Mohon tunggu...
Dhevi Anggarakasih
Dhevi Anggarakasih Mohon Tunggu... Wiraswasta - Dhevi Anggarakasih

Just want to be the best version of me

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kamu

25 Februari 2017   23:15 Diperbarui: 25 Februari 2017   23:29 450
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku melihatmu. Dari trotoar di seberang jalan kedai kopi kecil tempat nongkrong favorit kita. Masih seperti dulu, kamu duduk di bangku yang sama dengan buku tebal  di tanganmu dan secangkir kopi dihadapanmu. Apa yang kamu baca kali ini? Paulo Coelho? Mario Puzo? Ajahn Brahm? Atau kamu sedang membaca serial Twilight untuk ke sekian kalinya sambil mengangankan perjalanan romantis melintasi hutan?  Adakah bayanganku di antara jejeran huruf-huruf yang sedang kamu baca?

Aku mengamatimu lagi. Benarkah kamu tidak berubah? Rambutmu yang melewati bahu, kamu ikat seadanya ke belakang.  Kamu terlihat pucat. Apakah kamu sakit atau kamu terlalu sibuk memikirkannya sehingga dia benar-benar menyita waktumu dan membuatmu lupa untuk memperhatikan dirimu sendiri? &&&

Aku masih mengenakan seragam putih biru saat pertama kali kita bertemu. Umurku 15, dan kamu, baru saja menyelesaikan skripsi S1 mu. Aku datang ke rumahmu bersama dua orang temanku untuk mencari adikmu. Ya adikmu, aku adalah teman adikmu. Walaupun kami tidak pernah satu kelas.

Waktu itu kamu sedang duduk di teras, membaca sebuah majalah wanita, dengan rambut hitammu yang tergerai basah, tank top hijau toska dan kain lilit hitam bermotif kembang Jepun besar berwarna ungu. Kamu cantik sekali, dan wangi sabun atau body lotion yang kamu pakai saat itu membuat jantungku berdebar lebih kencang. Aku langsung jatuh cinta padamu. Bukan aku saja yang merasakan begitu, tapi teman-temanku juga naksir kamu.

Penampilanmu yang segar dan wajahmu yang baby face, membuat kami semua mengira kamu adalah anak SMA. Aku sampai lupa maksud kedatanganku karena pikiranku terlalu sibuk dengan anganku sendiri.

Adikmu sedang tidak ada di rumah saat itu, jadi kamu menemani kami mengobrol. Kamu tidak saja seorang pendengar yang baik tapi kamu juga asyik diajak ngobrol. Obrolan kita tentang masa-masa sekolah membuatku ingin mengenalmu lebih jauh . Apakah kamu memiliki banyak kekasih atau kamu terlalu sibuk belajar sehingga menjadi gadis yang kuper dan membosankan?

Aku sibuk berpikir, mencari-cari cara agar aku bisa datang ke rumahmu lagi dan bertemu denganmu. Tapi kesempatan itu tidak pernah datang kepadaku. Adikmu yang biasanya susah dicari, setelah hari itu tiba-tiba saja bisa kutemukan dimana-mana. Aku gigit jari. &&&

Aku masih di seberang jalan, mengamatimu dari kejauhan. Kamu merapatkan pashmina berwarna fuschia yang kamu kenakan. Pashmina pemberianku kah itu? Hm..andai aku dapat menjadi pashmina itu, aku pasti akan menjadi pria yang paling berbahagia di dunia ini. Melekat ditubuhmu dan memelukmu erat. Menghangatkanmu.

Angin bulan Januari yang dingin dan menusuk kulit berhembus perlahan. Menggugurkan bunga-bunga Flamboyant yang masih tersisa, mengayun-ngayunkannya perlahan sebelum menyerakkannya di trotoar tempatku berdiri. &&&

Kopi dalam cangkir di hadapanmu rupanya sudah habis. Kamu memesan secangkir kopi yang kedua. Atau ketiga. 

Kali ini kamu tidak langsung memelototi buku tebal di hadapanmu, tapi memandangi bangku kosong di sebelahmu - bangku yang biasa kududuki saat bersamamu. Apakah kamu mengingatku saat itu? Apakah kamu ingat saat lutut kita seringkali bersentuhan tanpa sengaja? Yang membuat jantungku melompat-lompat dan ingin segera mendekapmu? &&&

Nasib baik akhirnya mempertemukan kita kembali, aku diterima bekerja di kantor tempatmu juga  bekerja. Aku baru seminggu bekerja, saat aku kembali bertemu denganmu. Jantungku serasa berlompatan dan kakiku mendadak dingin dan kaku. Itu kamu. Kamu di sana. Lebih cantik dari terakhir kali saat kita bertemu. Rambutmu yang berpotongan shaggy, panjang melewati bahu dan kacamata minus berbentuk persegi menghiasi matamu.  Saat aku memperkenalkan diri, kamu tidak langsung mengenaliku. Tentu saja, aku tumbuh lebih tinggi, lebih tampan dan aku tidak lagi mengenakan celana biru setengah tiang. &&&

Hari ini, 5 Januari. Ulang tahunku. Masih ingatkah kamu ulang tahunku? Masih ingatkah kamu ulang tahunku yang pertama kali kurayakan bersamamu?

Aku masih memandangimu dari seberang jalan kedai kopi kecil tempat nongkrong favorit kita. Kamu masih di sana, sesekali memperhatikan kendaraan yang lalu lalang sambil mulai mencoret-coret bukumu. Kamu pasti sedang membuat sketsa lagi. Kali ini apa yang sedang kamu lukis?

&&&

Waktu itu, kita belum resmi menjadi sepasang kekasih tapi kita sudah sering mengunjungi kedai kopi kecil itu bersama. Aku mengajakmu ke belakang kedai kopi kecil itu. Duduk di kursi batu di bawah pohon Tanjung. Bunga-bunga Tanjung yang berguguran menebarkan keharuman eksotis yang memenuhi  udara sejuk  di sekitar kita. Aku memberanikan diri memegang tanganmu. Kamu memandangku dengan mata bulatmu yang berpendar seperti bintang. Kukatakan aku mencintaimu. Aku telah mencintaimu sejak lama. Sejak umurku 15. Sejak aku masih memakai celana biru setengah tiang. Sejak aku pertama kali bertemu denganmu saat kamu memakai tank top berwarna hijau toska dan kain lilit hitam bermotif kembang Jepun besar berwarna ungu. Kamu hanya tersenyum. Memandangku dengan tatapan sayang dan mengelus pipiku. Katamu, kamu juga menyayangiku. Kamu terharu karena aku telah mencintaimu selama itu. Kamu terharu karena aku bisa mengingat setiap detil dirimu saat kita pertama kali berjumpa.

Aku menciummu. Menciummu untuk pertama kalinya di belakang pohon Tanjung yang bunganya sedang berguguran dan menebarkan keharuman eksotis di sekitar kita. Menciummu sambil berharap agar waktu berhenti berjalan. Menciummu sambil berharap kamu bisa membagi kesedihanmu padaku dan bersandar hanya padaku. Hanya padaku.

Aku ingin kita terus-terusan begitu, kalau saja hujan lebat tidak tiba-tiba turun dan memaksa kita kembali ke dalam kedai kopi kecil itu. &&&

Semua bayanganku tentangmu, tentang kita serta rasa rindu yang menggedor-gedor dinding hatiku selama 3 tahun ini akhirnya menggerakkanku untuk melangkahkan kaki menyeberang ke arahmu. Apakah aku bisa kembali dalam kehidupanmu? Apa yang harus kulakukan agar kamu memaafkanku? Menerimaku kembali?

Aku berjalan perlahan, mendekat ke arahmu saat tiba-tba seorang anak laki-laki kecil berusia sekitar 5 tahun berusaha menyeberang ke arahku tanpa memperhatikan bus wisata yang melintas dengan kecepatan tinggi. Reflek, aku berlari ke arahnya, mendorongnya kembali kearah troatoar, di depan kedai kopi kecil itu. Kami berdua terguling di trotoar. Hampir saja.

Bunyi klakson dan decit ban yang mengagetkan membuat orang-orang dalam kedai kopi kecil itu berhamburan keluar. Anak laki-laki kecil yang menangis dalam pelukanku itu akhirnya kuserahkan pada ibunya, yang berdiri mematung tak jauh dari tempat kami terguling. Yang setelah tersadar mengucapkan terima kasih berkali-kali padaku.

Aku berdiri. Membersihkan tanah lembek yang menempel pada baju dan celanaku seraya berjalan ke arah bangku tempat kamu duduk. Kamu di mana? Kamu bahkan tidak mendekatiku seperti orang lain saat kejadian tadi. Aku memperhatikan sekeliling. Apakah kamu masuk ke dalam kedai? Pemilik kedai mempersilahkan aku untuk membersihkan diri di toilet kedai kopi kecil itu. Dan aku tetap tidak menemukanmu di dalam sana.

Aku berdiri dekat bangku tempat kita biasa menghabiskan waktu bersama, sambil melihat sekeliling. Mencari-cari bayangmu. Pemilik kedai kopi kecil yang akhirnya mengenaliku, menghampiri dan menyapaku.

“Apa kabar mas, sudah lama sekali mas tidak ke sini.” katanya. “Mas, mau pesan minuman yang biasa mas pesan dulu?” tanyanya.

“Boleh.”kataku.”Tapi aku mencari temanku yang tadi duduk di sini. Di mana dia ya? Apa sudah pulang?” tanyaku masih bingung.

“Teman yang mana mas? Dari tadi bangku ini kosong”

“Yang duduk di sini, yang minum kopi sambil menggambar.”kataku berkeras.

Wajah pemilik kedai kopi kecil itu mendadak pucat. “Maksudnya, teman perempuan  yang biasa datang bersama mas dulu."

"Iya."

“Dia sudah pergi mas. Sekitar enam atau tujuh bulan yang lalu. Kejadiannya di depan sini juga,  mirip dengan kejadian tadi. Ada anak kecil yang mendadak menyebrang, mbak itu melompat ke jalan untuk menyelamatkan anak itu.Dan…” pemilik kedai kopi kecil itu terus bercerita.

Aku terduduk lemas di bangku itu. Jadi kamu…Hatiku serasa dihujani ribuan tombak.

Pemilik kedai kopi kecil tadi masuk ke dalam kedainya dan kembali dengan sebuah buku tebal ditangannya. “Ini yang tertinggal di meja. Saya tidak tahu harus menyerahkannya pada siapa jadi saya simpan. Siapa tahu ada kenalannya yang mampir ke kedai ini,”katanya sambil menyerahkan buku itu.

Buku itu. Bukumu yang kamu gunakan untuk melukiskan semua sketsamu.

Aku mulai membuka lembaran demi lembaran buku itu dengan mata mulai memanas dan hati yang tercabik-cabik. Di halaman pertama ada sketsa seorang gadis sedang duduk di teras bersama tiga orang anak berseragam SMP. Itu aku dan dua temanku saat pertama kami bertemu denganmu dulu! Lembar-lembar berikutnya memperlihatkan perjalanan kisah kehidupanku denganmu. 

Sepasang kekasih yang berjalan di bawah rerimbunan pohon flamboyant, sepasang kekasih yang berciuman di belakang pohon Tanjung yang bunganya sedang berguguran…Aku tak sabar, aku langsung membuka halaman terakhir.

Ada sketsa seorang pemuda yang berdiri mematung di sebuah trotoar yang dilindungi pohon Flamboyant yang bunganya sedang berguguran dan seorang gadis yang berdiri di depan sebuah kedai kopi kecil di seberang jalan satunya, memandanginya sambil tersenyum, mengembangkan tangan..

Dan di bawahnya ada tulisan tanganmu :

Selamat Ulang Tahun, sayang..

5 Januari 2014.

Hari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun