Perkembangan teknologi yang sangat cepat memang tak bisa dibendung. Saya masih ingat ketika bapak saya mengetik dokumen dengan menggunakan mesin ketik, suara yang berisik dari dentuman tuts mesin ketik terkadang membuat saya tidak bisa menikmati sajian di televisi kala itu.Â
Namun kini bapak saya yang hendak pensiun tersebut sudah lihai dengan aplikasi microsoft word yang ada di laptopny. Penggunaan laptop memang tidak menghasilkan suara yang berisik ala mesin ketik, masalahnya bapak saya tidak cukup protek dengan virus-virus komputer, sehingga virus komputer kerap kantor menular dengan cepat melalui media flashdisk.
Sadar atau tidak bahwa dunia ini penuh dengan paradoks. Penemuan atau kebaruan atas sesuatu terkadang justru menimbulkan masalah baru yang berdampak serius. Keberadaan komputer yang menggantikan mesin ketik memang semakin memudahkan manusia. Namun virus komputer ternyata menjadi masalah tersendiri yang tak bisa diabaikan.
Mari kita tengok sejarah masa lalu sekira tahun 60an. Dulu piringan hitam merupakan sesuatu yang hanya bisa dimiliki oleh kaum borjuis. Era tersebut lenyap setelah kaset pita muncul menggantikan piringan hitam. Inovasi kaset pita menawarkan track lagu yang lebih banyak dengan ukuran yang lebih kecil dan mudah dibawa.
Keberadaan pita kaset ternyata disusul dengan adanya tape recorder. Dengan perangkat tersebut para penikmat musik kala itu dapat dengan mudah merekam lagu kesukaannya. Dari sinilah trend pembajakan dimulai karena tape recorder memudahkan siapapun untuk merekam lagu baik dari radio ataupun dari kaset tape ke kaset kosong yang dijual bebas.
Era kaset pita ternyata membuka mata pencaharian baru, saat itu toko-toko elektronik banyak yang menyediakan jasa berupa merekam lagu berdasarkan pesanan pelanggan, dan hal inipun diminati masyarakat secara luas.
Pada tahun 1967 oknum-oknum yang menjual 'kaset gelap' menjamur dimana-mana. Bagaimana tidak diminati, harga kaset original yang berisi maksimal 12 lagu saat itu mencapai Rp 1200, sedangkan 'kaset gelap' yang dapat memuat lebih dari 20 lagu hanya dijual seharga Rp 600.
Pada tahun 1971, berbagai media cetak banyak memberitakan betapa kaset bajakan merupakan ancaman serius bagi industri Production House di Indonesia.
Inovasi kaset pita dan tape recorder telah mempermudah siapapun untuk bisa mendengarkan lagu tanpa harus mengeluarkan biaya yang lebih mahal.
Pemerintah pun masih bingung mengenai alur dan standard dari penanganan kasus pembajakan. Apakah kasus perekaman ilegal ini akan disebut pembajakan ataukah pemalsuan karya.
Pembajakan ini pun semakin berkembang sampai pada era VCD. Saat itu VCD original paling murah seharga rata-rata Rp 35.000. Sedangkan VCD bajakan yang ada di pasar bisa kita dapatkan seharga Rp 5000 saja. Jujur saja, saya-pun belum pernah membeli VCD original, karena selain harganya yang mahal, di kota saya dulu memang tidak sulit untuk mendapatkan CD yang original.
Namun faktanya keberadaan penjual VCD Bajakan pun tidak menjadi sasaran aparat kepolisian. Lhawong anaknya pak Polisi aja ikutan beli CD Bajakan kok.
Rupanya masalah pembajakan tidak hanya terjadi di Indonesia. Di luar negeri pun pembajakan terhadap karya musik masih ada apalagi dengan era digital yang memungkinkan siapapun bisa saling copy paste. Salah satu musisi yang terdampak pembajakan adalah Band Metallica. Manajer Metallica Peter Mensch, mengatakan bahwa band asuhannya tersebut benar-benar sulit untuk menghasilkan uang dari musik, seperti penjualan CD atau download resmi.
Itulah persoalan paradoks perkembangan teknologi dari industri rekaman atau musik. Paradoks yang lain ternyata juga menimpa pada inovasi moda transportasi berbasis online yang menawarkan kemudahan serta harga yang lebih murah.
Keberadan teknologi wabil khusus internet telah menjadikan seseorang dapat mengakses apapun dari dalam kamar sembari rebahan. Proses pemesanan makanan bisa diringkas menjadi proses yang real time.
Seseorang yang ingin bepergian tidak perlu lagi berjalan terlalu jauh untuk mendapatkan angkutan. Bahkan para pengguna ojek daring tersebut dimudahkan dengan fasilitas cashless seperti Go Pay atau OVO sehingga tidak perlu kesulitan mengambil dompet atau menunggu kembalian.
Kemudahan inilah yang tidak dimiliki oleh ojek pangkalan. Kehadiran Ojek online seakan menjadi ancaman akan eksistensi ojek pangkalan di ranah transportasi publik. Tidak sedikit driver ojek pangkalan yang merasa bahwa moda transportasi berbasis daring tersebut telah merebut sebagian penumpangnya.
Saya berpikir, merebut penumpang artinya juga merebut penghasilan. Penghasilan ojek pangkalan yang berkurang tentu akan berujung pada masalah perut yakni kekhawatiran akan lapar. Paul Currie yang merupakan pakar perilaku nafsu makan sekaligus profesor psikologi Reed College, mengatakan bahwa rasa lapar dapat mengubah seseorang menjadi sangat emosional. Emosi tersebut sering muncul sebagai stres, kecemasan, hingga kegelisahan. Luapan emosi tersebut meledak dalam bentuk persekusi hingga pemberlakuan zona merah yang melarang ojek online melewati zona tersebut.
Coba anda buka di youtube lalu search kata kunci ojol vs opang, kata kunci tersebut akan menawarkan kita tontonan konflik yang mengerikan, mulai dari saling melotot, saling marah, banting helm hingga kontak fisik antara kedua belah pihak. Konflik tersebut seakan menunjukkan luapan emosi layaknya Hulk yang lepas kendali.
Mungkin anda bertanya, kenapa ojek pangkalan tidak bergabung ke ojek online saja. Pertanyaan tersebut tentu membutuhkan diskusi dengan 3 cangkir kopi untuk menjawabnya. Namun ada pula alasan dari Ojek pangkalan yang tidak ingin bergabung dengan ojek online, seperti ketidakmampuan driver opang mengoperasikan smartphone dan tidak lengkapnya surat kendaraan.
Tentu tidak mudah memaksa seluruh ojek pangkalan untuk bergabung dengan ojek online. Sebagian dari mereka memang sudah memiliki smartphone, namun keterikatan dirinya dengan persaudaraan di pangkalan ternyata menjadi salah satu alasan baginya untuk tetap setia menunggu penumpang di pangkalan.
Kini, ojek pangkalan masih menjadi pilihan bagi masyarakat yang tidak memiliki smartphone. Sedangkan ojek online hadir mengikis ruang fisik yang memungkinkan kita memesan moda transportasi atau memesan makanan tanpa harus datang ke warung atau restoran.
Hal ini pun menjadi semacam paradoks. Dimana perkembangan teknologi diakui sebagai sesuatu yang dapat membantu kinerja manusia. Namun disisi lain ada dampak yang tidak bisa diremehkan seperti perkembangan transportasi online yang memicu kemarahan driver ojek pangkalan.
Keberadaan transportasi online tentu telah berhasil mengurangi jumlah pengangguran. Namun inovasi tersebut ternyata hadir bukan berarti tanpa masalah sosial.
Kedua kasus yang saya paparkan diatas mulai dari industri musik hingga moda transportasi online, rupanya sama-sama menggambarkan bahwa perkembangan teknologi tidak hanya mempermudah aktifitas masyarakat, tetapi juga berpotensi melahirkan konflik sosial.
Selain mempermudah penggandaan lagu dan pemesanan moda transportasi, perkembangan teknologi juga memungkinkan siapapun menjadi artis atau selebritis secara gampang. Saking gampangnya, kucing pun bisa menjadi selebritis.
Perkembangan teknologi seperti munculnya youtube, tik-tok, instagram dan aplikasi sejenis lainnya, ternyata menjadi jalan alternatif yang mudah dan murah bagi siapapun yang ingin menjadi public figur. Kemudahan tersebut seakan menjadi antitesis bagi para artis yang telah berdesak-desakan untuk antri dalam audisi ajang pencarian bakat, atau aktor yang telah mengikuti berbagai casting.
Keberadaan sosial media telah mempermudah siapapun untuk mengunggah konten baik video, gambar, audio ataupun tulisan secara gratis.
Situs berbagi video Youtube telah memungkinkan siapapun yang memiliki skill menyanyi pas-pasan bahkan dibawah standar akan menjadi penyanyi terkenal dalam waktu kurang dari 24 jam. Hal ini karena semua video yang di upload di youtube bisa langsung terunggah dan ditonton oleh seluruh umat manusia yang sedang terkoneksi internet.
Youtube telah menjadi media yang tidak mewajibkan penggunanya untuk memiliki bakat atau kepakaran di bidang tertentu. Syarat untuk bisa menjadi youtuber yang paling utama adalah rasa percaya diri untuk terus membuat konten.
Tidak sedikit pula para youtuber yang akhirnya tayang di tv nasional entah sebagai bintang tamu, atau sebagai pembawa acara. Hal ini tentu saja berbeda dengan pembawa acara atau host yang telah belajar public speaking selama bertahun-tahun untuk menjadi pembawa acara di stasiun televisi.
Harus disadari ada banyak hal positif dari kemudahan tersebut, tetapi banyak pula masalah yang menyertainya. Kini kita hidup dalam sebuah realitas yang melampaui realitas. Kemudahan mengunggah konten nyatanya juga menawarkan kemudahan bagi siapapun untuk menyebarkan konten negatif seperti hoax ataupun prank sampah.
Profesi youtuber ternyata telah menjadi alternatif bagi siapapun untuk menjadi viral secara mudah tanpa harus menembus media arus utama. Untuk menjadi viral tersebut tidak sedikit youtuber yang 'menghalalkan' segala cara demi konten. Seperti kasus Fredian Paleka dengan konten prank sampahnya.
Konten prank sampah yang ramai di media sosial seperti youtube atau instagram seakan merangsang para pembuat konten untuk memutus urat malu yang ada pada dirinya. Semua itu demi trafic dan viralnya sebuah konten yang nantinya akan dikonversi menjadi rupiah.
Keberadaan youtube dengan segenap video yang viral ternyata dieksploitasi oleh media arus utama yang 'kekurangan materi' siaran. Beberapa stasiun televisi justru menayangkan video yang sudah tayang di youtube. Saya merasa televisi yang mengadopsi konten di youtube tersebut telah kekurangan gregetnya. Acara Tv yang semestinya menjadi bagian dari media arus utama seperti kehilangan marwah dalam menyajikan konten siaran.
Saat pentas politik seperti pemilu, segala konten yang ada di internet yang berkaitan dengan kontestan politik seakan menjadi abu-abu. Ujaran kebencian semakin mudah ter-blow up. Polarisasi dan ancaman keterbelahan-pun tak terelakkan. Bahkan kedua kubu yang berseberangan juga bisa mengklaim saling menang pemilu. Saling hujat antar pendukung seakan menjadi perang dunia di era digital.
Selain menawarkan kemudahan dan kecepatan akses, Internet juga menawarkan "senjata" bagi seluruh umat di dunia. Propaganda, Hoax, hingga ujaran kebencian sengaja dibuat oleh pemiliki akun/chanel untuk memuluskan kepentingan dirinya sendiri. Ledakan amarah di dunia maya seakan menjadi trend keseharian penuh pemakluman.
Teknologi hadir menawarkan fasilitas bagi manusia. Seperti pisau yang tajam jika dipegang oleh koki profesional maka alat tersebut akan mempermudah dirinya dalam membuat masakan. Namun, akan berbeda cerita jika pisau tersebut berada di tangan pelaku klitih yang digunakan untuk melukai korban.
Teknologi memang hadir untuk mempermudah urusan manusia, namun hal tersebut juga menawarkan masalah baru yang terkadang membuat kita mengelus dada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H