Presiden Joko Widodo menghadiri sekaligus membuka pertemuan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) di Balikpapan, Kalimantan Timur pada Kamis 23 Februari 2023 yang dapat ditonton melalui siaran langsung YouTube Sekretariar Negara. Presiden menyampaikan pidatonya yang menegaskan pada kepentingan dalam mengutamakan pertumbuhan ekonomi pasca pandemi Covid-19 dengan cara mempercepat perizinan acara/konser, perizinan investasi, serta terkait inflasi daerah.
Dari semua pidato yang disampaikan, banyak media yang malah berfokus pada pernyataan presiden terkait Rp 690 Triliun dana masyarakat yang tersimpan di bank. Â Dengan disampaikannya perihal tersebut, presiden juga menghimbau agar semua kepala daerah dapat mendorong masyarakat untuk membelanjakan simpanan tersebut karena konsumsi masyarakat sangat berpengaruh terhadap pendapatan negara. Apalagi Indonesia sudah mengalami resesi di tahun 2020 dan 2021 yang disebabkan oleh pandemi Covid-19 dan ditambah dengan kenaikan suku bunga global. Kemudian, adanya himbauan bahwa Indonesia pada tahun 2023 akan terkena dampak dari resesi walau presiden tetap optimis akan pertumbuhan perekonomian Indonesia.
Kekhawatiran tersebut juga disebabkan karena konsumsi masyarakat yang membantu sekitar 53-56% terhadap pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Akan tetapi, data pada Badan Pusat Statistik (BPS) malah menunjukkan pertumbuhan konsumsi masih rendah. Sedangkan, simpanan masyarakat di perbankan terus meningkat.
Mengutip data pada Badan Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan bahwa kontribusi konsumsi masyarakat ke pendapatan domestik bruto (PDB) tahun 2022 hanya sebesar 51,87%. Angka ini di bawah tahun 2021 yaitu 54,40%.
Menurunnya pertumbuhan ekonomi pada tahun lalu disebabkan oleh pertumbuhan ekspor meningkat yang pada akhirnya menjadikan surplus nerasa perdangan tertinggi dalam sejarah, sehingga membuat kontribusi ekspor ke PDB naik dan konsumsi masyarakat terlihat kecil. Jadi menurunnya pertumbuhan ekonomi tidak hanya disebabkan oleh konsumsi masyarakat.
Meskipun perekonomian Indonesia pada tahun 2022 sempat diperkirakan tidak terkena resesi, namun nyatanya pada tahun 2022 tercatat 5,31% ekonomi Indonesia bertumbuh dibandingkan dengan tahun 2021 yang hanya sebesar 3,70%
Namun, Pertanyaan Terpenting Adalah Siapa Pemilik Dari Peningkatan Dana Tersebut?
Faktanya dana yang tersimpan senilai Rp 690 triliun itu bukan lah kepemilikan individu masyarakat, melainkan kepemilikan dari perusahaan swasta sebesar Rp 525,05 triliun. Di ikuti BUMN memiliki dana sebesar Rp 102,25 triliun di bank, sementara kepemilikan individu hanya meningkat sebesar Rp 178,55 triliun.
Dikutip dari data LPS, secara bulanan angka naik 2,16% atau senilai dengan Rp 8.203 triliun total simpanan masyarakat di bank. Jika dilihat dari jenis simpanan, maka simpanan deposito mendominasi dengan pangsa 35,8% dengan kenaikan 139%.
Berdasarkan jenis simpanan, simpanan deposito tercatat mendominasi dengan pangsa 35,8%. Seluruh jenis simpanan mengalami kenaikan, tetapi kenaikan terbesar dialami sertifikat deposito yang naik 139%.
Sementara itu, nominal simpanan terbesar pada tiering di atas Rp 5 miliar mencakup 53,4% dari total simpanan. Artinya, total simpanan di atas Rp 5 miliar di Indonesia mencapai Rp 4.380,4 triliun per akhir Desember 2022.
Jadi mayoritas dana yang tertahan di sektor perbankan bukan milik masyarakat, tapi milik perusahaan. Jika dimiliki masyarakat, besar kemungkinan dana tersebut didominasi oleh kepemilikian orang kaya yang memang memiliki kecenderungan menabung yang lebih besar dibanding masyarakat pada umumnya.
Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, penyimpanan dana tinggi di bank sangat berdampak buruk bagi perekonomian negara. Apabila terjadi penurunan konsumsi berarti permintaan terhadap barang dan jasa juga menurun. Menurunya permintaan barang dan jasa ini memaksa perekonomian untuk menurunkan juga produksi barang dan jasa. Penurunan produksi barang dan jasa akan menyebabkan penurunan terhadap perekonomian.
Bagaimana Pendapat Ahli Tentang Ini?
Menurut Presiden RI Rp690 triliun dana masyarakat yang hanya disimpan di bank tidak boleh disepelekan. Sebab, hal ini tidak baik untuk pertumbuhan ekonomi. Begitupun pendapat dari Kepala Ekonom PT Bank Mandiri Tbk. Andry Asmoro menilai ada empat fakta yang menjadi pemicu masyarakat menahan belanja. Pertama, ada kekhawatiran akan kondisi perekonomian ke depan yg menurun terutama berlaku pada masyarakat berpenghasilan tidak tetap dan pengusaha. Kedua, dari catatan Andry, ada kenaikan biaya-biaya yang menekan real income mereka. Selanjutnya, di sisi ritel, dia melihat masih kurangnya promo diskon yang biasanya memicu masyarakat untuk belanja.
Jika mengacu data tabungan dari LPS, kelompok tabungan dengan nominal di atas Rp 5 miliar meningkat tinggi dan jauh di atas level prapandemi. Adapun, hal yang tidak terlihat di kelompok bawahnya. Jadi kelompok atas memang masih menahan belanja. Kondisi ini dikonfirmasi oleh Mandiri Spending Index. Indeks milik Bank Mandiri yang melacak belanja masyarakat ini memperlihatkan bahwa masyarakat di kelompok atas level indeks konsumsinya masih di bawah kelas menengah.
Lebih lanjut, Direktur CELIOS Bhima Yudhistira mengungkapkan empat faktor tambahan yang memicu masyarakat menahan belanjanya saat ini. Menurutnya, masyarakat masih mengantisipasi inflasi atau kenaikan harga barang yang masih tinggi dan masyarakat juga khawatir soal kebijakan pajak terutama pasca kenaikan PPN 11%.
Kemudian, Bagaimana Tanggapan Islam Tentang Menyimpan Uang?
Di dalam Islam, Islam mengajarkan umatnya untuk berbagi dan melarang umatnya menimbun harta. Penimbunan barang dalam bahasa Arab disebut ihtikar. Berasal dari akar kata al-hukrah yang berarti mengumpulkan sesuatu dan menahannya untuk menunggu harga yang tinggi.
Ihtikar merupakan salah satu problem ekonomi cukup serius tidak terkecuali dalam sistem ekonomi Islam yang secara normatif telah memprediksikan hal tersebut. Islam melarang menimbun harta karena dapat menghambat pertumbuhan ekonomi, yang berakibat terjadinya kerugian. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Hasyr: 7 yang artinya "... Supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu."
Beberapa hikmah dari pelarangan praktik larangan menimbun harta adalah, pertama, menjauhkan manusia untuk saling menzalimi. Kedua, memunculkan sifat kedermawanan. Ketiga, penimbunan barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang menjadi penyebab terbesar dari krisis yang dialami oleh manusia karena pelarangangan praktik penimbunan harta mempunyai kemudharatan yang luar biasa, bukan hanya menyangkut masalah ibadah, tetapi juga aspek sosial dan ekonomi.
Tampaknya, masyarakat mulai banyak menyimpan uang sejak pandemi Covid-19 karena muncul stigma ketidakpastian dalam ekonomi yang terdampak juga dari resesi global pada saat itu. Namun, jika kamu memiliki uang lebih memang sebaiknya simpan sedikit untuk konsumsi lebih baik lagi di esok hari. Sebab konsumsi mu juga membantu dalam perputaran ekonomi. Begitupun sebaliknya, jika uang mu pas-pasan akan lebih baik disimpan untuk resiko ekonomi kedepannya.
Kekhawatiran bapak presiden diambil melalui kacamata seorang presiden yang hendak meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara, maka dari itu presiden meminta agar masyarakat bisa berbelanja demi meningkatkan konsumsi masyarakat. Namun, dari sudut pandang keuangan pribadi, jelas masih bisa ditabung itu yang terbaik.
Lalu bagaimana Solusi Yang Tepat?
Dana yang tersimpan memang tinggi namun tetap bergantung kepada si pemilik dana, karna sebagian besar pemilik dana merupakan korporat dan orang kaya. Meminta agar masyarakat belanja bukanlah solusi, maka solusi yang tepat yaitu meminta agar perusahaan dan orang kaya melakukan investasi atau mengoptimalkan simpananya sehingga dapat digunakan untuk konsumsi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H