Mohon tunggu...
Delvis Sonda
Delvis Sonda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Demokrasi dalam Cengkraman Kartel Politik Pilkada 2024

22 Agustus 2024   02:21 Diperbarui: 23 Agustus 2024   03:35 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: Mindset Institute

Menjelang Pilkada 2024, Indonesia berada di titik penting dalam perjalanan demokrasinya. Demokrasi, yang seharusnya memberi rakyat kekuatan untuk memilih pemimpin sesuai dengan keinginan mereka, kini menghadapi ancaman serius dari praktik politik yang merusak makna sejatinya. Fenomena kartel politik yang menguasai proses demokrasi membuat rakyat kehilangan hak untuk memilih pemimpin yang autentik, terutama dalam konteks Pilkada mendatang.

Demokrasi yang diharapkan berlandaskan pada nilai-nilai luhur Pancasila---kesetaraan dan keadilan---seharusnya menempatkan kedaulatan di tangan rakyat dan memberikan hak kepada setiap individu untuk berpartisipasi dalam menentukan arah bangsa. Namun, kenyataannya, praktik-praktik politik saat ini seringkali bertentangan dengan nilai-nilai luhur tersebut. Demokrasi yang ideal seharusnya memberikan kesempatan kepada rakyat untuk memilih tanpa adanya paksaan atau tekanan, serta memperkuat posisi rakyat sebagai pemegang kedaulatan.

Di dalam bingkai Pancasila, prinsip kesetaraan harus dihormati, di mana setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam proses politik. Namun, saat ini, demokrasi Indonesia menghadapi tantangan besar akibat dominasi kartel politik yang mengendalikan partai-partai politik, membuat rakyat kesulitan menentukan calon pemimpin yang benar-benar diinginkan. Partai politik, yang seharusnya menjadi instrumen demokrasi, seringkali dikuasai oleh kekuatan-kekuatan yang lebih mementingkan kepentingan pribadi atau kelompok daripada kepentingan masyarakat luas.

Dominasi kartel politik telah menyebabkan distorsi dalam proses demokrasi. Rakyat kehilangan kesempatan untuk memilih pemimpin dengan rekam jejak, prestasi, dan kemampuan manajerial yang baik. Sebaliknya, pemimpin yang muncul seringkali lebih dikenal karena citra media daripada kualitas kepemimpinan yang sebenarnya. Akibatnya, esensi demokrasi sebagai alat untuk mewujudkan kedaulatan rakyat tergerus. Ketika kartel politik mengatur segala hal untuk mempertahankan kekuasaan, arah dan tujuan demokrasi menjadi kabur.

Demokrasi sejati tercermin ketika rakyat memiliki kemampuan untuk menentukan pemimpin berdasarkan pertimbangan rasional, bukan karena tekanan atau pengaruh dari kekuatan tertentu. Senada dengan pernyataan Megawati Soekarnoputri pada peringatan Hari Kemerdekaan RI ke-79, rakyat harus diberikan hak untuk memilih pemimpin sesuai dengan kehendak mereka, bukan yang dipaksakan oleh kekuatan politik tertentu. Demokrasi harus memberi kebebasan penuh kepada rakyat dalam menentukan pemimpin mereka. Memaksakan calon pemimpin yang tidak mumpuni merupakan pengkhianatan terhadap esensi demokrasi itu sendiri.

Politik seharusnya menjadi alat untuk membangun peradaban, bukan sekadar merebut kekuasaan. Demokrasi Pancasila harus menjadi pedoman dalam berpikir, bertindak, dan berpolitik, dengan menempatkan kedaulatan di tangan rakyat, bukan pada partai atau individu yang membeli partai untuk kepentingan politik pribadi. Dalam konteks ini, kualitas demokrasi menjadi sangat penting.

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) beberapa waktu lalu memberikan pelajaran penting tentang bagaimana membangun demokrasi yang kreatif dan partisipatif. Demokrasi yang sehat adalah yang mengutamakan partisipasi rakyat, di mana pilihan mereka dihargai dan diakomodasi, bukan diabaikan atau dimanipulasi.

Saat ini, partai-partai politik memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan mereka tidak terjebak dalam politik kartel yang hanya menguntungkan segelintir elite. Sebaliknya, mereka harus berfungsi sebagai pelayan publik sejati yang mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau kelompok.

Realitas politik Indonesia saat ini menunjukkan bagaimana kartel politik bisa menguasai demokrasi dengan menghalangi munculnya calon-calon terbaik dan memanipulasi proses demokrasi untuk kepentingan elite. Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta, fenomena pembelian tiket oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM) menggambarkan betapa serius ancaman terhadap demokrasi kita.

Ketika partai-partai politik lebih mementingkan keuntungan pragmatis dan kekuasaan daripada kehendak rakyat, esensi demokrasi semakin terkikis. Pemilih hanya diberikan calon yang terbatas, tanpa pilihan yang berarti. Ini tidak hanya menghina nalar demokrasi, tetapi juga merampas kedaulatan rakyat. Fenomena kartel politik adalah dampak langsung dari penerapan ambang batas yang tinggi.

Kartel politik terbentuk ketika partai-partai besar bekerja sama untuk menguasai panggung politik, sering kali menyingkirkan partai-partai kecil dan calon independen. Dalam konteks Pilkada Jakarta, Koalisi Indonesia Maju (KIM) menjadi contoh bagaimana kartel politik dapat mendominasi pemilihan dengan memborong tiket pencalonan dan menghalangi calon-calon potensial lainnya.

Kartel politik menciptakan monopoli kekuasaan yang merusak esensi demokrasi. Dalam demokrasi yang sehat, rakyat seharusnya memiliki banyak pilihan dan setiap calon memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing. Namun, ketika kartel politik mendominasi, pilihan rakyat menjadi terbatas dan mereka sering kali hanya diberikan calon yang diusung oleh kartel tersebut. Ini adalah bentuk penghinaan terhadap nalar demokrasi, di mana rakyat kehilangan kontrol penuh atas proses politik.

Saat kartel politik mendominasi, kekuasaan cenderung terkonsentrasi pada segelintir elite, yang dapat menyebabkan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Dengan membuka ruang bagi lebih banyak partai politik untuk bersaing, keputusan MK ini membantu memastikan bahwa kekuasaan tidak hanya terpusat pada satu atau dua partai besar saja.

Selain itu, keputusan ini juga dapat mendorong partai-partai kecil untuk lebih aktif terlibat dalam politik, karena mereka tidak lagi harus bergantung pada koalisi dengan partai besar untuk mencalonkan kandidat. Ini dapat memperkuat sistem politik Indonesia secara keseluruhan, karena partai-partai kecil yang sebelumnya terpinggirkan kini memiliki kesempatan untuk menunjukkan potensi mereka. 

Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 untuk menurunkan ambang batas pencalonan gubernur di DKI Jakarta menjadi 7,5 persen adalah langkah berani yang menantang hegemoni kartel politik, yang selama ini mengancam kualitas demokrasi Indonesia. Dengan menurunkan ambang batas ini, MK tidak hanya memperluas kesempatan bagi partai-partai kecil dan calon independen, tetapi juga membuka pintu bagi beragam calon yang sebelumnya terhambat oleh batasan tinggi.

Langkah ini menciptakan ruang yang lebih adil untuk kompetisi politik, mengurangi ketergantungan pada koalisi dengan partai besar, dan memberikan rakyat pilihan yang lebih beragam. Namun, tantangan tetap ada. Proses implementasi harus dilakukan dengan transparansi dan keadilan untuk memastikan bahwa penurunan ambang batas ini tidak hanya menjadi simbol perubahan, tetapi benar-benar meningkatkan kualitas demokrasi..

penulis: Delvis Sonda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun