Mohon tunggu...
Dhedi R Ghazali
Dhedi R Ghazali Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Saya hanya seorang penulis yang tidak terkenal.

Saya hanya pembaca yang baik dan penulis yang kurang baik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pelarian

5 Juli 2019   08:03 Diperbarui: 5 Juli 2019   08:10 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar: instagram/ @poetic.persona

Hari pertama pelarian kita, kuajak kau menikmati senja di peron stasiun kereta. Hanya ada kita berdua. Detik-detik terasa sangat lambat, sampai-sampai kita bisa melihat debu beterbangan, menari bersama angin yang gemulai itu.

"Kita mau ke mana?" tanyamu.

"Kau mau ke mana?" tanyaku.

Sama-sama tak memiliki jawaban, akhirnya kita terbahak-bahak bersama.

Matahari turun lebih cepat dari biasanya, mengintip resah dari belakang stasiun kereta. Dengan ragu kau menoleh ke belakang dan menyapa matahari itu. Ia pun buru-buru tenggelam karena malu.

Malam pun tiba. Sebuah cahaya kuning langsat berkilau-kilau dari kejauhan. Deru suara gesekan besi dan besi mendesing, perlahan kian terdengar jelas suaranya.

"Bersiaplah! Kereta sudah tiba!"

Kau lekas mengecek barang-barang bawaanmu: gaun putih, sepatu kaca, dan beberapa pakaian ganti yang serba putih. Sudah sejak dulu kau memang menyukai warna putih. Warna yang kau anggap sebagai pertanda kesucian, ketulusan dan tentu kebersihan.

"Kau tak bawa apa-apa?" tanyamu.

"Kau saja sudah cukup bagiku, An."

Namanya adalah Anelis. Gadis muda yang berpawakan tinggi. Ia sangat lugu. Meski sudah hampir berumur 25 tahun, Anelis masih terlihat kekanak-kanakan. Tidak bisa diam. Selalu bertanya ketika menemukan hal-hal baru yang selama ini tidak pernah ia lihat di rumahnya. Hari ini, aku ajak dia kabur. Bukan semata demi hasrat cinta, namun demi masa depannya yang terlihat suram itu.

Meski terlahir di keluarga yang kaya raya, Anelis tidak merasakan kekayaan itu. Ia hanya dikurung di dalam rumah. Semua itu terjadi sejak seorang saudagar kaya datang menemui kedua orang tuanya untuk meminangnya ketika sudah berumur 25 tahun. Esok hari adalah hari di mana Anelis tepat berumur 25 tahun. Itulah kenapa pada akhirnya kuajak Anelis kabur dari rumah.

***

Tak ada barisan manusia yang terburu-buru dan berjejal memasuki gerbong kereta. Tak terlihat pula batang hidung para kuli panggul yang bersaing mencari penumpang dengan barang bawaan bertumpuk-tumpuk. Suasana begitu sepi. Hening.

"Sepi sekali stasiun ini." Matamu berkeliling mengamati setiap sudut stasiun.

"Tak perlu khawatir, An. Ada aku di sini. Ayo kita naik!"

Di dalam gerbong, orang-orang menatap dengan sinis. Kau terlihat begitu resah dengan tatapan mereka. Tanganmu menggenggam erat tanganku, "Aku takut. Mereka sepertinya tak suka dengan kedatangan kita."

"Tak perlu takut, An. Ada aku."

Seperti seorang anak yang ketakutan, kau berjalan di belakangku. Tanganmu sepenuhnya memegang tanganku. Wajahmu tertunduk. Keheningan kabur seketika saat seorang lelaki kekar berteriak.

"Itu mereka!"

Seorang dari mereka mengamati dengan penuh teliti. Aku hanya tersenyum kepada mereka. Secepat kilat, sebuah pistol mengarah ke kepala.

"Menyerahlah! Berikan gadis itu padaku dan nyawamu akan selamat!"

Tak kuindahkan peringatan itu. Mereka pasti suruhan keluarga Anelis yang saat ini sudah pasti kebingungan mencari anaknya. Tanpa aba-aba, puluhan lelaki itu menyerang dengan memaki segala macam senjata. Kusapukan tanganku. Hanya dalam hitungan detik, puluhan lelaki kekar itu berjumpalitan. Tertinggal  seorang dari mereka memegang sebuah pistol dengan gemetaran.

"Pulanglah. Aku tak akan menyakitimu."

***

Pagi tiba. Embun likat di kaca kereta. Kau memandang keluar. Melihat sawah-sawah yang menguning dan barisan petani tua yang menunduk. Tentu kau tak tahu bahwa para petani itu adalah pekerja dari keluargamu. Para petani yang hanya digaji dengan sekarung padi yang tidak layak jual.

"An. Sudah waktunya aku pergi. Kau tak usah khawatir. Aku menunggumu di ujung rel kereta ini. Duduklah dan nikmati perjalananmu," ucapku.

Kau tak menjawab sebab tengah menyelam di suasana yang tidak pernah kau lihat sebelumnya. Menit demi menit berlalu, jam demi jam pergi tanpa sempat berpamitan. Kereta yang kau tumpangi kian melaju kencang.

Di ujung rel kereta, sebuah jurang yang dalam sudah menunggu. Bukannya memelankan lajunya, kereta itu tetap melesat. Sudah bisa ditebak. Kereta itu meluncur terjun ke dalam jurang. Kau masih tetap sibuk dengan duniamu. Menyelami suasana yang tidak pernah kau lihat sebelumnya.

Di tepi jurang, aku tersenyum. Menunggumu datang. Tak berselang lama, kau datang mengenakan gaun serba putih. Kau terlihat cantik sekali. Buru-buru kau mendekapku, "Kita mau kemana?" tanyamu.

"Mari kita lanjutkan pelarian ini, An," jawabku singkat.

Yogya, 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun