Dunia telah bergerak menuju era revolusi industri ke empat, suatu kondisi terpadunya semua kebutuhan ruang sosial dengan teknologi paling muktahir.
Sebagai bangsa yang ber-Ketuhanan, wajib bagi kita untuk tunduk dan menegakan setegak-tegaknya keimanan masing-masing, Negara pun menjamin itu. Tapi seringkali interpretasi yang keliru membuat kita merasa paling benar, kemudian menjadi hakim yang menghakimi kepercayaannya orang lain.Â
Hal ini tidak hanya terjadi dikalangan fundamentalis Islam, tapi juga di fundamentalis Kristen, Buddha, Hindu, Kong Hu chu, dan lainnya. Jika ingin merubah kepercayaannya orang lain hendaknya hal itu dilakukan dengan damai, tanpa kekerasan, tanpa caci maki, tanpa pertumpahan darah, dan tanpa menghakimi kepercayannya orang lain.
Menjaga Warna Lokal
Keseimbangan agama (syari'ah) dan budaya (adat) kalau tidak dijaga akan melahirkan pudarnya warna lokal. Tipologi Islam yang dirintis para Wali dan dilanjutkan para ulama zaman Demak, Mataram Islam hingga Kartosuro berkembang sangat pesat, karena berhasil mengintegrasikan diri dengan peradaban yang ada, sehingga minim sekali terjadi ketegangan Agama samawi dan ardhi.
Munculnya kelompok purifikasi (pemurnian ajaran)Â yang dipelopori Wahabi mulai menyusup dalam politik Saudia Arabia dan melakukan infiltrasi ke Nusantara. Mereka menolak bahkan gencar memerangi segala bentuk apresiasi budaya dan tradisi lokal.
Islam dalam ekspresi Arabisme mulai menunjukan hegemoninya dan membenturkannya dengan peradaban yang telah lama terlebih dahulu ada. Inilah salah satu sebab yang mendorong ulama Nusantara melakukan konsolidasi besar-besaran dan melahirkan NU untuk membendungnya. Islam Nusantara menjadi tembok yang cukup sulit untuk ditembus Wahabi.Â
Hingga infiltrasi mereka kemudian bercabang akibat meletusnya Revolusi Iran 1979 dan membuat Wahabi lebih menyibukan diri menghalau semangat Iran yang berusaha mengimpor paham syi'ah-nya, karena dianggap lebih berbahaya.
Menariknya yang menyatakan itu adalah "Kelompok kemarin sore." Padahal bukti sejarah yang sangat panjang telah berkata, jika harmonis dengan budaya maka akan harmonis dengan siapun, kapanpun, di manapun, dan sampai kapanpun.
Orang semakin sibuk dengan ekspresi kritisnya yang sebenarnya tidak diperlukan. Agama seakan-akan dijadikan trend, tidak lagi menjadi penghayatan dan pendalaman ketika berdekatan dengan Tuhan. Saling mengingatkan berubah menjadi saling membenarkan dan saling menghakimi.