Masalah utama adalah izin yang diberikan pemerintah kepada perusahaan untuk membuka hutan adat yang merupakan sumber kehidupan suku Awyu dan Moi. Hutan ini tidak hanya menyediakan makanan, air, dan obat-obatan, tetapi juga memiliki nilai budaya, historis, dan spiritual yang mendalam. Kehilangan hutan ini berarti kehilangan identitas dan jati diri mereka.
Isu ini tidak hanya mengenai hak atas tanah tetapi juga hak asasi manusia, keadilan sosial, dan perlindungan lingkungan. Menurut Asep Komaruddin (juru kampanye Greenpeace), ada beberapa faktor yang memicu perselisihan ini, termasuk ekspansi industri kelapa sawit dan pertambangan yang sering melibatkan perusahaan besar yang didukung kebijakan pemerintah. Proses pengalihan tanah ini sering kali tidak transparan dan melibatkan penipuan, intimidasi, atau bahkan kekerasan terhadap masyarakat adat.Â
Selain itu, banyak masyarakat adat yang tidak memiliki bukti legal formal atas kepemilikan tanah mereka meskipun mereka telah menempati dan mengolah tanah tersebut secara turun-temurun.
Hutan adat yang direncanakan untuk ditebang ini diperkirakan seluas 36.094 hektar, setara dengan setengah luas Jakarta. Hilangnya hutan ini tidak hanya mengancam kehidupan masyarakat adat Awyu dan Moi yang bergantung pada hutan sebagai sumber penghidupan, tetapi juga berpotensi menghilangkan emisi 25 juta ton CO2 yang berdampak pada krisis global (tirto.id).
Menurut Tigor Hutapea dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, perlindungan hutan adat ini penting tidak hanya bagi komunitas lokal tetapi juga untuk lingkungan global. Hutan adat tersebut berperan sebagai penyerap karbon dan habitat bagi flora dan fauna endemik Papua (Greenpeace.co).
Isu ini menyoroti konflik antara kebutuhan pengembangan ekonomi melalui perkebunan sawit dan hak-hak masyarakat adat untuk melindungi tanah leluhur mereka. Persoalan ini menunjukkan pentingnya keseimbangan antara pembangunan dan konservasi lingkungan serta keadilan sosial bagi masyarakat adat di Papua.
Aksi dan Petisi Masyarakat adat Suku Awyu dari Boven Digoel, Papua Selatan dan Suku Moi dari Papua Barat menggelar aksi damai di depan Gedung Mahkamah Agung di Jakarta. Mereka menuntut pembatalan izin perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (IAL) dan PT Sorong Agro Sawitindo (PT SAS) yang dianggap merusak hutan adat mereka. Aksi ini melibatkan doa dan ritual adat, serta dukungan dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa Papua. Para peserta aksi mengenakan busana adat masing-masing suku dan membawa simbol tanah adat untuk diserahkan kepada Mahkamah Agung.
Melalui aksi ini, masyarakat adat Papua berharap Mahkamah Agung akan mengeluarkan putusan yang adil dan melindungi hak-hak mereka serta lingkungan. Mereka juga mengajak publik untuk mendukung perjuangan ini demi masa depan yang lebih baik bagi semua pihak.
Penulis:Â Delvis Sonda, Ketua PMKRI Cab. Jakarta Timur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H