Setelah Indonesia merdeka, perdana menteri M.Hatta harus mengeluarkan beberapa kebijakan yang tidak popular, diantaranya adalah Rasionalisasi angkatan bersenjata saat masa perang kemerdekaan, dan bentuk konstitusi Republik Indonesia Serikat setelah Perundingan Meja Bundar di akhir tahun 1949. Namun Hatta tidak bergerak sedikit pun, karena untuk saat itu, keputusan tersebut adalah terbaik bagi Indonesia yang masih bayi.
Dunia Internasional pun mengakui kualitas Hatta yang tidak gampang terpropokasi. Dalam masa perang dingin dimana banyak Negara saling memihak blok barat atau timur, tahun 1948 Hatta menyampaikan pidatonya yang berjudul "Mengayuh diantara Dua Batu". Siatu saat nanti ini akan menjadi dasar bagi politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif.
Jabatan tidak pernah menjadi tujuan utama Hatta. Saat DPR dan Konstituante hasil pemilu pertama terbentuk, sang Proklamator mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden di tahun 1956. Menurut Hatta Negara telah membuang-buang uang dengan membayar gajinya, karena dalam cabinet parlamenter, praktis posisi wapres hanya  seremonial. Selain itu, dimasa itu Hatta semakin tidak ada kecokokan dengan Soekarno yang makin otoriter dan dekat dengan unsur komunis.
Pengunduran diri Hatta menimbulkan kehebohan besar. Tidak kurang pemberontakan PRRI di Sumatra menuntut kembalinya Duumvirate Soekarno-Hatta. Namun Hatta tidak pernah tertarik untuk kembali. Hatta pensiun dalam kesederhanaannya. Hatta berbicara ke keluarganya, "Kalau mau, banyak posisi komisaris yang ditawarkan ke saya. Tetapi saya sudah cukup mengantarkan bangsa ini ke kemerdekaan". Dalam satu kisah, saat masih menjadi wapres, istrinya mengeluh karena tabungannya tidak mencukupi lagi untuk membeli mesin jahit idamannya, setelah terjadi pemotongan nilai Oeang Republik Indonesia (ORI). Hatta hanya menjawab bahwa tugas seorang abdi Negara adalah memegang rahasia, dan meminta istrinya untuk bersabar. Sungguh sebuah integrasi yang amat jarang ditemui saat ini.
Lepas dari posisi wapres, Hatta menjadi lebih terbuka dalam mengkritik Soekarno  yang sedang larut dengan Demokrasi Terpimpinnya. Hatta mengencamnya yang memenjarakan Syahrir. Boleh berbeda dalam prinsip politik, namun hubungan sebagai dua orang insan tidaklah boleh terputus. Itu menjadi pegangan oleh Hatta. Di tahun 1970 Hatta adalah satu-satunya orang yang berani terang-terangan mengkritik Pemerintah Orde Baru yang menurutnya tidak manusiawi dalam memperlakukan Soekarno sebagai tahanan politik, Hatta menangis melihat kondisi sahabatnya yang sangat kacau.
Perannya yang mencolok membuat Hatta terpilih Menjadi ketua perhimpunan Indonesia tahun 1925-1930. Selama berada di Belanda, Hatta melakukan komunikasi dengan tokoh pergerakan dunia lainnya seperti Jawaharla Nehru dari India. Hatta pun menjadi wakil Indonesia dalam Gerakan Liga Melawan Imperialisme dan penjajahan, yang berkedudukan di Berlin, Jerman (1927-1931). Aktivitas dan tulisan-tulisan Hatta Rupanya mengacaukan pemerintah colonial Belanda. Maka Hatta ditangkap dan dipenjarakan lagi di Den Haag, Belanda, tanggal 23 September 1927 sampai 22 Maret 1928, karena tulisan-tulisannya di majalah Indonesia Merdeka.
Setelah menyelesaikan belajar dengan titel DRS (Doktorandus), Hatta pulang ke Indonesia tahun 1932 untuk meneruskan perjuangan bagi Indonesia merdeka. Tetapi karena aktivitas, gerakan dan perjuangannya, Hatta kembali dipenjarakan pemerintah Kolonial. Pemerintah Hindia Belanda memenjarakan Hatta di Glodok, Jakarta, tahun 1934. Tempat penahanan Hatta kemudian pindah-pindah. Tahun 1934-1935, dibuang ke Boven Digul, Irian Barat, dan dibuang ke Banda Naira. Selanjutnya dipenjarakan di Sukabumi, Jawa Barat, tahun 1942, dan dibebaskan 9 Maret 1942.
Selama era penjajahan Jepang, Hatta dan para pendiri bangsa lainnya terus giat mempersiapkan Indonesia Merdeka. Bersama Bung Karno, Ki Hadjar Dewantoro, KH Moh Mansyur, mendirikan Putera. Tanggal 7 Agustus 1945, Hatta menjadi wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Sejarah akhirnya mencatat, Hatta bersama Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta. Hubungan Soekarno dan Hatta sempat dituliskan sebagai dwitunggal sebelum Hatta mengundurkan diri 1 Desember 1956.
Sesuai janjinya, Hatta menikah setelah Indonesia merdeka. Ketika berusia 43 tahun, tahun tepatnya tanggal 18 November 1945. Hatta menjabat Wakil Presiden tanggal 18 Agustus 1945 dan mengundurkan diri 1 Desember 1956. Selama menjadi Wapres, Hatta sempat menduduki jabatan perdana menteri (PM) dan menteri luar negeri dalam cabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) Desember 1949-Agustus 1950.
Selama menjadi aktivis pergerakan kemerdekaan dan menjadi pejabat Negara, Hatta menegaskan pentingnya demokrasi, ekonomi kerakyatan yang berbasis pada koprasi, pendidikan politik dan politik luar negeri yang bebas aktif. Setelah tidak lagi duduk di pemerintahan, Hatta giat mengajar dan memberikan ceramah. Sempat diangkat menjadi penasihat komisi empat pada era Orde Baru untuk pemberantasan korupsi tahun 1969, tapi praktis tidak efektif.
Atas prakarsa Sawito, Hatta bersama tokoh lainnya seperti Buya Hamka, Kardinal Dharmojuwono, dan TB Simatupang, ikut menandatangani pernyataan tentang apa yang disebut penyerahan kekuasaan. Kasus yang disebut skandal Sawito itu menimbulkan heboh besar, lebih-lebih karena Presiden Soeharto sangat marah. Sawito ditahan, tapi para tokoh bangsa itu dipaksa meminta maaf.