Pernikahan dini bisa disebabkan oleh banyak faktor, bisa berawal dari paksaan maupun ketidakpahaman. Kini masih banyak orang tua menjodohkan anaknya dengan dalih mendapat ekonomi yang lebih baik dari sebelumnya, meski anaknya masih duduk di bangku sekolah. Selain itu, ketidakpahaman remaja yang sedang jatuh cinta sehingga memutuskan berlanjut ke tahap selanjutnya yaitu menikah. Namun, yang sedang marak terjadi ialah terjadinya sebuah insiden telah membuat dunia baru bagi kedua orang pasangan.
Sebuah paksaan dan ketidakpahaman itu akhirnya timbul rasa resah bagi para calon ibu. Sembilan bulan tidak hanya mengandung anak, tetapi juga ditimpa berbagai respons dari kerabat terdekat yang dapat mengganggu secara mental. Minimnya pengetahuan akan pentingnya menjaga kesehatan ibu dan janin, rasa resah turut mengepul dan menyerang mental.
Kentalnya Adat Istiadat yang Tidak Sejalan dengan Kesehatan
Perempuan di wilayah pedesaan diyakini oleh para tetua untuk mengikuti adat istiadat setempat agar ibu dan bayi sehat. Misalnya tradisi di Papua Barat, perempuan dalam masa nifas perlu dipisahkan dari rumah utama ke pondok pengasingan. Persalinan pun tidak dilakukan oleh dokter, melainkan dukun. Hal ini didasari keyakinan turun-temurun bahwa area tubuh perempuan tidak boleh diperlihatkan oleh orang asing, termasuk tenaga medis.
Bayi yang telah lahir langsung dihadapkan oleh keyakinan para tetua, di mana bayi tidak boleh keluar rumah sebelum berusia dua bulan. Sedangkan pada umumnya, bayi perlu dijemur minimal 10 menit walaupun tidak dilakukan setiap hari untuk mencegah bayi dari penyakit kuning. Ditambah lagi, asupan bayi langsung diberikan pisang dan bubur nasi. Padahal, menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), bayi baru lahir sampai umur enam bulan hanya perlu diberikan air susu ibu (ASI). Sudah terlihat bahwa ternyata adat istiadat sudah tidak sejalan dengan layanan bidang kesehatan dan cukup sulit untuk menentangnya.
Tantangan Layanan Kesehatan
Namun, faktor utama yang sudah dipastikan adalah sulitnya akses pelayanan kesehatan. Dana yang digelontorkan untuk pusat kesehatan seperti Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Dekonsentrasi cukup banyak di wilayah terpencil seperti Papua. Tetapi kenyataan di lapangan sangat jauh dari dana tersebut.
Layanan medis seperti puskesmas dibangun di lokasi cukup jauh dari wilayah pemukiman. Hanya membangun puskesmas, tetapi tidak diiringi dengan pembangunan infrastruktur yang memadai untuk mengakses. Tenaga medis yang bekerja nyatanya bukan masyarakat asli sehingga sulit meyakini masyarakat untuk datang ke puskesmas dengan tujuan berobat. Masyarakat masih lebih mempercayai berobat dengan bahan tradisional dan pergi ke dukun.
Hal ini juga terjadi pada pinggiran DKI Jakarta. Selain akses menuju rumah sakit, ditambah pula dengan pemberatan biaya rumah sakit yang tidak sedikit. Masih banyak rumah sakit cukup enggan menerima biaya persalinan ditanggung penuh oleh BPJS.
Harapan Menuju SDGs 2030
Dengan pendekatan kedua wilayah ini, pemerintah perlu fokus kepada infrastruktur dan melakukan sosialisasi untuk mematahkan stigma yang berada di masyarakat agar menurunkan angka kematian ibu dan bayi. Selain dari pemerintah, remaja perlu sadar bahwa pernikahan dini tidak hanya menghalalkan secara agama, tetapi juga perlu siap secara mental dan fisik.