Mohon tunggu...
Delvis Sonda
Delvis Sonda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Paradoks Demokrasi di Indonesia

10 September 2024   01:50 Diperbarui: 10 September 2024   01:55 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat ini, demokrasi Indonesia menghadapi tantangan seperti ruang demokratisasi yang terbatas dan terperangkap dalam oligarki. Meskipun siapapun bisa masuk ke arena politik, idealnya politik harus melalui proses berjenjang yang matang agar menghasilkan individu-individu berkualitas, bukan hanya mereka yang memiliki dukungan kuat di belakangnya. Demokrasi sering kali digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan daripada sebagai sarana peningkatan kesadaran politik masyarakat, menciptakan "gimmick demokrasi" di mana politik tidak didasarkan pada kualitas tetapi pada elektabilitas dan kekuatan finansial, yang merusak integritas proses demokrasi.

Menurut Jean Baechler, sistem politik kini mirip pasar politik di mana kepentingan uang lebih dominan daripada gagasan, melahirkan korupsi politik. Idealnya, demokrasi harus memenuhi empat prinsip: legitimasi sosial, legitimasi yuridis, substansi materil, dan legal formal. Jika prinsip-prinsip ini diterapkan dengan baik, kekuasaan yang diperoleh dapat benar-benar berbasis pada demokratisasi.

Namun, demokrasi sering kali menghadapi paradoks, seperti yang diungkapkan Karl Popper, di mana kebebasan memilih bisa berujung pada pilihan yang tidak ideal. Di Indonesia, paradoks ini terlihat dalam keterbatasan pilihan yang diberikan oleh partai politik, bukan oleh masyarakat. Ini menciptakan situasi di mana partai politik, yang seharusnya menjadi tempat pembinaan kader, sering kali hanya menjadi kendaraan politik bagi mereka yang memiliki kekuatan finansial.

Kaderisasi dalam partai politik sering kali tidak berjalan efektif, mengakibatkan kurangnya kader berkualitas. Fenomena seperti Kaesang Pangarep yang tiba-tiba memimpin partai politik menambah kompleksitas masalah ini. Kaderisasi adalah fungsi penting partai politik, dan jika fungsi ini terabaikan, relevansi partai politik dalam demokrasi perlu dipertanyakan.

Demokrasi yang adil memerlukan contoh dan keteladanan dari setiap pejabat. Tanpa proses kaderisasi yang benar, demokrasi akan terhambat sejak awal. Partai politik, sebagai inti dari demokrasi, harus menjalankan fungsi kaderisasinya dengan baik agar dapat mendukung demokrasi yang sehat.

Melihat ke depan, masa depan demokrasi sangat bergantung pada realitas berdemokrasi saat ini. Elemen-elemen seperti budaya transaksi politik, money politic, dan politik identitas perlu diwaspadai karena dapat merusak demokrasi dan mengarah pada oligarki. Media sosial memiliki peran penting dalam meningkatkan kesadaran berdemokrasi, tetapi juga sering kali memperburuk keadaan dengan mempromosikan elektabilitas individu tertentu.

Akhirnya, kita harus waspada terhadap kemungkinan munculnya demagog yang memanfaatkan krisis untuk merusak demokrasi dan melegitimasi penyalahgunaan kekuasaan. Kewaspadaan dan kesadaran kolektif sangat penting untuk menjaga agar demokrasi tetap adil dan efektif. Salam Demokrasi.

Penulis: Delvis Sonda, Ketua PMKRI Cab. Jakarta Timur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun