Nasib baik akhirnya mempertemukan kita kembali, aku diterima bekerja di kantor tempatmu juga  bekerja. Aku baru seminggu bekerja, saat aku kembali bertemu denganmu. Jantungku serasa berlompatan dan kakiku mendadak dingin dan kaku. Itu kamu. Kamu di sana. Lebih cantik dari terakhir kali saat kita bertemu. Rambutmu yang berpotongan shaggy, panjang melewati bahu dan kacamata minus berbentuk persegi menghiasi matamu.  Saat aku memperkenalkan diri, kamu tidak langsung mengenaliku. Tentu saja, aku tumbuh lebih tinggi, lebih tampan dan aku tidak lagi mengenakan celana biru setengah tiang. &&&
Hari ini, 5 Januari. Ulang tahunku. Masih ingatkah kamu ulang tahunku? Masih ingatkah kamu ulang tahunku yang pertama kali kurayakan bersamamu?
Aku masih memandangimu dari seberang jalan kedai kopi kecil tempat nongkrong favorit kita. Kamu masih di sana, sesekali memperhatikan kendaraan yang lalu lalang sambil mulai mencoret-coret bukumu. Kamu pasti sedang membuat sketsa lagi. Kali ini apa yang sedang kamu lukis?
&&&
Waktu itu, kita belum resmi menjadi sepasang kekasih tapi kita sudah sering mengunjungi kedai kopi kecil itu bersama. Aku mengajakmu ke belakang kedai kopi kecil itu. Duduk di kursi batu di bawah pohon Tanjung. Bunga-bunga Tanjung yang berguguran menebarkan keharuman eksotis yang memenuhi  udara sejuk  di sekitar kita. Aku memberanikan diri memegang tanganmu. Kamu memandangku dengan mata bulatmu yang berpendar seperti bintang. Kukatakan aku mencintaimu. Aku telah mencintaimu sejak lama. Sejak umurku 15. Sejak aku masih memakai celana biru setengah tiang. Sejak aku pertama kali bertemu denganmu saat kamu memakai tank top berwarna hijau toska dan kain lilit hitam bermotif kembang Jepun besar berwarna ungu. Kamu hanya tersenyum. Memandangku dengan tatapan sayang dan mengelus pipiku. Katamu, kamu juga menyayangiku. Kamu terharu karena aku telah mencintaimu selama itu. Kamu terharu karena aku bisa mengingat setiap detil dirimu saat kita pertama kali berjumpa.
Aku menciummu. Menciummu untuk pertama kalinya di belakang pohon Tanjung yang bunganya sedang berguguran dan menebarkan keharuman eksotis di sekitar kita. Menciummu sambil berharap agar waktu berhenti berjalan. Menciummu sambil berharap kamu bisa membagi kesedihanmu padaku dan bersandar hanya padaku. Hanya padaku.
Aku ingin kita terus-terusan begitu, kalau saja hujan lebat tidak tiba-tiba turun dan memaksa kita kembali ke dalam kedai kopi kecil itu. &&&
Semua bayanganku tentangmu, tentang kita serta rasa rindu yang menggedor-gedor dinding hatiku selama 3 tahun ini akhirnya menggerakkanku untuk melangkahkan kaki menyeberang ke arahmu. Apakah aku bisa kembali dalam kehidupanmu? Apa yang harus kulakukan agar kamu memaafkanku? Menerimaku kembali?
Aku berjalan perlahan, mendekat ke arahmu saat tiba-tba seorang anak laki-laki kecil berusia sekitar 5 tahun berusaha menyeberang ke arahku tanpa memperhatikan bus wisata yang melintas dengan kecepatan tinggi. Reflek, aku berlari ke arahnya, mendorongnya kembali kearah troatoar, di depan kedai kopi kecil itu. Kami berdua terguling di trotoar. Hampir saja.
Bunyi klakson dan decit ban yang mengagetkan membuat orang-orang dalam kedai kopi kecil itu berhamburan keluar. Anak laki-laki kecil yang menangis dalam pelukanku itu akhirnya kuserahkan pada ibunya, yang berdiri mematung tak jauh dari tempat kami terguling. Yang setelah tersadar mengucapkan terima kasih berkali-kali padaku.
Aku berdiri. Membersihkan tanah lembek yang menempel pada baju dan celanaku seraya berjalan ke arah bangku tempat kamu duduk. Kamu di mana? Kamu bahkan tidak mendekatiku seperti orang lain saat kejadian tadi. Aku memperhatikan sekeliling. Apakah kamu masuk ke dalam kedai? Pemilik kedai mempersilahkan aku untuk membersihkan diri di toilet kedai kopi kecil itu. Dan aku tetap tidak menemukanmu di dalam sana.