Mohon tunggu...
Dhika PoetriWahyuningtyas
Dhika PoetriWahyuningtyas Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar

Mahasiswa FISIP UIN Walisongo Semarang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perubahan Sosial dalam Kacamata Teori Konflik

29 April 2020   19:58 Diperbarui: 29 April 2020   20:20 3192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama : Dhika Poetri Wahyuningtyas
Nim : 1806026073
Kelas : Sosiologi 4B
Dosen Pengampu : Endang Supriadi, S.Sos, M.A

Perubahan Sosial dalam Kacamata Teori Konflik

Pendahuluan

Pada dasarnya setiap masyarakat di seluruh dunia pasti akan mengalami banyak perubahan di dalam kehidupannya. Baik itu perubahan cepat atau lambat, dalam skala yang besar atau kecil, ataupun yang bersifat individual maupun sosial. Adanya perubahan-perubahan tersebut setidaknya dapat diketahui dengan membandingkan antara kehidupan masyarakat pada masa lampau dengan kehidupan masyarakat pada masa sekarang. 

Perubahan akan terjadi terus menerus selama masyarakat masih berpikir, karena keadaan membuat membuat masyarakat berpikir untuk memperbaiki taraf kehidupannya menjadi lebih baik dan menyesuaikan diri dengan kondisi alam yang tidak selalu sama. Perubahan yang melibatkan banyak orang dan mempengaruhi struktur serta tatanan masyarakat biasa disebut sebagai perubahan sosial. 

Perubahan sosial secara umum dapat diartikan sebagai suatu proses pergeseran atau berubahnya struktur atau tatanan di dalam masyarakat, meliputi pola pikir yang lebih inovatif, sikap, serta kehidupan sosialnya mendapatkan penghidupan yang lebih bermanfaat. 

Realitas sosial menunjukkan bahwa perubahan yang terjadi dalam masyarakat tidak selalu sama. Ada sebagian masyarakat yang mengalami perubahan yang relative cepat dan ada pula masyarakat yang mengalami perubahan yang bersifat lambat, serta pegaruh lain yang membuat perubahan yang terjadi di dalam masyarakat tidak selalu sama.

Seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa perubahan sosial senantiasa mampu mempengaruhi struktur atau tatanan dalam kehidupan masyarakat. Perubahan yang mempengaruhi struktur masyarakat tersebut adalah perubahan yang menyangkut nilai-nilai sosial, norma-norma sosial, pola perilaku organisasi, susunan lembaga kemasyarakatan, lapisan-lapisan dalam masyarakat, kekuasaan dan wewenang, interaksi sosial dan sebagainya. 

Jika salah satu dari banyak aspek tersebut mengalami perubahan, maka perubahan tersebut sudah dapat dikatakan sebagai perubahan sosial. Perubahan sosial dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang.

 Mulai dari strukturalisme hingga konflik. Perubahan sosial yang terjadi secara structural atau terencana dan terstruktur berarti perubahan yang dilihat dari perspektif strukturalisme. Sedangkan perspektif konflik menganggap perubahan sosial selalu terjadi karena adanya konflik di dalam suatu masyarakat. Bahkan konflik mampu mengantarkan masyarakat kepada perubahan yang bersifat menyeluruh. Tanpa terjadi konflik, tidak akan ada transformasi sosial yang bersifat menyeluruh.

Pemahaman Tentang Perubahan Sosial

Telah dijelaskan diatas bahwa perubahan sosial adalah setiap perubahan yang akan mempengaruhi struktur dan tatanan masyarakat seperti perubahan system sosial termasuk nilai, sikap, dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat. Rogers dan Shoemaker (dalam Sumartono 2019 : 2) mendefinisikan perubahan sosial sebagai suatu proses dimana terjadi perubahan struktur dan fungsi suatu system sosial. 

Revolusi nasional, pembentukan suatu lembaga pembangunan desa, pengadopsian metode keluarga berencana oleh suatu keluarga, merupakan contoh-contoh perubahan sosial. 

Perubahan, baik pada fungsi maupun struktur sosial adalah terjadi sebagai akibat dari berbagai status individu dan status kelompok yang teratur. Berfungsinya status itu merupakan seperangkat peranan atau perilaku nyata seseorang dalam status tertentu. Status dan peranan tersebut saling mempengaruhi satu sama lain.

Perubahan sosial adalah sesuatu yang pasti terjadi. Seperti yang dikatakan oleh Heraklitus bahwa tidak ada hal yang pasti kecuali perubahan itu sendiri. Karena perubahan adalah sesuatu yang niscaya dan pasti dialami oleh masyarakat dalam sejarah kehidupannya. Ogburn (dalam Jelamu 2006 : 126) tidak memberikan definisi tentang perubahan-perubahan sosial, melainkan memberikan pengertian tertentu tentang perubahan-perubahan sosial itu. 

Dia mengemukakan bahwa ruang lingkup perubahan-perubahan sosial meliputi unsur-unsur kebudayaan baik yang material maupun non-material. Disini dapat diketahui bahwa Ogburn mau mengatakan jika perubahan-perubahan sosial terkait dengan unsur-unsur fisik dan rohaniah manusia akibat pertautannya dengan dinamika manusia sebagai suatu totalitas. 

Kemudian Gillin dan Gillin mengemukakan pengertian perubahan sosial. Kedua ahli ini mengatakan bahwa perubahan-perubahan sosial sebagai suatu variasi dari cara hidup yang telah diterima, baik karena  perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideology maupun karena adanya difusi ataupun penemuan-penemuan baru dalam masyarakat. 

Pengertian kedua ahli ini merujuk pada dinamika masyarakat dan reaksinya terhadap lingkungan sosialnya baik menyangkut tentang cara hidup, kondisi alam, cara ia berkebudayaan, dinamika kependudukan maupun filsafat hidup yang dianutnya setelah ia menemukan hal-hal baru dalam kehidupannya.

Menurut Soekanto (dalam Juliana 2015 : 5) proses terjadinya perubahan-perubahan sosial akan dapat diketahui karena adanya beberapa ciri-ciri yang memadai:
1. Tidak ada masyarakat yang stagnant, karena kita tahu bahwa setiap masyarakat mengalami perubahan, meski perubahan yang terjadi berbeda-beda.
2. Perubahan yang terjadi pada lembaga sosial tertentu akan diikuti dengan perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga sosial lainnya.
3. Perubahan sosial dapat mengakibatkan terjadinya disorganisasi yang bersifat sementara karena ia dalam masa menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi tersebut.
4. Perubahan yang tidak dapat diisolir pada bidang kebendaan atau spiritual saja, oleh karena bidang tersebut mempunyai kaitan timbal balik yang kuat.
5. Secara tipelogis maka perubahan sosial dapat dikategorikan sebagai: social process, segmentation the proliferation on structural units, sctructure change, change in groups, and the relation among the group in society.

Sebagai contoh terkait dengan perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat tani. Dari segi mata pencaharian, masyarakat dahulu sangat didominasi oleh kegiatan pertanian, dan pada umumnya bertempat tinggal di daerah pedesaan. Para petani mengolah lahan pertaniannya dengan alat-alat sederhana. 

Traktor, penyemprot hama, pupuk, dan bibit unggul belum dikenal. Dan karena alat serta tekniknya masih sangat sederhana, maka hasil yang didapat pun sangat terbatas. Bahkan hasil pertanian tersebut hanya dapat dinikmati oleh anggota keluarga saja, biasanya untuk makan sehari-hari dan untuk digunakan ketika ada acara keluarga. 

Kemudian seiring berkembangnya jaman dan kemajuan teknologi, perubahan senantiasa masuk kedalam kehidupan pertanian. Perubahan ini didorong oleh berbagai faktor seperti faktor dari dalam dan faktor dari luar masyarakat. Maka petani dewasa ini sudah banyak mengalami perubahan. 

Petani sudah mengenal alat-alat pertanian modern seperti traktor, penyemprot hama, pupuk kimia, bibit unggul, organisasi petani, dan sebagainya. Petani telah dipermudah dengan adanya teknologi yang membantu pekerjaan pertanian mereka. Karena sudah ditemukannya berbagai teknologi yang senantiasa membantu pekerjaan manusia menjadi lebih efisien, maka petani dewasa ini telah mengalami peningkatan hasil panen bahkan berlipat ganda. 

Petani mulai mengandalkan penjualan hasil panen untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari seperti biaya sekolah anak, biaya kesehatan, dan sebagainya. Hal tersebut adalah salah satu dari sekian banyak perubahan yang senantiasa hadir dalam kehidupan masyarakat.

Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa banyak hal yang dapat menjadi factor terjadinya perubahan sosial. Salah satunya adalah konflik. Perubahan sosial dapat terjadi sebagai akibat adanya konflik sosial dalam masyarakat. Konflik sosial itu kemudian dapat terjadi ketika ada perbedaan kepentingan atau terjadi ketimpangan sosial. 

Contoh perbedaan kepentingan misalnya adalah kepentingan penguasa dan rakyat, contoh ketimpangan sosial misalnya perbedaan kelas sosial (di bidang ekonomi). Konflik sosial yang diakibatkan oleh kedua hal tersebut secara langsung atau tidak langsung akan menghasilkan sebuah perubahan sosial. 

Untuk memperkecil pertentangan atau konflik sosial dapat dikembangkan nilai karakter gotong royong dengan komitmen atas keputusan bersama (Sri 2017 : 25). Dengan begitu, dapat dipahami bahwa sejatinya konflik sosial mampu membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat. Konflik sosial tidak melulu dimaknai sebagai hal negatif yang akan merusak masyarakat.

Teori Konflik

Teori konflik yang muncul pada abad 18 dan 19 dapat di mengerti sebagai respon dari lahirnya sebuah revolusi, demokratisasi dan insudtrialisasi. Konflik berasal dari kata kerja latin "configere" yang berarti "saling memukul". 

Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih yang mana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Teori sosiologi konflik adalah alternatif dari sebuah ketidakpuasan terhadap fungsionalisme struktural Talcott Parsons dan Robert K. Merton, yang menilai masyarakat dengan paham consensus dan integralistiknya.

Teori konflik muncul sebagai bentuk reaksi atas tumbuh suburnya teori fungsionalisme struktural yang dianggap kurang memperhatikan fenomena konflik sebagai salah satu gejala di masyarakat yang perlu mendapatkan perhatian. Teori ini bertujuan untuk menganalisis asal usul suatu kejadian terjadinya sebuah pelanggaran peraturan atau latar belakang seseorang yang berperilaku menyimpang.

Konflik merupakan gejala sosial yang selalu hadir dalam kehidupan masyarakat sehingga konflik bersifat inheren yang artinya konflik akan senantiasa ada dalam setiap ruang dan waktu serta dimana saja dan kapan saja. Teori konflik melihat apapun keteraturan yang terdapat di dalam masyarakat berasal dari pemaksaan dan tidak dilakukan secara sukarela karena adanya tekanan. 

Masyarakat senantiasa dalam proses perubahan yang ditandai dengan pertentangan yang terus menerus antara unsur-unsur. Manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai andil dalam terjaadinya disintegrasi dan perubahan sosial. Masyarakat selalu dalam keadaan konflik menuju proses perubahan. Karena teori konflik memandang masyarakat disatukan oleh ketidakbebasan yang dipaksaan. Maka dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain.

Dahrendorf adalah tokoh yang mengembangkan teori konflik. Ia adalah pencetus pendapat yang mengatakan bahwa masyarakat memiliki dua sisi wajah yakni konflik dan consensus. Dan karena itulah teori sosiologi harus dibagi kedalam dua bagian, teori konflik dan teori consensus. 

Teoritis consensus harus menelaah integrasi nilai di tengah-tengah masyarakat sementara teoritis konflik harus menelaah konflik kepentingan dan koersi yang menyatukan masyarakat dibawah tekanan-tekanan tersebut. 

Dahrendorf mengakui bahwa tidak mungkin ada konflik jika tidak terjadi consensus sebelumnya. Sebagai contoh ibu rumah tangga di Jepang cenderung tidak berkonflik dengan pemain catur di London karena tidak ada kontak antar mereka, tidak ada integrasi sebelumnya yang menjadi dasar bagi adanya konflik antara keduanya.

Dalam realitas kehidupan sosial, konflik seringkali menyeruak sebagai hakikat yang dikonotasikan negatif. Masyarakat seringkali melihat konflik sebagai sesuatu yang akan menimbulkan berbagai kerugian. Probabilitas ini wajar saja terjadi karena para ahli dalam mendefinisikan konflik pun sudah cukup menjadi alasan bagi masyarakat untuk berpikir yang demikian itu. 

Konflik menurut Turner (dalam Mas'udi 2015 : 182) memiliki makna bipolaritas. Satu sisi ia mengeksploitasi kelas sosial tertentu di bawah situasi yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi dengan eksistensinya yang senantiasa menimbulkan kepentingan tertentu dan pada saat yang lain ia menciptakan revolusi dalam wilayah organisasi politik dengan orientasi melawan kelompok dominan dan pemilik modal dalam struktur kelas yang berjalan.

Pola-pola terjadinya konflik yang ada di masyarakat pada beberapa aspek disebabkan pula oleh masalah ketidaksetaraan. Hal ini dijelaskan oleh Pip Jones (dalam Mas'udi 2015 : 183) bahwa terdapat beragam struktur ketidaksetaraan di masyarakat. Kelompok etnik mungkin tidak setara, muda dan tua mungkin tidak setara, laki-laki dan perempuan mungkin tidak setara, orang-orang yang memiliki pekerjaan berbeda mungkin tidak setara, dan seterusnya. 

Berbagai kelompok bisa memiliki kekuasaan, wewenang, prestige, atau kombinasi unsur-unsur tersebut dengan kemudahan lainnya. Sementara itu, pada bagian yang lain, berbagai pusat perhatian teori konflik berbasis pada ketidaksetaraan, dan bermacam kemudahan yang mereka anggap tersebar tidak merata. Disebut teori konflik demikian karena bagi teori-teori ini, yang melekat pada masyarakat yang tidak setara adalah konflik kepentingan yang tak terhindari antara yang berupaya dan yang tidak berupaya.

Maka benar adanya bahwa pertentangan atau konflik antarkelompok dapat terjadi karena ketidaksetaraan. Contohnya adalah konflik antara generasi muda dan generasi tua. 

Ketidaksetaraan umur antara keduanya memungkinkan adanya pertentangan karena perbedaan pemikiran yang cenderung memicu pertentangan. Realitas sosial sudah membuktikan bahwa pertentangan yang begitu kerapkali terjadi di masyarakat, apalagi masyarakat yang sedang berkembang dari tahap tradisional ke tahap modern. 

Generasi muda yang cenderung belum terbentuk kepribadiannya masih sangat dipengaruhi kebudayaan barat dan lebih menerima unsur-unsur asing. Keadaan yang begitu kemudian menimbulkan perubahan yang bersifat negative dalam masyarakat. Seperti pergaulan bebas.

Berpijak pada kerangka dasar yang menyatakan bahwa kemunculan konflik dalam kehidupan sosial bertujuan untuk menciptakan fungsi sosial yang ideal, Plummer (dalam Mas'udi : 184) mengutarakan bahwa Thomas Hobbes (1588-1679) dalam pandangannya menjelaskan bahwa demi menciptakan fungsi sosial yang ideal diperlukan adanya pemerintahan yang kuat. 

Mengamati secara mendasar kemunculan konflik di tengah-tengah kehidupan sosial, Plummer menegaskan bahwa sumber kemunculan konflik ada di setiap jenjang kehidupan masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat, konflik akan muncul karena hakikat dasar dari penciptaan manusia itu sendiri adalah perbedaan.

Keanekaragaman kehidupan secara hakikat menjadi dasar factual bahwa konflik itu akan muncul dan terjadi dalam kehidupan sosial. Hakikat sistematis dari analisis munculnya konflik sebagaimana dijelaskan oleh Plummer di atas menguatkan bahwa dasar alamiah dari perjalanan hidup manusia adalah diferensiasi dirinya dengan orang lain.

Melihat Perubahan Sosial dengan Teori Konflik

Mengacu kepada pemikiran Dahrendorf tentang kekuasaan atau otoritas, bahwa kekuasaan mengandung dua unsur yaitu penguasa dan orang yang dikuasai. Mereka yang berada pada kelompok atas (penguasa) ingin tetap mempertahankan status quo sedangkan mereka yang ada di bawah (yang dikuasai) ingin supaya ada perubahan. 

Dahrendorf mengakui pentingnya konflik mengacu pada pemikiran Lewis Coser dimana hubungan konflik dan perubahan ialah konflik berfungsi untuk menciptakan perubahan dan perkembangan. Jika konflik itu intensif, maka perubahan akan bersifat radikal, sebaliknya jika konflik berupa kekerasan, maka akan terjadi perubahan structural secara tiba-tiba.

Dahrendorf menganggap konflik adalah satu bagian dari realitas sosial, yang mana konflik tersebut juga bisa menyebabkan perubahan dan juga perkembangan. 

Teori konflik dipahami melalui suatu pemahaman bahwa masyarakat memiliki dua wajah karena setiap masyarakat kapan saja tunduk pada perubahan sehingga asumsinya bahwa perubahan sosial ada dimana-mana, selanjutnya masyarakat juga bisa memperlihatkan perpecahan dan konflik pada saat tertentu dan juga memberikan kontribusi bagi disintegrasi dan perubahan, karena masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain. 

Dahrendorf juga mengatakan bahwa setelah kelompok konflik muncul dan kelompok itu akan melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan dalam struktur sosial.

Berangkat dari anggapan strukturalisme yang menyatakan bahwa masyarakat senantiasa berubah dengan system yang terstruktur dan menganggap bahwa disfungsi, ketegangan dan penyimpangan sosial akan mengakibatkan perubahan masyarakat dalam bentuk differensiasi sosial yang semakin kompleks, muncul tanggapan dari salah satu tokoh yakni David Lockwood (dalam Sumartono 2019 : 7-8) yang beranggapan bahwa kenyataan strukturalis tersebut mengabaikan kenyataan-kenyataan berikut:

1. Setiap struktur sosial didalamnya mengandung konflik dan kontradiksi yang bersifat internal, yang pada gilirannya justru menjadi sumber bagi terjadinya perubahan sosial.
2. Reaksi dari system sosial terhadap perubahan yang datang dari luar tidak selalu bersifat penyesuaian, hal ini dapat disebabkan perbedaan antara keduanya yang terlalu mencolok atau penolakan system terhadap perubahan tersebut.
3. Suatu system sosial di dalam waktu yang panjang dapat juga mengalami konflik sosial yang bersifat visious circle.
4. Perubahan sosial tidak selalu terjadi secara gradual melalui penyesuaian-penyesuaian yang lunak, akan tetapi dapat juga terjadi secara revolusioner.
5. Suatu perubahan sosial selalu terwujud dalam bentuk adanya kekacauan dalam kehidupan sosial, tetapi tidak semua perubahan ini mewujudkan kekacauan sosial yang besar. Yang terbanyak adalah adanya kekacauan dalam ruang-ruang lingkup kehidupan sosial kecil dan yang biasanya terjadi di mulai dalam kehidupan keluarga.

Kekacauan sosial dapat mengakibatkan adanya konflik-konflik sosial, tetapi suatu konflik sosial tidak dapat berlangsung terus menerus, maka pada suatu saat kedamaian akan terwujud dan suatu ketertiban sosial baru ada dalam kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan (Sumartono 2019 : 11).

Konflik dalam masyarakat dapat membawa keadaan yang baik karena mendorong perubahan masyarakat, tetapi juga keadaan yang buruk apabila berkelanjutan tanpa mencari solusi yang bermanfaat  bagi semua pihak. Maka dari itu perlu dicari jalan keluar untuk memecahkan setiap konflik yang muncul di dalam kehidupan masyarakat.

Penganut teori konflik sejatinya mempercayai bahwa yang tetap terjadi dalam kehidupan masyarakat adalah konflik sosial, dan bukan perubahan. Perubahan hanyalah merupakan akibat dari adanya konflik dalam masyarakat, yakni terjadinya pertentangan antara kelas kelompok penguasa dan kelompok tertindas. Oleh karena konflik sosial berlangsung secara terus menerus, maka perubahanpun juga demikian adanya. 

Konflik antar kelompok dan kelas sosial baru akan melahirkan suatu perubahan. Bahkan menurut Karl Marx (dalam Nur 2012 : 8), konflik kelas sosial merupakan sumber paling penting dan paling berpengaruh dalam semua perubahan sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

Formulasi penting menurut Marx (dalam Sri 2016 : 86) mengenai dinamika perubahan sosial antara lain bahwa; perubahan sosial berpusat pada kemajuan cara atau teknik produksi material sebagai sumber perubahan sosial-budaya, dalam perubahan sosial selain kondisi material dan cara berproduksi, maka yang patut diperhatikan adalah hubungan-hubungan sosial beserta norma-norma kepemilikan yang tersusun berkat keberadaan sumberdaya di tangan pemilik modal. 

Maka menurut Marx, perubahan sosial hanya mungkin terjadi karena konflik kepentingan materil. Konflik sosial dan perubahan sosial menjadi satu pengertian yang setara, karena perubahan sosial berasal dari adanya konflik kepentingan material tersebut akan melahirkan perubahan sosial.

Secara historis konflik antar masyarakat-masyarakat memainkan suatu peranan penting dalam pembentukan unit-unit sosial yang lebih besar dan lebih luas, memperkuat sisem stratifikasi sosial dan memperluas difusi penemuan-penemuan baru di bidang sosial budaya. 

Realitas kehidupan di jaman sekarang bahkan telah membawa kita berpikir bahwa konflik sangat mungkin mendorong terjadinya perubahan dan penemuan-penemuan baru. Bahkan konflik yang bersifat internasional telah mampu mempengaruhi struktur ekonomi dan struktur politik, bahkan norma-norma. Adanya suatu perubahan sosial dalam masyarakat yang disebabkan karena adanya konflik sosial bergantung pada kenyataan masyarakat itu sendiri yang mengalami perubahan sosial.

Dapat dikatakan bahwa suatu perubahan yang terjadi tidak melulu mendorong masyarakat menjadi lebih baik, namun perubahan dapat pula menjadi suatu kemunduran dalam masyarakat.

Konflik sejatinya dapat dijadikan sebagai sarana untuk mencapai suatu keseimbangan antara kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, kemudian dapat pula melahirkan suatu kerja sama di mana masing-masing pihak melakukan intropeksi yang kemudian melakukan perbaikan-perbaikan dan konflik dapat memberi batas-batas yang lebih tegas, sehingga masing-masing pihak yang bertikai sadar akan kedudukannya dalam masyarakat. 

Soerjono Soekanto (dalam Ahmadin 2017 : 229) menyebutkan bahwa konflik sosial yang terjadi di masyarakat dapat meningkatkan solidaritas sesama anggota kelompok (ingroup) yang mengalami konflik dengan kelompok lain.

Kesimpulan
 
Segala sesuatu pasti berubah. Pun sama halnya dengan kehidupan masyarakat yang senantiasa mengalami perubahan dalam segala aspeknya. Perubahan akan terjadi cepat atau lambat. Setiap perubahan yang terjadi dalam kehidupan suatu masyarakat berbeda dengan perubahan yang terjadi di masyarakat yang lain. 

Masyarakat memang selalu mengalami perubahan, namun perubahan yang dialami tidak selalu sama dan bahkan cenderung berbeda-beda. Perubahan sosial berarti perubahan yang melibatkan berubahnya struktur atau tatanan dalam kehidupan masyarakat. 

Sementara perubahan sosial yang di analisis menggunakan teori konflik menyatakan bahwa perubahan sosial yang terjadi di masyarakat senantiasa terjadi dikarenakan oleh pertikaian atau konflik antar kelompok masyarakat. 

Seperti yang dikatakan oleh Dahrendorf bahwa konflik itu intensif, maka perubahan akan bersifat radikal, sebaliknya jika konflik berupa kekerasan, maka akan terjadi perubahan structural secara tiba-tiba. Sedangkan menurut Marx, perubahan sosial hanya mungkin terjadi karena konflik kepentingan materil. 

Konflik sosial dan perubahan sosial menjadi satu pengertian yang setara, karena perubahan sosial berasal dari adanya konflik kepentingan material tersebut akan melahirkan perubahan sosial. Konflik sejatinya dapat dijadikan sebagai sarana untuk mencapai suatu keseimbangan antara kekuatan-kekuatan dalam masyarakat, kemudian dapat pula melahirkan suatu kerja sama dan meningkatkan solidaritas antara anggota kelompok karena adanya kepentingan mempertahankan  kekuatan kelompok.

Daftar Pustaka
 
Ardu Marius, Jelamu. 2006. Perubahan Sosial. Kajian Analitik, Vol.2 No.2.
Sumartono. 2019. Dinamika Perubahan Sosial dalam Teori Konflik. Jurnal Ilmu Komunikasi dan
Bisnis, Vol.5 No.1.
Lumintang, Juliana. 2015. Pengaruh Perubahan Sosial terhadap Kemajuan Pembangunan
Masyarakat di Desa Tara-Tara I. Acta Diurna, Vol.4 No.2.
Djazifah, Nur. 2012. Proses Perubahan Sosial di Masyarakat. Yogyakarta: UNY.
Mas'udi. 2015. Akar-Akar Teori Konflik: Dialektika Konflik; Core Perubahan Sosial dalam
Pandangan Karl Marx dan George Simmel. Jurnal Ilmu Aqidah dan Studi Keagamaan,
Vol.3 No.1.
Ahmadin. 2017. Konflik Sosial Antar Desa dalam Perspektif Sejarah di Bima. JIME, Vol.3 No.1.
Suntari, Sri. 2016. Perubahan Sosial. Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun