Â
Jalan panjang perjuangan mendirikan Negara Islam di Indonesia mengalami kekecewaan yang setidaknya terjadi dalam tiga momentum besar, pertama saat panitia sembilan menghapus tujuh anak kalimat dalam piagam jakarta; kedua, saat pemilu pertama 1955 partai Islam gagal meraih suara terbanyak; dan ketiga, tahun 1967 ketika Orde Baru menolak untuk merehabilitasi Masyumi. Label pemerintah anti Islam bukan hanya ada pada hari ini, tapi sejak proses kemerdekaan.
Belakangan ini beberapa kelompok yang menginginkan Khilafah Islamiyah untuk tegak berdiri di Indonesia, tampil semakin berani dan garang. Tentu ini tidak dapat hanya dilihat sebagai kesinambungan masa lalu yang ingin kembali uji coba, tapi lebih merupakan akumulasi kekecewaan yang ujungnya menjadi sikap perlawanan pada Negara.
Ada dua benang merah di sini, pertama terkait keadilan dan kemakmuran yang belum dirasakan oleh seluruh masyarakat, termasuk mereka yang memiliki ide untuk merubah pondasi Negara. Atau mungkin ada konsensus yang belum selesai, atas benturan-benturan pemikiran yang terjadi sejak tahun 1920-an.Â
Tapi yang jelas ide untuk mendirikan Negara Islam telah banyak ditolak oleh kalangan ulama sendiri, atas dasar tidak ada perintah Tuhan dan tidak adanya bentuk pemerintahan yang baku.Â
Memang, hingga kini belum ada perbandingan atau rujukan yang ideal terkait bagaimana penegakan syariat Islam yang dilegitimasi oleh kekuasaan negara itu berjalan efektif, tidak bertentangan dengan demokrasi dan secara adil dapat diterima oleh masyarakat multikultural.
Sekaranglah sebenarnya kesempatan Islam untuk ikut kembali menentukan jalanya masa depan dunia melalui sains dan teknologi untuk mengembangkan kanal-kanal yang sudah ada. Membangun ruang-ruang sosial yang dipenuhi rahmatan lil alamin.Â
Jikalau saat ini masih mengikuti trend, mengapa tidak mengambil alih atau bersaing menjadi yang terdepan. Islam harus menggugat dengan melakukan terobosan.Â
Seperti yang diistilahkan Soekarno, Islam Is Progress, Islam adalah kemajuan. Tetapi hal itu akan sulit terjadi jika pada hari ini saja kita masih berselisih paham tentang perlu tidaknya kembali ke masa lalu "politik syariat Islam", berselisih tentang Bid'ah, dan sentimen yang berlebihan terhadap kafir sehingga timbul keinginan hanya akan bergaul dengan golongannya saja.
Masalahnya, mengapa kita masih malu untuk membuka diri terhadap ide-ide baru yang mengarah pada modernitas dan perubahan besar. Mengapa hari ini banyak orang ingin bercita-cita Islam maju, tapi jalannya mundur.Â
Sampai kapankah kita harus membelenggu masa lalu sendiri, masa lalu tentang kejayaan Islam, tentang monarki dan kesultanan yang telah membentuk glory pada masanya. Mengapa juga kita selamanya harus mendapat ajaran, bahwa kita harus mengkopi zaman Khalifah yang dulu-dulu itu, padahal sekarang bukan lagi tahun 600, 700, atau 800.Â
Dunia telah bergerak menuju era revolusi industri ke empat, suatu kondisi terpadunya semua kebutuhan ruang sosial dengan teknologi paling muktahir.
Sebagai bangsa yang ber-Ketuhanan, wajib bagi kita untuk tunduk dan menegakan setegak-tegaknya keimanan masing-masing, Negara pun menjamin itu. Tapi seringkali interpretasi yang keliru membuat kita merasa paling benar, kemudian menjadi hakim yang menghakimi kepercayaannya orang lain.Â
Hal ini tidak hanya terjadi dikalangan fundamentalis Islam, tapi juga di fundamentalis Kristen, Buddha, Hindu, Kong Hu chu, dan lainnya. Jika ingin merubah kepercayaannya orang lain hendaknya hal itu dilakukan dengan damai, tanpa kekerasan, tanpa caci maki, tanpa pertumpahan darah, dan tanpa menghakimi kepercayannya orang lain.
Menjaga Warna Lokal
Keseimbangan agama (syari'ah) dan budaya (adat) kalau tidak dijaga akan melahirkan pudarnya warna lokal. Tipologi Islam yang dirintis para Wali dan dilanjutkan para ulama zaman Demak, Mataram Islam hingga Kartosuro berkembang sangat pesat, karena berhasil mengintegrasikan diri dengan peradaban yang ada, sehingga minim sekali terjadi ketegangan Agama samawi dan ardhi.
Munculnya kelompok purifikasi (pemurnian ajaran)Â yang dipelopori Wahabi mulai menyusup dalam politik Saudia Arabia dan melakukan infiltrasi ke Nusantara. Mereka menolak bahkan gencar memerangi segala bentuk apresiasi budaya dan tradisi lokal.
Islam dalam ekspresi Arabisme mulai menunjukan hegemoninya dan membenturkannya dengan peradaban yang telah lama terlebih dahulu ada. Inilah salah satu sebab yang mendorong ulama Nusantara melakukan konsolidasi besar-besaran dan melahirkan NU untuk membendungnya. Islam Nusantara menjadi tembok yang cukup sulit untuk ditembus Wahabi.Â
Hingga infiltrasi mereka kemudian bercabang akibat meletusnya Revolusi Iran 1979 dan membuat Wahabi lebih menyibukan diri menghalau semangat Iran yang berusaha mengimpor paham syi'ah-nya, karena dianggap lebih berbahaya.

Menariknya yang menyatakan itu adalah "Kelompok kemarin sore." Padahal bukti sejarah yang sangat panjang telah berkata, jika harmonis dengan budaya maka akan harmonis dengan siapun, kapanpun, di manapun, dan sampai kapanpun.
Orang semakin sibuk dengan ekspresi kritisnya yang sebenarnya tidak diperlukan. Agama seakan-akan dijadikan trend, tidak lagi menjadi penghayatan dan pendalaman ketika berdekatan dengan Tuhan. Saling mengingatkan berubah menjadi saling membenarkan dan saling menghakimi.
Alangkah indahnya jika tiap-tiap orang bisa menghindari jebakan ini. Masa lalu Islam sudah sangat baik, tapi masa depan adalah milik kita. Waktunya nilai-nilai sosial yang Islami berada dalam kesadaran praktek sehari-hari, sehingga Islam kembali menjadi sumber inspirasi, sebagai cahaya zaman seperti yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI