Wong takon wosing dur angkoro
Antarane riko aku iki
Sumebar ron ronaning koro
Janji sabar, sabar sak wetoro wektu
Kolo mangsane, ni mas
Pamujiku dibiso
Sinudo kurban jiwanggo
Pamungkase kang dur angkoro
Titi kolo mongso
Lantunan lagu Titi Kolo Mongso mengalun lembut dari ponsel saya pagi ini. Terdengar syahdu, sekaligus sendu. Sejatinya, kecintaan saya pada lagu ini sudah dimulai beberapa tahun yang lalu. Bertepatan dengan perkenalan saya dengan sang seniman pelantun lagu, Sujiwo Tejo, melalui bukunya yang berjudul Rahvayana: Aku Lala Padamu. Namun, beberapa hari yang lalu, saya kembali 'dipertemukan' dengan masterpiece ini melalui cara yang tidak terduga.
Beberapa hari lalu, bertepatan dengan perayaan satu suro dalam kalender Jawa, sebuah akun di Twitter mengunggah sebuah video yang berisi lagu Titi Kolo Mongso disertai ucapan selamat atas bergantinya tahun bagi masyarakat Jawa. Cuitan tersebut mendapat berbagai respon dari warganet, namun kebanyakan menyatakan bahwa lagu tersebut terdengar mistis. Beberapa malah mengatakan mereka langsung merinding setelah mendengarnya. Sebagian lain menimpali dengan mitos-mitos mengenai keangkeran tanggal satu suro.
Melihat respon warganet, saya jadi menyadari satu hal. Entah kenapa, lagu yang berbahasa Jawa sering diidentikkan dengan klenik dan sebangsanya. Lagu-lagu ini dianggap erat kaitannya dengan praktek perdukunan dan ilmu hitam. Padahal lagu Titi Kolo Mongso ini memiliki muatan makna yang dalam dan penuh filosofi. Dirilis pada tahun 1998, Sujiwo Tejo mengaku bahwa lirik lagu ini dirampungkan menjelang lengsernya Presiden Soeharto. Dikatakan, lagu ini mengandung warna revolusi dan warna amarah sosial pada masanya.
Untuk memahami maknanya, kita bisa memulai dari tiga larik pertama. /Wong takon wosing dur angkoro/ Antarane riko aku iki/ Sumebar ron ronaning koro (Orang orang bertanya kapan angkara murka berakhir/ Diantara kau dan aku/ Tersebar daun daun kara).
Bait lagu ini dibuka dengan sebuah pertanyaan. Si penanya merupakan orang ketiga yang mempertanyakan hubungan antara “kau” dan “aku”. Di sini, si penutur lagu merupakan orang pertama yaitu tokoh “aku” yang sedang berdialog dengan si “kau” yang nantinya akan dipanggil “ni mas” atau “dinda”.
Terdapat dua konsep murka dalam kepercayaan jawa, yaitu loba murka dan angkara murka. Loba murka adalah nafsu atau kehendak yang menitikberatkan pada kuantitas urusan ragawi. Misalnya keinginan atas makanan, harta benda, hubungan seksual, dan hal lain yang bersifat jasadi serta dalam jumlah yang besar.
Sedangkan, Angkara murka sendiri adalah nafsu atau kehendak yang menitikberatkan pada kehebatan status pencapaian. Misalnya keinginan untuk sangat kaya, sangat luhur, sangat disegani, dan segala kebesaran yang melekat pada dinamika sosial masyakarat yang ada.
Kesimpulannya, Loba murka ini berada di raga dan Angkara murka di jiwa atau hati. Dalam lagu ini, problem yang terjadi antara “kau” dan “aku” lebih spesifik pada makna jiwa atau pada hati nurani. Larik ketiga menerangkan bahwa angkara murka yang terjadi bagaikan daun kara yang gugur dan tersebar. Terjadi di berbagai bidang kehidupan dan bersifat meluas.
Lalu tiga larik berikutnya. /Janji sabar, sabar sak wetoro wektu/ Kolo mangsane, ni mas/ Titi kolo mongso (Bersabarlah untuk sementara waktu/ Suatu ketika, dinda/ Pada suatu ketika).
Kehidupan, dalam larik ini, digambarkan sebagai konsep kesabaran dalam waktu yang sementara. Bahwa kehidupan sejatinya adalah masa kini, masa dimana manusia berharap akan datang suatu perbaikan di masa depan. Masa dimana manusia mengisinya dengan 'sabar', dengan melakukan hal yang benar. Tidak terbawa amarah ataupun nafsu.
Kemudian, pada suatu ketika, akan terjadi hal yang dialami oleh semua makhluk fana. Kematian. Atau dalam budaya Jawa, moksa merupakan sebuah konsep dimana manusia akan kembali ke hakikatnya. Kembali pada ketiadaannya.
Bait terakhir dari lagu ini ditulis dengan cukup lugas. /Pamujiku dibiso/ Sinudo kurban jiwanggo/ Pamungkase kang dur angkoro/ Titi kolo mongso (Doaku semoga/ Semakin berkurang korban jiwa raga/ Pengakhir angkara murka/ Pada suatu ketika).
Sebuah doa dari si “aku” agar semakin berkurangnya korban berjatuhan. Agar angkara murka mencapai akhirnya. Disini digambarkan keinginan tokoh aku untuk menempuh jalan yang benar. Bahwa nuraninya menolak kehendak yang bertentangan dengan kebaikan. Nilai-nilai kemanusiaan yang digenggamnya erat selama menjalani kehidupan yang fana. Kalimat terakhir, titi kolo mongso, menandakan harapan dan keyakinannya, bahwa pada suatu ketika, akan tiba masa yang lebih baik.
Tidak semua lagu berbahasa Jawa mengandung muatan mistis. Sama seperti lagu dari bahasa lainnya, masing-masing mengusung nilai yang ingin disampaikan oleh penciptanya. Begitu pula dengan lagu Titi Kolo Mongso gubahan Sujiwo Tejo.
Lagu ini sejatinya berusaha mengingatkan kita akan waktu yang fana. Dimana kejahatan dan kebaikan saling bersisihan. Namun kita memiliki kuasa atas diri sendiri, untuk memilih jalan mana yang akan ditempuh dalam menjalani kehidupan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H