Dahrendorf adalah tokoh yang mengembangkan teori konflik. Ia adalah pencetus pendapat yang mengatakan bahwa masyarakat memiliki dua sisi wajah yakni konflik dan consensus. Dan karena itulah teori sosiologi harus dibagi kedalam dua bagian, teori konflik dan teori consensus.
Teoritis consensus harus menelaah integrasi nilai di tengah-tengah masyarakat sementara teoritis konflik harus menelaah konflik kepentingan dan koersi yang menyatukan masyarakat dibawah tekanan-tekanan tersebut.
Dahrendorf mengakui bahwa tidak mungkin ada konflik jika tidak terjadi consensus sebelumnya. Sebagai contoh ibu rumah tangga di Jepang cenderung tidak berkonflik dengan pemain catur di London karena tidak ada kontak antar mereka, tidak ada integrasi sebelumnya yang menjadi dasar bagi adanya konflik antara keduanya.
Dalam realitas kehidupan sosial, konflik seringkali menyeruak sebagai hakikat yang dikonotasikan negatif. Masyarakat seringkali melihat konflik sebagai sesuatu yang akan menimbulkan berbagai kerugian. Probabilitas ini wajar saja terjadi karena para ahli dalam mendefinisikan konflik pun sudah cukup menjadi alasan bagi masyarakat untuk berpikir yang demikian itu.
Konflik menurut Turner (dalam Mas'udi 2015 : 182) memiliki makna bipolaritas. Satu sisi ia mengeksploitasi kelas sosial tertentu di bawah situasi yang diciptakan oleh pertumbuhan ekonomi dengan eksistensinya yang senantiasa menimbulkan kepentingan tertentu dan pada saat yang lain ia menciptakan revolusi dalam wilayah organisasi politik dengan orientasi melawan kelompok dominan dan pemilik modal dalam struktur kelas yang berjalan.
Pola-pola terjadinya konflik yang ada di masyarakat pada beberapa aspek disebabkan pula oleh masalah ketidaksetaraan. Hal ini dijelaskan oleh Pip Jones (dalam Mas'udi 2015 : 183) bahwa terdapat beragam struktur ketidaksetaraan di masyarakat. Kelompok etnik mungkin tidak setara, muda dan tua mungkin tidak setara, laki-laki dan perempuan mungkin tidak setara, orang-orang yang memiliki pekerjaan berbeda mungkin tidak setara, dan seterusnya.
Berbagai kelompok bisa memiliki kekuasaan, wewenang, prestige, atau kombinasi unsur-unsur tersebut dengan kemudahan lainnya. Sementara itu, pada bagian yang lain, berbagai pusat perhatian teori konflik berbasis pada ketidaksetaraan, dan bermacam kemudahan yang mereka anggap tersebar tidak merata. Disebut teori konflik demikian karena bagi teori-teori ini, yang melekat pada masyarakat yang tidak setara adalah konflik kepentingan yang tak terhindari antara yang berupaya dan yang tidak berupaya.
Maka benar adanya bahwa pertentangan atau konflik antarkelompok dapat terjadi karena ketidaksetaraan. Contohnya adalah konflik antara generasi muda dan generasi tua.
Ketidaksetaraan umur antara keduanya memungkinkan adanya pertentangan karena perbedaan pemikiran yang cenderung memicu pertentangan. Realitas sosial sudah membuktikan bahwa pertentangan yang begitu kerapkali terjadi di masyarakat, apalagi masyarakat yang sedang berkembang dari tahap tradisional ke tahap modern.
Generasi muda yang cenderung belum terbentuk kepribadiannya masih sangat dipengaruhi kebudayaan barat dan lebih menerima unsur-unsur asing. Keadaan yang begitu kemudian menimbulkan perubahan yang bersifat negative dalam masyarakat. Seperti pergaulan bebas.
Berpijak pada kerangka dasar yang menyatakan bahwa kemunculan konflik dalam kehidupan sosial bertujuan untuk menciptakan fungsi sosial yang ideal, Plummer (dalam Mas'udi : 184) mengutarakan bahwa Thomas Hobbes (1588-1679) dalam pandangannya menjelaskan bahwa demi menciptakan fungsi sosial yang ideal diperlukan adanya pemerintahan yang kuat.