Kupu-kupu menjadi sangat takut. Keselamatanya terancam. Tanpa ada kata-kata terakhir mereka terbang berpencar menjauhi serdadu yang mulai menggunakan perangkat perangnya. Kepak demi kepak. Cepat. Lebih cepat lagi mereka terbang mangayun.Â
Disela bunga-bunga dan ranting-ranting tajam mereka terbang menyelamatkan diri. Sial. Semua jejak yang dilewati kupu-kupu malang itu berubah menjadi kiamat besar bagi sekelilingnya.
Tak lama berselang tirani berhasil menangkap seekor kupu-kupu yang sudah kehabisan nafas. Dimasukannya dalam sebuah kaleng kecil kuning kehijau-hijauan. Kupu-kupu yang baru hamil itu mati disiram air keras. Lalu dibawa ke kota. Dijual. Dan kini menghisasi sudut dinding disebuah rumah megah miliki seorang tuan kolektor berpangkat mayor.
Satu kupu-kupu lagi juga akhirnya tertangkap serdadu pria. Sempat terlepas, tapi sial tertangkap kembali. Beruntung pria lebih mengerti dari perempuan. Kupu-kupu basah yang hampir mati itu dilepas kembali ditempat di mana ia melakukan hubungan bulan madu dengan kekasihnya semalam.
***
Takdir berubah begitu cepat. Kiranya sepasang kupu-kupu berwarna biru yang keemasan-emasan itu akan hidup bahagia. Melanjutkan keturunan sewajarnya.Â
Hanya dengan waktu sekian detik hidup berubah. Kupu-kupu yang tak sempat bahagia itu kabarnya sampai sekarangpun masih sering datang menuntut keadilan atas petaka yang menimpanya. Selalu hadir tapi tak berwujud. Jika tak percaya. Pergilah berkunjung ke tempat yang memiliki budaya lekat, di mana cinta dirayakan secara sembunyi-sembunyi.
Mendekati fajar di Tahun 1913 kupu-kupu berwarna biru keemasan itupun untuk terakhir kalinya menampakan diri di sebuah taman yang sama. Dilukis abadi dalam antologi puisi Indonesia oleh mozasa. Riang dinyanyikan oleh ari reda, kemudian terbang abadi menuju metamorfosa yang luas tanpa batas. (ende)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H