Mohon tunggu...
Dhimas Kaliwattu
Dhimas Kaliwattu Mohon Tunggu... Penulis - seorang manusia

menjaga ingatan dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Amuhia

7 Agustus 2019   18:38 Diperbarui: 8 Agustus 2019   20:37 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sehabis main layang-layang seharian di Taman Amuhia, Rudi pulang ke rumah dengan bau matahari yang menyengat. Kulitnya semakin hari semakin terlihat kelam. Matanya berkunang dan batuk-batuk. Rudi bercelentang, merengangkan otot di atas selembar tikar pandan yang sudah terdapat banyak robekan di semua sisinya. Keringat asin membasahi lantai, mengalir sampai ke ujung pintu tetangga.

Taman Amuhia sendiri merupakan taman tersembunyi yang tak banyak diketahui orang. Bahkan warga setempat pun tak mengetahuinya meski setiap pagi-sore selalu ada saja orang tua yang bertany,a "Permisi Pak, taman Amuhia di mana? Anak saya sudah tiga hari tidak pulang."

"Anakku juga sudah seminggu hilang. Terakhir kata temannya dia main bola di Taman Amuhia."

"Sudah dua puluh tahun Ibuk tiap hari mencari ke sana-sini, apa itu namanya! Taman Amuhia tetapi tak seorang pun ada yang tahu. Polisi juga tidak berhasil menemukannya," timpal seorang ibu tua bertongkat yang juga ikut bertanya.

"Loh, kok banyak anak yang hilang?"

"Mungkin diculik pedofil. Coba hubungin polisi. Kalau ngak mempan lapor dukun aja."

Taman Amuhia memang lain daripada yang lain. Taman Amuhia tak beralamat dan tak memiliki ruang. Ia seperti memiliki dimensi sendiri. Dimensinya anak-anak. Hanya anak-anaklah yang bisa masuk bermain di dalamnya. Bahkan, anak-anak dapat dengan mudah menemukannya karena memang keberadaan taman itu sangat dekat dari tempat tinggal mereka. Orang dewasa tidak akan pernah bisa melihatnya. Bahkan orang-orang dulu hanya mengenal t\Taman Amuhia sebagai sebuah misteri yang menakutkan.

***

Pak RT Uban mendatangi warganya yang sedang berkerumun. Setelah tahu masalah yang dibicarakan, ia angkat tangan dan lekas pergi menjauh, sejauh-jauhnya. RT Uban tak mau terlibat lebih jauh pada persoalan Taman Amuhia.

"Te... bagaimana ini laporan warga!" Seorang warga sedikit memekik bertanya ketus.

"Jangan libatkan saya. Saya tidak tahu apa-apa," jawabnya tergesa setengah berlari menghindar.

RT Uban, salah satu RT yang paling lama di Kelurahan Bujur Kemasem. Mungkin juga akan menjadi RT seumur hidup. Jabatan itu selalu didapat secara aklamasi tanpa pertarungan politik sengit. 

Kata orang, rambut putihnya itu tumbuh karena sepanjang kepemimpinannya terus memikirkan Taman Amuhia yang banyak menelan korban. RT Uban juga memiliki semacam traumatik, penyakit post traumatic stress disolder, sebab 2 cucunya juga ikut hilang sampai kini. Katanya orang mereka pergi dan tinggal di taman Amuhia. Itulah sebabnya, ia selalu menghindar dan pura-pura acuh jika ada orang yang bertanya tentang taman Amuhia.

Suara dari kerumunan massa itu membangunkan Rudi. Dari gang buntu yang pengap, bau busuk dan selalu gelap itu, Rudi berjalan menuju kerumunan warga. Ibu-ibu banyak yang menangis. Histeris. Menyebut nama anak mereka sambil berteriak-teriak. Wajah penuh ratap dan air mata telah bercampur dengan air selokan. Got-got mulai mampet tak sanggup menampung air mata. Anak-anak bocah dipeluk erat-erat menjadi tahanan rumah. Tidak ada lagi yang boleh kejar-kejaran atau sekedar bermain hujan di taman. Tak ada lagi anak-anak bermain di luar rumah karena memang tidak ada lagi tempat bermain yang aman untuk mereka. Sungguh mengerikan.

"Rud, bukannya kamu kemarin main sama anak tante. Di mana Raras sekarang?" Tanya seorang tante muda sambil mengusap sisa air di matanya.

"Kamu pasti tahu Rud? Tante tidak bisa kehilangan Raras. Dia anak kami satu-satunya."

Rudi tidak menjawab. Refleks Jalannya mundur ke luar dari kerumunan. Setelah sedikit lenggang ia mulai berlari masuk ke dalam gang-gang sempit yang selalu gelap dan selalu pengap itu. Baunya yang bacin, pesing dan tengik itu pasti akan membuat siapapun yang lewat muntah kuning, apalagi orang baru yang belum pernah ke sana.

"Tangkap bocah itu!"
"Ia menyembunyikan rahasia penting."

Dengan mengenakan masker respirator N95 dan sambil menahan mual, tante muda yang bekerja di bagian perkotaan itu mengejarnya. Gang-gang sempit yang berkelok dan licin membuat tante muda itu terjatuh beberapa kali. Rudi si juara lari, dengan yakin tetap meluncur bagai kijang.

Akhirnya sebelum senja berganti sempurna dan semburat jingga yang ke ungu-unguan itu belum berganti menjadi malam, Rudi tertangkap di rumahnya. Untuk menghindari kerumanan warga, Rudi digelandang ke kantor Polisi untuk dimintai keterangan. Dalam perjalanan ke kantor polisi, Rudi didampingi komisioner KPAI dan puluhan media massa nasional yang meliput kejadian langka ini.

***

Di kantor polisi, kerumunan massa semakin menjadi-jadi. Empat sisi jalan raya yang mengarah ke kantor polisi sudah penuh orang bersesakan. Bahkan ekor barisan massa sampai melewati 5 lampu merah. Luar biasa. Inilah puncaknya para warga meminta kejelasan nasib anak-anaknya yang hilang masa kanak-kanak.

Sepanjang kebudayaan manusia kota, keberadaan Taman Amuhia memang tidak pernah diangggap penting. Bahkan para politisi sering seenaknya sendiri memperdagangkannya. Tata kota dan defisit ruang terbuka hijau di kota ini sudah sedemikian parah. Semua tanah sudah menjadi beton. Semua sungai sudah menjadi tempat sampah. Semua jalanan air sudah menjadi pemukiman warga.

Lebih hebat lagi, sekarang taman di kota sudah memakai pendingin ruangan. Panas, hujan, cahaya matahari, cahaya bulan hanyalah hasil rekaan manusia.

***

"Dek Rudi, Apa benar kemarin anda baru pulang dari taman Amuhia?" Tanya polisi.
"Apa taman itu memang benar ada? Bisa antarkan kami?"
"Dek Rudi apa mengerti? Tolong cerita pada kami."

Rudi adalah satu-satunya bocah yang berhasil kembali dari Taman Amuhia yang penuh mistis itu. Taman Amuhia adalah sebuah taman yang sangat teduh, sejuk dan alami. Jika pagi hari kupu-kupu selalu datang menghibur, nan pada malam harinya kunang-kunang juga melakukan hal yang sama.

Pohon jambu yang begitu pendek, buahnya manis dan besar. Daun ungu dan merah jambu dan batu-batuan sungai yang berwarna warni. Air bening yang terus mengalir. Rumput basah. Tempat bermain lumpur, area menangkap ikan dan bermain dengan ternak. Anak kecil mana yang tak tertarik ingin ke sana.

Di Taman Amuhia bintang-bintang bisa dipetik sesuka hati. Rembulan bisa dipeluk. Langit bisa dicium. Hal-hal yang tidak mungkin dilakukan di bumi, ada dan bisa dilakukan di Taman Amuhia. Wajar saja jika orang-orang betah. Ada yang tiga minggu, bahkan 20 tahun tinggal di sana.

Tinggal di Taman Amuhia jauh lebih baik ketimbang kembali ke gang sempit beraroma bacin itu atau sekalipun ke rumah mewah hasil rekaan itu. Tidak ada orang jomblo kesepian. Memang, awalnya hanya ada beberapa anak kecil yang menetap, tapi seiring perjalan waktu mereka tumbuh dewasa dan beranak pinak. Sekarang pun semakin banyak orang yang datang dan tak ingin kembali. Alasannya kompleks, dari mulai ekonomi, percintaan, hingga keluarga.

Orang-orang yang tinggal di Taman Amuhia bukanlah orang yang tak bisa menerima kenyataan hidup. Mereka hanya menuntut hak mereka. Harusnya fasilitas hidup seperti itu yang mereka dapatkan. Kota ini telah gagal mewariskan fasilitas hidup yang baik.

"Kota ini telah dikepung, Pak!" Kata Rudi setelah panjang lebar bercerita.

Generasi yang tinggal di Taman Amuhia sangat gemar membuat taman. Sehingga di dalam taman Amuhia terdapat taman-taman yang jumlah tak terhitung. Sangat kontras dengan kota ini. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun