Ini adalah tulisan lawas yang saya unggah, barangkali setelah new normal diterapkan dunia kopi hitam akan semakin bergeliat, baik itu dari jumlah konsumsi biji maupun bubuk. Â Â Â Â Â Â
Kala itu tahun 2017 arus balik masih saja bergeliat, perempatan pasar kertek yang pernah memakan korban tronton rem-blong tampak ramai lancar bagi pengendara motor, Pak Polisi tampak menggigit peluitnya, beberapa siswa ber-seragam pramuka juga ikut membantu melancarkan perempatan tanpa lampu merah itu meski bibirnya ragu meniupkan peluitnya, saya berharap semoga ia hafal dasa dharma.
      Melewati jembatan yang membatasi kecamatan kertek dan kalikajar, saya dan mas Jusuf menuju ke arah kembaran, setelah bertanya sekali dengan tukang ojek pangkalan untuk memastikan bahwa ingatan saya tidak salah. (Abaikan GPS)
      Perjalanan awal tampak mulus seperti kulit member JKT fortieight, di kanan kiri masih tampak rumah-rumah warga, semakin jauh Kharisma berjalan, ternyata jalanan mulai tidak mulus lagi duh jan apakah mungkin pak Bupati nggak kampanye sampai desa bowongso, "ngaspal kok tanggung temen pak?" pikirku dalam hati. Tapi tujuan perjalanan ini bukan untuk mendendam, tujuannya hanya ngopi dan silaturahmi ke rumah mas Eed.
      Ditengah perjalanan, motor kharisma yang saya tumpangi agak rewel seperti wanita yang terserang PMS, di gas sekonyong-konyong penuh birahipun tak membuat kharisma berjalan dijalan berbatu, untungnya mas Jusuf yang membonceng berinisiatif untuk turun dan berjalan setengah mendaki, tak luput saya terkena paparazi oleh kameranya.
      "Jalannya udah mending om." Ajak saya kepada mas jusuf yang masih berjalan diatas jalan berbatu agar kembali duduk dibelakang saya.
      Di tengah perjalanan, saya bertemu dengan mas Alvian, seorang teman yang juga ahli dalam meracik kopi, ternyata ia baru saja membeli biji kopi dari bowongso, kamipun bersalaman dan saling mengucap minal aidzin wal faidzin.
      "Abis lapangan belok kanan, nanti nglewati 2 masjid masuk gang ke kiri" itulah yang saya dengar dari seseorang yang tampaknya juga seorang barista, karena dirinya tepat berada di depan alvian. (kok dadi koyo nulis novel)
      Suasana fremansonry alias pola hitam putih menyambut kedatangan kami berdua, tampak mas eed sumringah melihat kedatangan kami, belum genap 5 menit kami duduk, seduhan arabica bowongso pour over v60 sudah disiapkan. Saya sampai lupa bahwa tangan kanan saya agak kemeng (baca:kebas)
      Mas jusuf yang seorang ahli hisap tak mau menyia-nyiakan ritual nglinting, tangan kanannya tampak asik membubuhi tembakau diatas kertas garet. Bal bul bal bul ternyata ritual nglintingnya sangat khusyuk, bagi mas jusuf ngopi tanpa ngudud seperti bagaikan mie ayam tanpa daging ayam.
      Mesin roasting merk frocco menjadi daya tarik saya untuk melihat proses roasting, hampir setiap 5 menit sekali mas eed mencium aroma kopi yang ada di dalam mesin roasting tersebut, saat ini kabarnya hanya ada 3 tempat roasting di Wonosobo, mas Eed adalah satu-satunya warga bowongso yang berkompeten melakukan roasting di desanya, bahkan tak jarang ia juga dititipi biji kopi dari daerah lain untuk nitip roasting.
      "Lha mas eed kalau pilek gimana?" tanya saya.
      "Biasanya sih saya minta bantuan istri" Jawabnya sembari tangannya menyortir biji kopi yang tidak layak minum alias quaker.
      "Kayaknya mas eed perlu asuransi buat hidungnya nih, jadi kalau pilek biar berobatnya gratis" Kelakar saya.
      Lelahnya perjalanan mencari single origin saat itu seakan membeku bersama masa lalu. Belajar hal baru merupakan keasyikkan tersendiri, apalagi setelah tahu bahwa petani di Bowongso sangatlah disiplin dalam mengelola tanaman kopinya.
      "Biji kopi yang diambil petani kopi itu saya pisah mas, jadi antara petani A B C itu saya pisah green bean-nya" ujar Mas Eed.
      "Nek bade nyobi kopi luwak nggih monggo" tawar bapak tua yang saya lupa menanyakan namanya.
      "Bikin sendiri aja mas" Tawar mas eed yang masih menjalani ritualnya dalam meroasting biji kopi.
      Spontan muka saya sumringah seperti pengantin baru yang baru saja turun dari pelaminan lalu berlanjut menjalani ritual malam pertama. (ooooh skip men)
      Dengan tangan sedikit gemetar saya mengambil biji kopi luwak liar dan menimbangnya "Jangan banyak-banyak dhim, mahal tuh" Mas Jusuf mengawasi.
      Ritual brewing mulai dari grinding hingga pouring sangat-sangat saya nikmati, sontak jadi inget sosok dokter Christian yang pernah mengajari saya teknik pour over di IGD. Tanpa saya sadari mas eed ternyata mengawasi saya dari samping, jadi malu saya.
      Jadilah kopi luwak liar yang termasuk dalam 7 kopi termahal sedunia, tak perlu ke setarbak ataupun mall yang ada di kota besar, di Wonosobo saja bisa kita temui kopi luwak berkelas internasional.
      "Mas kalau pengen liat panen kopi luwak ya mesti nginep." Ujar mas eed.
      Kopi luwak diambil sebelum sinar matahari menyapa bumi bowongso, sehingga pagi-pagi shubuh para petani sudah berangkat menuju kebun dan berharap para luwak telah buang hajat.
      Dari bowongso saya belajar akan pentingnya totalitas dalam menjaga kualitas, terimakasih mas Eed dan segala anugerah Tuhan yang terhampar di bumi Bowongso.
      Sebelum langit sore memuntahkan hujan, kami harus segera meninggalkan desa Bowongso, karena cukup ekstrim jika melewati jalan berbatu saat hujan.
           Â
     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H