Kartel politik terbentuk ketika partai-partai besar bekerja sama untuk menguasai panggung politik, sering kali menyingkirkan partai-partai kecil dan calon independen. Dalam konteks Pilkada Jakarta, Koalisi Indonesia Maju (KIM) menjadi contoh bagaimana kartel politik dapat mendominasi pemilihan dengan memborong tiket pencalonan dan menghalangi calon-calon potensial lainnya.
Kartel politik menciptakan monopoli kekuasaan yang merusak esensi demokrasi. Dalam demokrasi yang sehat, rakyat seharusnya memiliki banyak pilihan dan setiap calon memiliki kesempatan yang sama untuk bersaing. Namun, ketika kartel politik mendominasi, pilihan rakyat menjadi terbatas dan mereka sering kali hanya diberikan calon yang diusung oleh kartel tersebut. Ini adalah bentuk penghinaan terhadap nalar demokrasi, di mana rakyat kehilangan kontrol penuh atas proses politik.
Saat kartel politik mendominasi, kekuasaan cenderung terkonsentrasi pada segelintir elite, yang dapat menyebabkan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Dengan membuka ruang bagi lebih banyak partai politik untuk bersaing, keputusan MK ini membantu memastikan bahwa kekuasaan tidak hanya terpusat pada satu atau dua partai besar saja.
Selain itu, keputusan ini juga dapat mendorong partai-partai kecil untuk lebih aktif terlibat dalam politik, karena mereka tidak lagi harus bergantung pada koalisi dengan partai besar untuk mencalonkan kandidat. Ini dapat memperkuat sistem politik Indonesia secara keseluruhan, karena partai-partai kecil yang sebelumnya terpinggirkan kini memiliki kesempatan untuk menunjukkan potensi mereka.Â
Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 untuk menurunkan ambang batas pencalonan gubernur di DKI Jakarta menjadi 7,5 persen adalah langkah berani yang menantang hegemoni kartel politik, yang selama ini mengancam kualitas demokrasi Indonesia. Dengan menurunkan ambang batas ini, MK tidak hanya memperluas kesempatan bagi partai-partai kecil dan calon independen, tetapi juga membuka pintu bagi beragam calon yang sebelumnya terhambat oleh batasan tinggi.
Langkah ini menciptakan ruang yang lebih adil untuk kompetisi politik, mengurangi ketergantungan pada koalisi dengan partai besar, dan memberikan rakyat pilihan yang lebih beragam. Namun, tantangan tetap ada. Proses implementasi harus dilakukan dengan transparansi dan keadilan untuk memastikan bahwa penurunan ambang batas ini tidak hanya menjadi simbol perubahan, tetapi benar-benar meningkatkan kualitas demokrasi..
penulis: Delvis Sonda
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H