Lalu kenapa masih ada yang ingin menjadi perawat, seperti saya yang alhamdulillah sudah menjadi perawat yang sangat profesional (dibuktikan dengan lulus ukom dan punya STR :p).
Saya pribadi awalnya tidak ingin menjalani profesi yang identik dengan instink keibuan ini. Bahkan dulu saya pernah menempuh pendidikan di SMK jurusan Teknik Komputer Jaringan, jurusan yang tidak ada hubungannya dengan dunia medis. (Eh ada sih, minimal bisa bantuin instal printer kalau ada komputer di RS atau Puskesmas :P)
Kiranya butuh waktu 2 tahun untuk meyakinkan diri saya pribadi untuk menjadi seorang perawat. Perjalanan pendidikan keperawatan yang saya tempuh juga dibilang memalukan. Saya menyelesaikan pendidikan D3 selama 4 tahun, dan menyelesaikan pendidikan S1 Ilmu Keperawatan selama 5 semester (normal 3 semester tanpa Profesi Ners).
Semua kelalaian itu disebabkan karena 1 hal, yaitu tugas akhir saya (red : KTI dan Skripsi) yang tidak saya kerjakan secara serius hingga akhirnya saya pernah merasa sendu ketika lihat di beranda facebook berisi teman yang mengenakan toga, sedangkan saya masih pakai celana kolor di kos sambil ngerjain Skripsi.
Akhirnya ritual konsul dan revisi selesai, setelah lulus S1 Keperawatan, saya memutuskan untuk mencoba melamar kerja di RS, tentunya dengan menggunakan ijazah D3. Kala itu saya juga memaksakan diri untuk mengurus STR ke MTKP Jateng. Pokoknya pelan perlahan segala amunisi dokumen saya lengkapi untuk melamar pekerjaan di 2 Rumah Sakit.
RS yang pertama saya kirimi ternyata tidak memanggil saya, bahkan tidak ada kabar terkait pengumuman. Barulah pada RS kedua saya mendapatkan pemberitahuan dan bisa menyelesaikan 3 tahapan seleksi : tes tertulis, wawancara dan psikotes dengan mulus. Lulus D3 pada tahun 2014 dan mulai mantap menjadi Perawat di awal tahun 2019. Saat itu teman -- teman saya sudah banyak yang mendapatkan posisi keren, ada yang jadi kepala ruang, bahkan ada pula adik kelas saya yang menjadi kabid keperawatan. Sedangkan saya masih berada di posisi terbawah.
3 bulan training saya jalani dengan menempati ruang rawat jalan selama 1 bulan dan rumg IGD selama 2 bulan. Di IGD inilah saya mulai merasa "jadi perawat itu keren". Hal ini karena IGD merupakan ladang Ilmu yang tak bisa disia -- siakan.
Di IGD seorang perawat akan berhadapan dengan pasien dengan bermacam -- macam kasus. Ada yang teriak -- teriak karena nyeri perut, ada yang sesak nafas, ada yang berdarah -- darah bahkan ada pula yang periksa di jam tahajud karena mengeluh tenggorokan sakit.
Warna -- warni itulah yang membuat profesi yang saya jalani saat ini makin berwarna, mungkin saya pun pernah mengeluhkan akan adanya biaya pengurusan SIPP (Surat Izin Praktek Perawat) yang cukup menguras gaji di awal ketika saya bekerja, hingga dampaknya saya pernah makan nasi tabur garam di akhir bulan.
Terlepas dari tagihan iuran, gaji yang belum 3x UMP (versi Ketum PPNI Harif Fadilah) dan sebagainya, saya mulai merasakan ada kepuasan bathin ketika berhasil menstabilkan kondisi pasien di IGD. Hal itu saya rasakan ketika saya berhasil melakukan tindakan infus pada pasien dehidrasi.
Tak hanya itu, menjadi perawat juga semacam kegiatan spiritual bagi saya, tentu jika hanya ngomongin soal gaji, yang ada hanya keluhan dan keluhan saja. Sampai pada suatu ketika ada rekan sejawat yang bilang "Jadi Perawat Mah Untuk Ibadah, kalau pengen duit ya bisnis," teman sejawat tersebut memang memiliki usaha sablon, dan saya paham bahwa dia menjadikan profesi perawat sebagai lahan ibadah dan bisnis sablon untuk mengais rupiah.