Mohon tunggu...
Delvis Sonda
Delvis Sonda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Perjuangan Suku Awyu dan Suku Moi: Menjaga Hutan Papua

8 September 2024   18:59 Diperbarui: 8 September 2024   19:11 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: www.hutanhujan.org

Suku Awyu dari Boven Digoel di Papua Selatan dan Suku Moi dari Sorong, Papua Barat Daya, memiliki ikatan yang sangat kuat dengan tanah adat mereka. Tanah adat tidak hanya menyediakan kebutuhan dasar seperti pangan dan obat-obatan, tetapi juga merupakan inti dari identitas budaya dan spiritual mereka. 

Hutan yang mereka kelola berfungsi sebagai sumber bahan untuk alat dan aksesori tradisional serta lokasi untuk upacara adat dan ritual keagamaan. Namun, tanah adat ini menghadapi ancaman serius akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit.

Belakangan ini, perusahaan-perusahaan kelapa sawit telah mengambil alih lahan adat kedua suku ini untuk membuka perkebunan sawit. Proses ini sering dilakukan tanpa persetujuan penuh dari masyarakat adat dan tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan serta sosial. 

Penelitian dari The Gecko Project, Tempo, Mongabay, dan Malaysiakini mengungkapkan bahwa proyek-proyek seperti Proyek Tanah Merah dapat merusak hutan Papua secara signifikan. Temuan-temuan ini mencakup tidak adanya analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), pemalsuan tanda tangan pejabat, dan kurangnya negosiasi dengan masyarakat lokal.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit menyebabkan berbagai dampak negatif bagi Suku Awyu dan Moi, termasuk kehilangan tanah adat yang telah diwariskan selama generasi, hilangnya identitas budaya dan spiritual, serta kerusakan lingkungan yang mengakibatkan deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati. 

Selain itu, kehadiran perusahaan sering kali memicu konflik sosial, baik dengan perusahaan maupun antar anggota komunitas yang memiliki pandangan berbeda mengenai kehadiran perusahaan.

Suku Awyu dan Moi, bersama perwakilan organisasi masyarakat sipil, mengadakan aksi di depan Gedung Mahkamah Agung (MA) di Jakarta. Mereka mendesak MA untuk mencabut izin yang diberikan kepada perusahaan kelapa sawit yang mereka lawan. Pembatalan izin tersebut tidak hanya akan mengembalikan hak-hak masyarakat adat yang telah dirampas tetapi juga berpotensi menyelamatkan hutan Papua.

Perlunya pengakuan dan perlindungan hak-hak adat ini tidak hanya tentang keadilan bagi Suku Awyu dan Moi, tetapi juga tentang pelestarian lingkungan dan keberlanjutan sosial. Tanah adat yang dikelola dengan bijaksana oleh masyarakat adat dapat berfungsi sebagai benteng terhadap perubahan iklim dan kerusakan ekologis. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah, perusahaan, dan masyarakat luas untuk menghormati dan mendukung kedaulatan masyarakat adat atas tanah mereka.

Rasisme struktural juga memainkan peran dalam konflik di Papua, di mana kebijakan diskriminatif dan pandangan meremehkan masyarakat adat memperburuk marginalisasi mereka. Eksploitasi sumber daya alam oleh industri ekstraktif seperti pertambangan dan perkebunan sawit merusak hubungan masyarakat adat Papua dengan tanah mereka. Rasisme struktural, yang melibatkan diskriminasi dalam pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik, memperburuk situasi.

Sejarah konflik di Papua menunjukkan perampasan sumber daya alam dan kekerasan terhadap masyarakat adat. Misalnya, saat PT. Freeport mulai beroperasi di Papua, suku Amungme dan Kamoro mengalami penderitaan besar. Pada 1967, suku Amungme memprotes PT. Freeport yang masuk tanpa izin, dan aksi kekerasan serta operasi militer pada 1977 mengakibatkan pengungsian besar-besaran dan banyak korban di kalangan suku Amungme. Baru pada 1998, setelah reformasi, wilayah Papua dicabut dari status Daerah Operasi Militer (DOM).

Perlawanan masyarakat Papua terhadap perampasan ruang hidup mereka merupakan usaha untuk bertahan dan melawan kontradiksi yang ada. Suku Awyu dan Moi, serta masyarakat adat Papua lainnya, terus berjuang untuk mempertahankan eksistensi dan hak-hak mereka di tengah ancaman eksploitasi sumber daya alam.

Masalah utama adalah izin yang diberikan pemerintah kepada perusahaan untuk membuka hutan adat yang merupakan sumber kehidupan suku Awyu dan Moi. Hutan ini tidak hanya menyediakan makanan, air, dan obat-obatan, tetapi juga memiliki nilai budaya, historis, dan spiritual yang mendalam. Kehilangan hutan ini berarti kehilangan identitas dan jati diri mereka.

Isu ini tidak hanya mengenai hak atas tanah tetapi juga hak asasi manusia, keadilan sosial, dan perlindungan lingkungan. Menurut Asep Komaruddin (juru kampanye Greenpeace), ada beberapa faktor yang memicu perselisihan ini, termasuk ekspansi industri kelapa sawit dan pertambangan yang sering melibatkan perusahaan besar yang didukung kebijakan pemerintah. Proses pengalihan tanah ini sering kali tidak transparan dan melibatkan penipuan, intimidasi, atau bahkan kekerasan terhadap masyarakat adat. 

Selain itu, banyak masyarakat adat yang tidak memiliki bukti legal formal atas kepemilikan tanah mereka meskipun mereka telah menempati dan mengolah tanah tersebut secara turun-temurun.

Hutan adat yang direncanakan untuk ditebang ini diperkirakan seluas 36.094 hektar, setara dengan setengah luas Jakarta. Hilangnya hutan ini tidak hanya mengancam kehidupan masyarakat adat Awyu dan Moi yang bergantung pada hutan sebagai sumber penghidupan, tetapi juga berpotensi menghilangkan emisi 25 juta ton CO2 yang berdampak pada krisis global (tirto.id).

Menurut Tigor Hutapea dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, perlindungan hutan adat ini penting tidak hanya bagi komunitas lokal tetapi juga untuk lingkungan global. Hutan adat tersebut berperan sebagai penyerap karbon dan habitat bagi flora dan fauna endemik Papua (Greenpeace.co).

Isu ini menyoroti konflik antara kebutuhan pengembangan ekonomi melalui perkebunan sawit dan hak-hak masyarakat adat untuk melindungi tanah leluhur mereka. Persoalan ini menunjukkan pentingnya keseimbangan antara pembangunan dan konservasi lingkungan serta keadilan sosial bagi masyarakat adat di Papua.

Aksi dan Petisi Masyarakat adat Suku Awyu dari Boven Digoel, Papua Selatan dan Suku Moi dari Papua Barat menggelar aksi damai di depan Gedung Mahkamah Agung di Jakarta. Mereka menuntut pembatalan izin perusahaan sawit PT Indo Asiana Lestari (IAL) dan PT Sorong Agro Sawitindo (PT SAS) yang dianggap merusak hutan adat mereka. Aksi ini melibatkan doa dan ritual adat, serta dukungan dari berbagai organisasi masyarakat sipil dan mahasiswa Papua. Para peserta aksi mengenakan busana adat masing-masing suku dan membawa simbol tanah adat untuk diserahkan kepada Mahkamah Agung.

Melalui aksi ini, masyarakat adat Papua berharap Mahkamah Agung akan mengeluarkan putusan yang adil dan melindungi hak-hak mereka serta lingkungan. Mereka juga mengajak publik untuk mendukung perjuangan ini demi masa depan yang lebih baik bagi semua pihak.

Penulis: Delvis Sonda, Ketua PMKRI Cab. Jakarta Timur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun