Seorang bijak pernah berkata "Politisi tidak pernah percaya atas ucapannya sendiri. Mereka justru terkejut bila rakyat mempercayainya". Charles De Gaulle.
Begitulah yang terjadi, tentu rakyat yang tak begitu paham dengan politik, akhirnya akan terbius oleh janji-janji para sales. Eh maaf salah ketik, maksudnya ialah janji-janji para politisi.
Rakyat banyak terutama mereka yang tergolong menengah ke bawah, mana paham atas ucapan politisi yang ada, akhirnya mereka hanya tunduk tunduk, geleng gelang hingga pada puncaknya ialah memberikan tepukan tangan. Inilah dialektika yang mengarah pada kemunduran yakni demokrasi tanpa ilmu pengetahuan.
Setelah kegiatan selesai, akan ada tim dari politisi tersebut yang akan membagikan amplop yang berisikan sejumlah nominal, atau setidaknya kertas bergambar para juru selamat. Teringat sebuah istilah "tidak ada makan siang gratis". Berarti acara tersebut tentu ada harapan besar bagi politikus tersebut bahwa dalam pesta demokrasi tentu gambar dirinya bisa di coblos dalam bilik suara dan meraih suara paling banyak.
Yang sangat di herankan dalam konteks demokrasi tanpa ilmu pengetahuan ialah suara mayoritas merupakan sebuah legitimasi kekuasaan. Padahal secara kualitas matematis, alasan para cendekia memilih tidak dapat di persamakan dengan alasan orang awam dalam memilih.
Akhirnya, demokrasi tanpa ilmu pengetahuan ialah demokrasi yang telah mati. Bagaimana tidak, jika suara untuk kemenangan pasangan calon hanya akan ada atas dasar legitimasi modal, dan hubungan feodalistik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H