Kita seringkali tidak asing dengan kata “Korupsi”, Korupsi merupakan masalah yang telah lama melanda berbagai negara di seluruh dunia, termasuk negara kita, Indonesia. Fenomena korupsi memiliki dampak yang merugikan, tidak hanya terhadap pemerintahan dan sektor publik, tetapi juga terhadap masyarakat secara keseluruhan. Korupsi merusak prinsip-prinsip keadilan, merugikan pembangunan, menghambat investasi, dan menciptakan ketidakstabilan politik. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami latar belakang korupsi agar dapat mengatasi masalah ini secara efektif. Sejarah korupsi sebagai praktik yang merugikan telah ada sejak zaman kuno. Praktik korupsi telah terdokumentasi dalam berbagai budaya dan masyarakat, baik dalam bentuk suap, nepotisme, penyalahgunaan kekuasaan, atau penggelapan dana publik. Korupsi tidak mengenal batasan geografis, politik, atau ekonomi. Bahkan, korupsi dapat ditemukan dalam berbagai sektor, mulai dari tingkat pemerintah pusat hingga tingkat lokal, dan dari sektor publik hingga sektor swasta.
Di negara kita, korupsi telah menjadi masalah yang mengkhawatirkan dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kita sering mendengar tentang kasus korupsi yang melibatkan pejabat pemerintah, baik di level nasional maupun daerah. Korupsi mencakup berbagai tindakan, seperti penerimaan suap, penyelewengan anggaran, manipulasi kontrak, dan penyalahgunaan wewenang. Salah satu akar permasalahan korupsi adalah rendahnya tingkat integritas dalam pemerintahan dan sektor publik. Kurangnya transparansi, akuntabilitas, dan pengawasan yang efektif memungkinkan terjadinya praktik korupsi. Sistem birokrasi yang rumit dan proses pengambilan keputusan yang tidak jelas seringkali menjadi celah bagi tindakan korupsi.
Hubungan yang kuat terdapat antara korupsi, pembangunan berkelanjutan, proses demokrasi, dan penegakan hukum. Selanjutnya, korupsi menjadi salah satu faktor utama dalam proses pemiskinan yang mengakibatkan kemiskinan yang semakin parah, pelayanan publik yang tidak optimal, kurangnya infrastruktur yang memadai, perekonomian yang mahal, dan pengeksploitasian sumber daya yang tidak menguntungkan masyarakat umum. Inilah konteks yang mendasari pentingnya kebijakan akselerasi dalam memberantas korupsi.
Selain itu, faktor-faktor sosial dan budaya juga dapat berkontribusi terhadap prevalensi ( tingkat keberadaan atau sebaran suatu keadaan pada suatu populasi ) korupsi dalam masyarakat. Beberapa faktor sosial yang dapat mempengaruhi munculnya korupsi adalah rendahnya kesadaran akan pentingnya etika, norma yang menghargai kesuksesan material, dan rendahnya kepercayaan terhadap institusi pemerintah. Budaya saling memberi dan menerima suap, juga dikenal sebagai "budaya suap", sering kali dianggap sebagai norma dalam interaksi sosial. Dampak korupsi sangat merugikan bagi pembangunan negara kita. Korupsi menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi dengan menciptakan ketidakpastian hukum dan bisnis. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk memperbaiki infrastruktur, membangun sistem pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, seringkali disalahgunakan oleh oknum koruptor. Akibatnya, akses terhadap layanan publik menjadi terbatas.
Maka, penting bagi kita untuk menyadari bahwa korupsi merupakan permasalahan serius yang memiliki konsekuensi negatif yang meluas terhadap masyarakat dan pembangunan suatu negara. Tindakan korupsi merusak nilai-nilai keadilan, integritas, transparansi, dan akuntabilitas dalam sistem pemerintahan dan sektor swasta. Korupsi dapat mengambil berbagai bentuk, seperti penyuapan, penggelapan dana publik, nepotisme, atau penyalahgunaan kekuasaan. Dampaknya sangat merugikan, baik secara ekonomi maupun sosial. Korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi, menghalangi investasi, menciptakan ketimpangan, dan memperparah kemiskinan. Selain itu, korupsi juga merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga pemerintahan dan merusak tatanan moral sosial. Mengatasi korupsi bukanlah tugas yang mudah. Dibutuhkan komitmen dan kerja sama antara pemerintah, masyarakat sipil, sektor swasta, dan lembaga internasional untuk secara efektif melawan korupsi. Langkah-langkah seperti memperkuat sistem hukum, menegakkan hukum secara tegas, memberantas penyimpangan, mendorong transparansi dan akuntabilitas, serta meningkatkan pendidikan publik merupakan beberapa strategi yang dapat diadopsi dalam upaya memerangi korupsi.
Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari kata corruptio atau corruptus dari bahasa latin. Corruptio sendiri memiliki beberapa arti yakni tindakan kejahatan yang merusak atau dapat menghancurkan sesuatu. Istilah ini dapat diartikan seperti kebejatan, kebusukan, keburukan, ketidakjujurdan, tidak bermoral, dan mudah untuk disuap. Corruptio bisa berubah menjadi corruption dalam bahasa inggris dan corruptie dalam bahasa belanda. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia atau KBBI, Korupsi merujuk pada tindakan melanggar hukum yang melibatkan penggunaan uang negara (atau dana dari perusahaan, organisasi, yayasan, dan entitas serupa) secara salah atau tidak semestinya untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau keuntungan orang lain. Menurut United Nations Office on Drugs and Crime atau UNODC, korupsi merupakan fenomena sosial, politik, dan ekonomi yang kompleks yang mempengaruhi semua negara. Korupsi merusak proses yang mendasari sistem politik demokrasi, melambatkan perkembangan ekonomi, dan berkontribusi pada ketidakstabilan pemerintahan. Korupsi mengancam dasar institusi demokratis dengan mengubah proses pemilihan umum, melanggar hukum, dan menciptakan perangkap birokrasi yang hanya bertujuan untuk meminta suap. UNODC juga memiliki dua definisi khusus untuk korupsi, yaitu :
- Pertama, korupsi melibatkan tindakan memberikan, menawarkan, atau memberikan suap kepada pejabat publik, baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan maksud untuk mendapatkan keuntungan yang tidak semestinya, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang atau badan lain, agar pejabat tersebut melakukan atau tidak melakukan tugas resminya.
- Kedua, korupsi mencakup permintaan atau penerimaan oleh pejabat publik, baik secara langsung maupun tidak langsung, untuk keuntungan yang tidak semestinya, baik untuk dirinya sendiri maupun orang atau badan lain, dengan tujuan agar pejabat tersebut bertindak atau tidak bertindak dalam menjalankan tugas resminya.
Berdasarkan pandangan hukum yang ditulis pada UU No. 31 Tahun 199 yang sudah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi, jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya bisa dikategorikan ke dalam berbagai kelompok, diantaranya sebagai berikut:
- Pemerasan : tindakan untuk mengambil sebanyak-banyaknya keuntungan dari korban dengan memberikannya ancaman.
- Gratifikasi : tindakan memberikan fasilitas seperti peminjaman tanpa bunga, memberikan sesuatu dengan cuma-cuma agar penerima dapat tersentuh hatinya dan bisa melakukan apa yang diinginkan oleh pelaku gratifikasi.
- Benturan kepentingan dalam pengadaan
- Kerugian keuangan negara.
- Penggelapan dalam jabatan : Tindakan yang menyerupai kasus pencurian. Jika konteksnya berada di dalam jabatan, maka pelaku penggelapan akan menghilangkan atau menyembunyikan laporan keuangan atau barang bukti demi kepentingan pribadi.
- Perbuatan curang
- Suap menyuap : tindakan memberikan sesuatu kepada orang lain yang bersangkutan, dengan beberapa syarat agar keinginannya dapat terpenuhi. Sebagai contoh yang mudah : Ibu Ani ingin anaknya bersekolah di SMA yang terkenal, namun karena prestasi anaknya tidak memenuhi persyaratan dan tidak diterima di sekolah tersebut, Ibu Ani tetap memaksa dan memberikan uang dalam jumlah banyak agar anaknya tetap diterima di SMA tersebut.
Dari contoh tersebut dapat disimpulkan bahwa Korupsi sudah menyebar dengan sangat luas, tidak hanya di lingkup pemerintahan namun juga lingkungan masyarakat seakan-akan tindakan korupsi sudah menjadi hal yang lumrah dan biasa dijumpai. Hal inilah yang membuat pandangan atau pengertian dari korupsi memiliki banyak makna. Yang pada intinya masih tetap; Korupsi merupakan tindakan yang jahat dan merugikan Negara.
Pandangan Ahli, Undang-undang dan Bank Dunia tentang Korupsi
- Muhammad Ali mengatakan bahwa : Korup merupakan karakter yang senang untuk menerima suap ataupun melakukan suap, sedangkan korupsi merupakan tindakan atau perbuatan dari korup, seperti penggelapan dana. Terakhir, pelaku dari tindakan korupsi disebut sebagai Koruptor.
- Juniadi Suwartojo (1997) mengemukakan bahwa korupsi adalah tindakan pelanggaran norma yang dilakukan oleh satu orang atau lebih dengan memanfaatkan atau menyalahgunakan kekuasaan atau kesempatan melalui proses pengadaan, penetapan penerimaan, pemberian fasilitas, atau layanan lainnya yang terkait dengan penerimaan atau pengeluaran uang atau aset, serta dalam perizinan atau layanan lainnya. Tindakan ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, merugikan kepentingan keuangan negara serta masyarakat umum, demi keuntungan pribadi atau kelompok.
- Menurut M. Mc. Mullan, Seorang pejabat pemerintahan dikatakan koruptor apabila ia menerima uang yang dirasakan sebagai dorongan untuk melakukan sesuatu yang ia bisa lakukan dalam tugas jabatannya padahal ia selama menjalankan tugasnya seharusnya tidak boleh berbuat demikian. Atau dapat berarti menjalankan kebijaksanaannya secara sah untuk alasan yang tidak benar dan dapat merugikan kepentingan umum. Yang menyalahgunakan kewenangan dan kekuasaan.
- Sam Santoso mengungkapkan bahwa Korupsi adalah bentuk lain dari pencurian. Korupsi merupakan wujud penyimpangan tingkah laku tugas resmi suatu jabatan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan berupa status, kekayaan atau uang untuk perorangan, keluarga dekat atau kelompok sendiri. Konon untuk memperoleh jabatan itu ada biayanya, yang dianggap sebagai kewajiban oleh pelakunya. Karena itu, setelah pejabat ia merasa punya hak untuk korupsi.
- UU No 31 Tahun 1999 menuliskan bahwa Korupsi dapat didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan oleh seseorang dengan sengaja melanggar hukum untuk melakukan perbuatan yang tidak bermoral, dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu perusahaan. Tindakan ini mengakibatkan kerugian keuangan bagi negara atau ekonomi negara.
- World Bank (2000) mengatakan bahwa Korupsi merupakan tindakan yang menyalahgunakan kekuasaan atau wewenang untuk kepentingan diri sendiri.
Teori Fraud Triangle: Sebuah Analisis untuk Potensi Kecurangan.
Teori Segitiga Penipuan (Fraud Triangle) dikembangkan oleh Donald R. Cressey, seorang kriminolog. Cressey tertarik untuk menyelidiki faktor-faktor yang mendorong seseorang untuk melakukan penipuan dan penggelapan dana. Hasil penelitiannya kemudian diungkapkan dalam bukunya yang berjudul Other People's Money: A Study in the Social Psychology of Embezzlement. Teori ini menjelaskan tentang bagaimana kita mengetahui adanya potensi kecurangan, penipuan, atau kebohongan yang sebisa mungkin harus dicegah. Jika dibiarkan, akan muncul potensi fraud atau kecurangan yang merugikan orang lain. Sebagai contoh, kita sebagai pemilik usaha, selain memperhatikan kinerja karyawan, juga harus bisa menganalisa kemungkinan terjadinya kecurangan menggunakan teori Fraud Triangle.