Mohon tunggu...
attu
attu Mohon Tunggu... Penulis - seorang manusia

menjaga ingatan dengan menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencari Saudagar Masjid (1)

2 Januari 2018   15:11 Diperbarui: 2 Januari 2018   16:53 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sehabis sholat Jumat, bazar umat selalu hadir di Masjid Cut Mutia, Jakarta Pusat (dok.pribadi)

Ami sedang sibuk menghitung uangnya. Hari ini ia sudah mengantongi 26 ribu rupiah, padahal Adzan Shalat Jum'at belum berkumandang. Ia satu-satunya anak yang masih menggenakan seragam sekolah putih merah lengkap dengan peci putihnya. Sesekali ia pun berteriak memekik "pak korannya 2000 pak... korannya om buat shalat" dengan wajah yang sedikit membujuk.

Lain lagi dengan Pujo, seorang pedagang pakaian. Sejak pukul 11 siang ia sudah datang ke Masjid. Setibanya di halaman Masjid, ia langsung menggelar sebuah terpal biru ukuran kecil dan menumpuk dua tas besarnya di bawah pohon. Terpal itu merupakan lapaknya. Tempat menjajakan dagangannya setelah selesai shalat nanti. Pujo dan Ami bukanlah satu-satunya orang yang melakukan kegiatan itu. Ada puluhan pedagang lain yang melakukan hal serupa.

Sudah menjadi kebiasaan baik atau ciri khas di Masjid Cut Mutia Jakarta, setiap hari Jumat selalu riuh karena ada bazar umat. Sepanjang jalan, mulai stasiun gondangdia hingga depan kantor Konferensi Waligereja Indonesia. Kerumunan orang berkumpul di tiap-tiap lapak pedagang. 

Di sini hampir semuanya ada. Lengkap. Mulai dari topi, kopiah, pakaian, jaket, sepatu, pakaian sensitif. Mulai peralatan masak hingga beragam alat perkakas. Mulai dari parfum, buku, aneka aksesori, hingga beragam kuliner menggugah selera.

Menariknya, semua yang di jual di sini harganya miring. Pantas yang datang tak hanya kaum laki-laki, tapi juga kaum ibu sengaja datang berbelanja ke sini. "iya mas, di sini lebih murah, makanya saya borong", ujar seorang wanita yang memborong 4 kerudung sekaligus dengan warna berbeda.

Perniagaan di Masjid Cut Mutia, Jakarta Pusat (dok.pribadi)
Perniagaan di Masjid Cut Mutia, Jakarta Pusat (dok.pribadi)
Kementerian Agama dan Dewan Masjid Indonesia mencatat, ada 800 ribu Masjid se-Indonesia. Jumlah tersebut (diperkirakan) bisa lebih banyak, sebab umumnya masjid-masjid di Indonesia relatif dibangun dan dikelola sendiri oleh masyarakatnya. Menurut Jusuf Kalla, Ketua Dewan Masjid Indonesia,  hanya di Indonesia dan Pakistan yang lembaga takmir masjidnya dibangun sendiri oleh masyarakat, dikelola oleh masyarakat, dan dimanfaatkan oleh masyarakat.

Disetujui atau tidak, saat ini masjid keberadaanya masih belum menjadi tumpuan kemaslahatan umat. Masjid belum menjalankan fungsinya secara maksimal.

Merupakan tantangan bersama, menjadikan masjid tidak hanya sebagai tempat beribadah menabung untuk akhirat. Lebih dari itu, bagaimana masjid dapat melakukan fungsi-fungsi advokasi dan edukasi di bidang kesehatan, pendidikan, sosial, dan perekonomian yang hasilnya dapat dirasakan langsung oleh umat dan masyarakat luas.

Mengutip Jusuf Kalla, "orientasi ibadah bukan saja untuk menggapai surga di akhirat, tetapi juga menciptakan surga di dunia". Salah satu ijtihad menciptakan surga di dunia itu adalah dengan membangun hasanah (kebaikan). 

Ibnu Katsir mengatakan, kebaikan di dunia meliputi: tubuh yang tidak berpenyakit, rumah yang lapang, istri yang menarik, rezeki yang cukup, ilmu yang bermanfaat, amal saleh, kendaraan yang nyaman dan kehormatan diri yang terjaga. Kerja sosial, amal dunia dan akhirat harus seimbang guna menggapai kebaikan di akhirat, yakni kebahagiaan dan surga.

Masjid merupakan simbol kemakmuran. Tetapi sebelum dimakmurkan masjid, umat terlebih dahulu harus memakmurkan masjidnya, caranya dengan rajin beribadah dan meramaikannya dengan kegiatan positif yang membangun.

Memperdayakan umat melalui kegiatan niaga merupakan salah satu hal positif dalam menuju kemakmuran masjid. Dibeberapa masjid kini tengah berkembang semangat dakwah entrepreneur -- yang merupakan seruan memperdayakan umat menjadi saudagar yang memiliki seribu akal. Tetapi karena pengelolaan masjid sifatnya kemasyarakatan, maka lebih menarik jika konsep dasarnya adalah Social Entrepreneurship.

Dasarnya Social (kemasyarakatan), Entrepreneurship (kewirausahaan) atau dengan kalimat sederhannya, mengunakan kemampuan Entrepreneurship untuk melakukan perubahan sosial (social change), terutama meliputi perubahan kesejahteraan (welfare), pendidikan dan kesehatan (healthcare).(sentosa, 2007 dalam dakwah Entrepreneurship A'la JK, 2017).

Dengan begitu masjid selain menjadi tempat beribadah menabung untuk akhirat, juga merupakan kegiatan membangun ukhuwah hasanah. Baik sesama saudara seagama, maupun saudara sebangsa. Masjid harus menjadi pusat pertukaran gagasan politik yang membangun, untuk itulah pintu masjid harus terbuka untuk siapapun, dengan menjadikan masjid sebagai pusat keramaian dan kontrol sosial masyarakat. (Kaliwattu).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun