Mohon tunggu...
Dhenys Fauzy
Dhenys Fauzy Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa program studi Hukum keluarga Islam

Jalani, hadapi, dan nikmati. Berproses lah semaksimal mungkin, dan jadikan dirimu sebagai acuan kegiatan mu.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bagaimana Jika Demokrasi Ada Tanpa Ilmu Pengetahuan?

4 Januari 2024   13:04 Diperbarui: 4 Januari 2024   13:06 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

PARODI KEPEMIMPINAN :
Bagaimana Jika Demokrasi Ada Tanpa Ilmu-pengetahuan?

Oleh: Dhenys Achmad Fauzy
Editor: Dhea Ananda Yunior

Suatu ketika, tengah berlangsung pesta demokrasi sebagai acara lima tahunan di negeri Konoha.

Terlihat betul antusiasme warga, apalagi acara dimaksud di sponsori oleh beberapa partai pendukung dan para tokoh panutan masyarakat.

Dampaknya terasa betul, salahsatunya ialah terbentuknya perkumpulan-perkumpulan rakyat di sana sini baik dari tingkat lokal maupun skala nasional guna memenangkan pasangan calon masing-masing.

Media massa mulai menghegemoni para pemilih dengan berupaya menggiring opini dalam mendulang suara bagi para pasangan calon yang telah membangun relasi bisnis bersama. Lembaga-lembaga survey yang katanya independen mulai mengolah data dalam memantapkan elektabilitas para paslon tertentu. Kemenangan tinggal selangkah lagi, blusukan dan segala tindakan populis di lakukan demi mendulang suara terbanyak.

Melalui momentum lima tahunan ini, sekalipun legitimasi rakyat tampak besar dan nyata namun sejatinya mereka rakyat tak memiliki kuasa dalam memilih. Sebab, kuasa memilih telah bertransformasi semacam pesanan suara yang di landasi transaksi meskipun di pandang tak begitu etis. Benar saja bahwa pesta demokrasi sedang berlangsung, namun disisi lain parodi kepemimpinan sedang di tampakkan di hadapan rakyat. Jelas sekali politisi lah yang berpesta, rakyat hanya mendapatkan sampah.

Lihat saja fenomena di bawah ini, inilah contoh nyata yang terjadi pada negeri ini. Yang katanya negara ini ialah negara demokrasi, demokrasi tanpa ilmu pengetahuan.

Dalam suatu pesta demokrasi, ada beberapa orang duduk di depan berhadapan langsung dengan warga, setelah di persilahkan berbicara di hadapan khalayak ramai, ia si politikus pun berdiri dan berucap sepatah dua kata bermaksud memberikan salam jitu dan dengan pidato nya yang cukup mengharukan dengan penuh semangat berapi-api, menurut sebagian penonton saat itu.

Tak ayal lagi, sebagian penonton terbius dengan kata manisnya dan tak jarang di antara para penonton memberikan apresiasi berupa tepuk tangan beramai-ramai. Entahlah, apakah apresiasi tersebut merupakan tindakan pujian dari penonton atau sekedar memberikan supporting penghargaan semata.

Bagi seseorang cendekia, saat fenomena ini terjadi di hadapannya pastilah ia mengerti dan merasa seperti sedang melihat seorang salesman yang sementara menjual jasa daripada seorang politisi. Kata katanya begitu manis, yang syarat akan gula di mulutnya. Ya, sedikit lagi para sekawanan semut akan menggerogoti mulut para politisi tersebut.

Seorang bijak pernah berkata "Politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat mempercayainya". Charles De Gaulle.

Begitulah yang terjadi, tentu rakyat yang tak begitu paham dengan politik, akhirnya akan terbius oleh janji-janji para sales. Eh maaf salah ketik, maksudnya ialah janji-janji para politisi.

Rakyat banyak terutama mereka yang tergolong menengah ke bawah, mana paham atas ucapan politisi yang ada, akhirnya mereka hanya tunduk tunduk, geleng gelang hingga pada puncaknya ialah memberikan tepukan tangan. Inilah dialektika yang mengarah pada kemunduran yakni demokrasi tanpa ilmu pengetahuan.

Setelah kegiatan selesai, akan ada tim dari politisi tersebut yang akan membagikan amplop yang berisikan sejumlah nominal, atau setidaknya kertas bergambar para juru selamat. Teringat sebuah istilah "tidak ada makan siang gratis". Berarti acara tersebut tentu ada harapan besar bagi politikus tersebut bahwa dalam pesta demokrasi tentu gambar dirinya bisa di coblos dalam bilik suara dan meraih suara paling banyak.

Yang sangat di herankan dalam konteks demokrasi tanpa ilmu pengetahuan ialah suara mayoritas merupakan sebuah legitimasi kekuasaan. Padahal secara kualitas matematis, alasan para cendekia memilih tidak dapat di persamakan dengan alasan orang awam dalam memilih.

Akhirnya, demokrasi tanpa ilmu pengetahuan ialah demokrasi yang telah mati. Bagaimana tidak, jika suara untuk kemenangan pasangan calon hanya akan ada atas dasar legitimasi modal, dan hubungan feodalistik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun