Nah, Ketika netizen sampai berhenti memberikan dukungan kepada tokoh, perusahaan, maupun produk bisa berujung pada hilangnya popularitas dan potensi ekonominya. Seperti cancel culture yang terjadi pada Saiful Jamil dan Gofar Hilman bahkan sampai membuat mereka. Sedangkan pada Ganjar Pranowo, Gubernur Lampung Arinal Djunaidi, Kadinkes Lampung Reihana memberikan efek pada pelemahan para tokoh dari segi politik.
Saat ini, praktisi humas atau public relation perlu untuk melek teknologi. Tugas humas sudah jauh berbeda jika dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu Ketika media sosial belum jamak digunakan. Humas tidak lagi soal mendokumentasikan atau mengkliping pemberitaan lagi. Termasuk bukan lagi soal kelihaian berbicara. Sebab, saat ini humas harus punya teknik tersendiri dalam mengolah kata untuk tidak diucapkan. Sebab, pencitraan di Instagram lebih kuat jika menggunakan visual, sedangkan di Twitter melalui tulisan yang terbatas pada 280 karakter jika belum langganan Twitter Blue.
Perlunya humas melek teknologi supaya tidak gagap ketika harus menghadapi keluhan atau opini buruk di internet. Jangan sampai masalah yang sederhana menjadi rumit. Pada kasus Bima Yudho Saputro soal pembangunan Lampung misalnya, alih-alih melaporkan ke Polisi, masalah bisa selesai jika menerima kritikan itu dan berjanji akan menindaklanjutinya. Contoh lain yang masalah sederhana menjadi pelik adalah ketika brand perlengkapan outdoor yakni Eiger mengkritik YouTuber Dian Widiyanarko.
Dian mengunggah teguran dari Eiger soal salah satu reviewnya yang tidak proper karena buruknya kualitas video. Langkah bad PR (public relation) itu direspons netizen dengan intens hingga akhirnya Eiger meminta maaf. Desakan itu muncul karena netizen sempat mengancam akan memboikot produk Eiger yang dianggap tidak tahu berterimakasih telah dibuatkan review baik oleh pembelinya.
Kebiasaan media massa saat ini yang kerap membuat artikel berita dari berbagai sumber termasuk mengutip media sosial, bisa memperburuk situasi jika humas tidak siap. Yang dimaksud tidak siap terkait pengetahuan bagaimana memperlakukan opini atau kritikan netizen. Humas yang gagap dengan riuhnya dunia maya bisa kagok saat hendak merespons. Jika dulu, urusan dengan media cukup mennyampaikan hak jawab atau berkomunikasi dengan satu dua orang, tidak demikian di media sosial. Humas harus siap jika pernyataannya diberondong pertanyaan atau respons negatif oleh netizen.
Perusahaan yang saat ini memiliki tim humas dari generasi baby boomers dan generasi X perlu memperhatikan ini. Sebab, kedua generasi yang termasuk dalam digital immigrant atau lahir sebelum era digital rentan gagap teknologi. Sebab, mereka sudah nyaman dengan pola-pola yang sudah dipelajari meski saat ini bisa jadi sudah tidak relevan. Meski tidak bisa diartikan kalau memperhatikan tim humas dari baby boomers dan generasi X berarti mengganti mereka.
Paling tidak, saat ini tim humas perlu lebih peka dengan media sosial. Kalau perlu, mereka wajib punya seluruh akun media sosial yang saat ini digandrungi, dan mengikuti berbagai akun yang berpotensi memviralkan. Selain itu, tentu saja tim humas perlu diberi pelatihan tentang menangani media sosial. Di era digital, diam ketika menghadapi permasalahan bisa menjadi hal buruk karena ibarat bola salju yang menggelinding, opini yang jelek itu akan terus membesar dan makin sulit diatasi.
Apakah itu bisa dilakukan? Harusnya bisa jika ada kemauan. Terutama, kemauan dari tim humasnya. Admin Twitter @_TNIAU memberikan contoh. Meski mereka berasal dari kalangan militer yang selalu dikesankan kaku, ternyata bisa menjadi admin yang asyik. Sosok yang sampai sekarang dirahasiakan oleh TNI AU itu bisa berinteraksi dengan gaul, supel, kocak, dan fast response terhadap berbagai masalah yang melibatkan anggotanya.
Sedangkan soal standard operational procedure (SOP) untuk menangani media sosial bisa berkaca pada akun Kementerian Keuangan dan Bea Cukai. Meski masih belum sempurna, mereka bisa dengan cepat meresponse keluhan termasuk rajin menggunakan Twitter sebagai sarana untuk berinteraksi dengan stakeholdernya. Bahkan ketika ada kasus yang menjadi efek bola salju penganiayaan Mario Dandy kepada David Ozora, mereka masih bisa memberikan respons dengan baik.
Selain itu, di era yang apa-apa mudah viral ini, tim humas perlu diberi pelatihan agar lebih hati-hati dalam riding the wave atau mengikuti tren tertentu dengan harapan brand atau personal bisa ikut dikenal. Jika tidak bisa memetakan strategi, seringkali hasil dari riding the wave hanya sebatas pada meningkatnya awareness. Bagi perusahaan yang berorientasi penjualan produk tentu ini merugikan. Sebab, awareness hanya naik ketika mengikuti tren dan setelah itu turun lagi. Belum lagi jika melihat tabel penjualan, produk tidak laku.