik dan mental. Dalam dunia kedokteran, kehamilan di usia remaja sangat rentan atas sesuatu sehingga tidak dianjurkan untuk mengandung anak pada usia di bawah 20 tahun.

Pernikahan dini bisa disebabkan oleh banyak faktor, bisa berawal dari paksaan maupun ketidakpahaman. Kini masih banyak orang tua menjodohkan anaknya dengan dalih mendapat ekonomi yang lebih baik dari sebelumnya, meski anaknya masih duduk di bangku sekolah. Selain itu, ketidakpahaman remaja yang sedang jatuh cinta sehingga memutuskan berlanjut ke tahap selanjutnya yaitu menikah. Namun, yang sedang marak terjadi ialah terjadinya sebuah insiden telah membuat dunia baru bagi kedua orang pasangan.

Sebuah paksaan dan ketidakpahaman itu akhirnya timbul rasa resah bagi para calon ibu. Sembilan bulan tidak hanya mengandung anak, tetapi juga ditimpa berbagai respons dari kerabat terdekat yang dapat mengganggu secara mental. Minimnya pengetahuan akan pentingnya menjaga kesehatan ibu dan janin, rasa resah turut mengepul dan menyerang mental.

Kentalnya Adat Istiadat yang Tidak Sejalan dengan Kesehatan

Perempuan di wilayah pedesaan diyakini oleh para tetua untuk mengikuti adat istiadat setempat agar ibu dan bayi sehat. Misalnya tradisi di Papua Barat, perempuan dalam masa nifas perlu dipisahkan dari rumah utama ke pondok pengasingan. Persalinan pun tidak dilakukan oleh dokter, melainkan dukun. Hal ini didasari keyakinan turun-temurun bahwa area tubuh perempuan tidak boleh diperlihatkan oleh orang asing, termasuk tenaga medis.

Bayi yang telah lahir langsung dihadapkan oleh keyakinan para tetua, di mana bayi tidak boleh keluar rumah sebelum berusia dua bulan. Sedangkan pada umumnya, bayi perlu dijemur minimal 10 menit walaupun tidak dilakukan setiap hari untuk mencegah bayi dari penyakit kuning. Ditambah lagi, asupan bayi langsung diberikan pisang dan bubur nasi. Padahal, menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), bayi baru lahir sampai umur enam bulan hanya perlu diberikan air susu ibu (ASI). Sudah terlihat bahwa ternyata adat istiadat sudah tidak sejalan dengan layanan bidang kesehatan dan cukup sulit untuk menentangnya.

Tantangan Layanan Kesehatan

Namun, faktor utama yang sudah dipastikan adalah sulitnya akses pelayanan kesehatan. Dana yang digelontorkan untuk pusat kesehatan seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Dekonsentrasi cukup banyak di wilayah terpencil seperti Papua. Tetapi kenyataan di lapangan sangat jauh dari dana tersebut.

Layanan medis seperti puskesmas dibangun di lokasi cukup jauh dari wilayah pemukiman. Hanya membangun puskesmas, tetapi tidak diiringi dengan pembangunan infrastruktur yang memadai untuk mengakses. Tenaga medis yang bekerja nyatanya bukan masyarakat asli sehingga sulit meyakini masyarakat untuk datang ke puskesmas dengan tujuan berobat. Masyarakat masih lebih mempercayai berobat dengan bahan tradisional dan pergi ke dukun.

Hal ini juga terjadi pada pinggiran DKI Jakarta. Selain akses menuju rumah sakit, ditambah pula dengan pemberatan biaya rumah sakit yang tidak sedikit. Masih banyak rumah sakit cukup enggan menerima biaya persalinan ditanggung penuh oleh BPJS.

Harapan Menuju SDGs 2030

Dengan pendekatan kedua wilayah ini, pemerintah perlu fokus kepada infrastruktur dan melakukan sosialisasi untuk mematahkan stigma yang berada di masyarakat agar menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Selain dari pemerintah, remaja perlu sadar bahwa pernikahan dini tidak hanya menghalalkan secara agama, tetapi juga perlu siap secara mental dan fisik.

Masyarakat juga harus sadar bahwa adat istiadat perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman, terutama dalam hal kesehatan. Mempercayai tenaga medis dan layanan kesehatan modern adalah langkah penting untuk menjaga keselamatan ibu dan bayi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun