Konten prank sampah yang ramai di media sosial seperti youtube atau instagram seakan merangsang para pembuat konten untuk memutus urat malu yang ada pada dirinya. Semua itu demi trafic dan viralnya sebuah konten yang nantinya akan dikonversi menjadi rupiah.
Keberadaan youtube dengan segenap video yang viral ternyata dieksploitasi oleh media arus utama yang 'kekurangan materi' siaran. Beberapa stasiun televisi justru menayangkan video yang sudah tayang di youtube. Saya merasa televisi yang mengadopsi konten di youtube tersebut telah kekurangan gregetnya. Acara Tv yang semestinya menjadi bagian dari media arus utama seperti kehilangan marwah dalam menyajikan konten siaran.
Saat pentas politik seperti pemilu, segala konten yang ada di internet yang berkaitan dengan kontestan politik seakan menjadi abu-abu. Ujaran kebencian semakin mudah ter-blow up. Polarisasi dan ancaman keterbelahan-pun tak terelakkan. Bahkan kedua kubu yang berseberangan juga bisa mengklaim saling menang pemilu. Saling hujat antar pendukung seakan menjadi perang dunia di era digital.
Selain menawarkan kemudahan dan kecepatan akses, Internet juga menawarkan "senjata" bagi seluruh umat di dunia. Propaganda, Hoax, hingga ujaran kebencian sengaja dibuat oleh pemiliki akun/chanel untuk memuluskan kepentingan dirinya sendiri. Ledakan amarah di dunia maya seakan menjadi trend keseharian penuh pemakluman.
Teknologi hadir menawarkan fasilitas bagi manusia. Seperti pisau yang tajam jika dipegang oleh koki profesional maka alat tersebut akan mempermudah dirinya dalam membuat masakan. Namun, akan berbeda cerita jika pisau tersebut berada di tangan pelaku klitih yang digunakan untuk melukai korban.
Teknologi memang hadir untuk mempermudah urusan manusia, namun hal tersebut juga menawarkan masalah baru yang terkadang membuat kita mengelus dada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H