demokrasi bukanlah konsep yang muncul secara orisinal di Indonesia. Sebelum era modern, konsep demokrasi sudah berkembang di Yunani kuno, yang dikenal sebagai pusat pengetahuan awal. Yunani, khususnya kota Athena, menerapkan sistem demokrasi sederhana berupa demokrasi perwakilan, di mana warga dipilih secara acak untuk posisi administratif dan yudisial, sementara legislatif dipegang oleh seluruh warga. Konsep ini menjadi cikal bakal bagi perkembangan demokrasi modern.
Pemikiran tentangSeiring waktu, ide demokrasi terus mengalami perkembangan, terutama setelah Renaisans dan Revolusi Prancis di Eropa pada abad pertengahan. Pemikir-pemikir politik Eropa memperluas ide tersebut, termasuk teori trias politica.
Di Indonesia, konsep demokrasi diperkenalkan melalui mahasiswa yang belajar di Eropa, seperti Mohammad Hatta. Mereka melihat bahwa demokrasi dapat menjadi alat penegakan keadilan. Hatta, misalnya, dapat membela dirinya dalam pengadilan Belanda, meskipun ia dituduh melakukan pelanggaran. Pembelaannya, yang berjudul "Indonesia Vrij" atau "Indonesia Bebas", mendorong masuknya ide demokrasi ke Indonesia yang pada waktu itu berada di bawah kekuasaan kolonial Belanda.
Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 menandai awal penerapan sistem demokrasi di negara ini. Sejak saat itu, demokrasi Indonesia telah mengalami berbagai perubahan, melalui empat periode: Demokrasi Parlementer (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1966), Demokrasi Pancasila (1966-1998), dan Demokrasi Reformasi (1998-sekarang).
Saat ini, kita terus berusaha menguatkan demokrasi di Indonesia. Namun, setelah perjalanan panjang tersebut, penting untuk merenung dan mengevaluasi posisi demokrasi dalam kehidupan bernegara. Demokrasi sering kali berbenturan dengan kepentingan politik, yang mengakibatkan pengurangan makna demokrasi sebagai sistem pemerintahan berdasarkan kedaulatan rakyat. Demokrasi sering tereduksi menjadi formalitas politik, mengabaikan aspek kebebasan berpendapat dan kesejahteraan rakyat, dan menjadi sekadar demokrasi elektoral.
Demokrasi Indonesia saat ini tampaknya terjebak dalam formalitas elektoral, di mana pemilihan umum hanya menjadi rutinitas tanpa makna mendalam. Ini menimbulkan masalah seperti pemborosan anggaran dan polarisasi sosial. Misalnya, pada Pemilu 2024, anggaran yang dialokasikan lebih dari 71,8 triliun rupiah, belum termasuk anggaran tambahan dan pengawasan.
Monopoli demokrasi oleh elit politik sering kali melibatkan politik identitas yang memecah belah. Narasi "kita vs mereka" memperdalam perpecahan antara kelompok pendukung calon yang berbeda. Masyarakat yang kurang memahami politik sering kali menjadi apatis dan hanya mengikuti arus opini publik, memungkinkan elit politik menguasai demokrasi.
Sejarah menunjukkan bahwa pada masa Orde Baru, rezim tersebut mengklaim menerapkan Pancasila dalam setiap aspek pemerintahan, namun sebenarnya memonopoli demokrasi, memastikan kemenangan pemilu yang sama dan membredel pers kritis. Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) juga menjadi masalah besar.
Reduksi makna demokrasi menjadi dua aspek: pertama, penyempitan menjadi sekadar demokrasi elektoral, dan kedua, monopoli oleh elit politik. Kurangnya dukungan dari kelompok penekan juga menyebabkan demokrasi kehilangan fungsinya. Masyarakat seharusnya berperan sebagai kelompok penekan untuk menjaga integritas demokrasi.
Namun, pemahaman politik yang tidak merata membuat banyak elemen masyarakat menjadi apatis atau terlalu fokus pada urusan pribadi. Hanya beberapa kelompok, seperti mahasiswa dan buruh, yang aktif sebagai kelompok penekan, sementara sebagian besar masyarakat tetap menjadi pemilih yang mengikuti arus opini publik.
Demokrasi pada awalnya dihadirkan untuk menawarkan kehidupan yang adil dan sejahtera. Namun, penyelenggara demokrasi sering kali memonopoli dan mereduksi makna serta fungsinya. Demokrasi seharusnya mencakup kebebasan berpendapat, kesejahteraan rakyat, penegakan hukum, perlindungan HAM, dan keadilan sosial. Kita harus terus berjuang untuk mencapai demokrasi yang paripurna dan menjaga semangat demokrasi di tengah perjalanan panjang yang harus dilalui.
Saat ini, demokrasi Indonesia menghadapi tantangan seperti ruang demokratisasi yang terbatas dan terperangkap dalam oligarki. Meskipun siapapun bisa masuk ke arena politik, idealnya politik harus melalui proses berjenjang yang matang agar menghasilkan individu-individu berkualitas, bukan hanya mereka yang memiliki dukungan kuat di belakangnya. Demokrasi sering kali digunakan sebagai alat untuk meraih kekuasaan daripada sebagai sarana peningkatan kesadaran politik masyarakat, menciptakan "gimmick demokrasi" di mana politik tidak didasarkan pada kualitas tetapi pada elektabilitas dan kekuatan finansial, yang merusak integritas proses demokrasi.
Menurut Jean Baechler, sistem politik kini mirip pasar politik di mana kepentingan uang lebih dominan daripada gagasan, melahirkan korupsi politik. Idealnya, demokrasi harus memenuhi empat prinsip: legitimasi sosial, legitimasi yuridis, substansi materil, dan legal formal. Jika prinsip-prinsip ini diterapkan dengan baik, kekuasaan yang diperoleh dapat benar-benar berbasis pada demokratisasi.
Namun, demokrasi sering kali menghadapi paradoks, seperti yang diungkapkan Karl Popper, di mana kebebasan memilih bisa berujung pada pilihan yang tidak ideal. Di Indonesia, paradoks ini terlihat dalam keterbatasan pilihan yang diberikan oleh partai politik, bukan oleh masyarakat. Ini menciptakan situasi di mana partai politik, yang seharusnya menjadi tempat pembinaan kader, sering kali hanya menjadi kendaraan politik bagi mereka yang memiliki kekuatan finansial.
Kaderisasi dalam partai politik sering kali tidak berjalan efektif, mengakibatkan kurangnya kader berkualitas. Fenomena seperti Kaesang Pangarep yang tiba-tiba memimpin partai politik menambah kompleksitas masalah ini. Kaderisasi adalah fungsi penting partai politik, dan jika fungsi ini terabaikan, relevansi partai politik dalam demokrasi perlu dipertanyakan.
Demokrasi yang adil memerlukan contoh dan keteladanan dari setiap pejabat. Tanpa proses kaderisasi yang benar, demokrasi akan terhambat sejak awal. Partai politik, sebagai inti dari demokrasi, harus menjalankan fungsi kaderisasinya dengan baik agar dapat mendukung demokrasi yang sehat.
Melihat ke depan, masa depan demokrasi sangat bergantung pada realitas berdemokrasi saat ini. Elemen-elemen seperti budaya transaksi politik, money politic, dan politik identitas perlu diwaspadai karena dapat merusak demokrasi dan mengarah pada oligarki. Media sosial memiliki peran penting dalam meningkatkan kesadaran berdemokrasi, tetapi juga sering kali memperburuk keadaan dengan mempromosikan elektabilitas individu tertentu.
Akhirnya, kita harus waspada terhadap kemungkinan munculnya demagog yang memanfaatkan krisis untuk merusak demokrasi dan melegitimasi penyalahgunaan kekuasaan. Kewaspadaan dan kesadaran kolektif sangat penting untuk menjaga agar demokrasi tetap adil dan efektif. Salam Demokrasi.
Penulis: Delvis Sonda, Ketua PMKRI Cab. Jakarta Timur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H