Menjadi pribadi yang tangguh dan kuat, adalah salah satu bentuk cita yang sangat saya dambakan. Begitu pula halnya, ketika kita dirundung oleh jutaan persoalan pelik dalam hidup. Akan ada banyak keputusan yang datang menghampiri diri kita, dan di dalam situasi seperti ini, kita dituntut untuk dapat memilih. Memilih keputusan dengan cara yang bijak, hingga mendapatkan keputusan yang suatu saat nanti takkan pernah kita injak-injak (sesali).
Ketika masalah datang, ada dua piihan yang perlu kita ambil dan sikapi. Pertama, apakah kita akan mengumbar masalah yang kita alami di hadapan banyak orang? Dengan alasan untuk memperoleh kepedulian lebih dari orang lain? Untuk menampakkan bahwa diri kita sedang butuh dikuatkan oleh mereka? Atau mungkin untuk memperoleh rasa iba? Subhanallah, sebuah keputusan yang sebenarnya salah ini tak jarang diri kita lakukan.
Saat persoalan pelik menghampiri diri kita, ada sikap tidak sadar yang ingin kita tampakkan kepada orang banyak. Diri kita seperti menunjukkan secara gamblang kepada publik lewat pernyataan,
"Saya sedang punya masalah."
"Ya ampun, masalahku banyak banget."
"Plis, jangan ganggu aku, aku lagi banyak masalah."
"Gimana sih, orang lagi punya masalah, ini ditambah lagi masalahnya."
"Jangan chat aku dulu, aku lagi pusing. Banyak masalah."
Ya, seperti itulah ungkapan kalimat negatif yang tak jarang kita lontarkan. Padahal, di sisi lain, kalimat tersebut menjadi cambuk dan bumerang bagi diri kita pribadi. Diri kita seakan-akan menampakkan sekali kelemahan yang kita punya, kita belum memahami arti kedewasaan yang sebenarnya, kita hanya bisa mengeluh lalu berpeluh.
Seperti itukah kita? Nauzdubillah. Semoga kita tergolong sebagai hamba-Nya yang senantiasa mampu menguatkan diri, dan menyingkirkan segala bentuk kenegatifan diri.
Masalah yang datang kepada diri kita, mesti kita jadikan sebagai penguat raga dan rasa. Sebab, Allah sedang menguji kekuatan batin dan iman kita. Seberapa kuatkah kita untuk melalui itu semua. Apakah kita akan menjadi manusia yang penuh dengan keluh dan kesah?Â
Ataukah menjadi manusia yang penuh dengan keoptimisan untuk menyelesaikan segala persoalan tersebut? Semua itu perihal pilihan. Kita tinggal memilih, ingin menjadi manusia seperti apa.Â
Manusia dengan sikap kedua, dia tak pernah menunjukkan rasa sedih bahkan rasa mengeluh kepada publik. Ia seakan-akan tidak memiliki masalah sedikit pun, begitulah orang lain memandang.Â
Banyak orang yang iri akan sikapnya, sebab ia tak pernah menampakkan kekesalan tersebab datangnya persoalan. Di balik sikapnya yang tenang dan menyenangkan, ada banyak masalah yang ia hadapi. Masalah tersebut ia sembunyikan baik-baik sesuai koridornya.Â
Ia adalah manusia yag hatinya penuh dengan kelapangan, lapang menerima apa yang terjadi dalam dirinya. Sebab, ia sadar. Bahwa itu semua datangnya dari Sang Khalik yang ia cintai. Banyaknya masalah yang ia hadapi, ia pandang sebagai bentuk kecintaan Allah terhadap dirinya. Ia tau, bahwa Allah ingin meninggikan derajatnya, melalui kekuatan batin, raga, serta iman yang hamba-Nya milikki.
Sungguh, luar biasanya manusia dengan sikap kedua ini. Masya Allah, dia begitu percaya akan kehadiran Allah di kala ia di rundung duka, maupun suka. Allah lah sebaik-baik tempat kita kembali, Allah lah sebaik-baik sang penguat raga dan batin. Ia akan selalu ada di kala jutaan probematika datang menuju kepada diri kita.
Jadi bagaimana? Sudahkah kita mulai menginstropeksi dan memilih? Kira-kira kita ingin menjadi manusia dengan sikap pertama, atau kedua? Pasti para pembaca menjawab, "Sikap kedua." Semoga jawaban tersebut memang benar-benar berasal dari hati kita yang paling tulus. Jawaban yang akan selalu menjadi pegangan kita dalam menyikapi persoalan yang datang, dengan penuh sikap positif dan juga bijak. Aamiin Ya Rabb, Wallahul Musta'an.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H