Mohon tunggu...
Dhedi R Ghazali
Dhedi R Ghazali Mohon Tunggu... Penegak Hukum - Saya hanya seorang penulis yang tidak terkenal.

Saya hanya pembaca yang baik dan penulis yang kurang baik

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tuhan, Apa Mau-Mu?

13 Maret 2016   03:38 Diperbarui: 13 Maret 2016   03:44 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fitri sendiri adalah sosok muslimah yang taat beribadah selama ini. Tiada hari tanpa ibadah. Bahkan setiap langkah ia berdzikir memuja keagungan-Nya. Tak sekalipun dia mengumpat, mencaci-maki Tuhan seperti saat ini. Apakah mungkin sebuah tragedi yang tercipta dari lelaki bajingan yang entah siapa itu telah merubahnya begitu cepat? Dari putih lalu menuju hitam tanpa melewati abu-abu terlebih dulu? Ah! Tuhan yang mana yang dia maksud? Setahuku Tuhan Maha Adil. Maha Kuasa. Maha Bijaksana. Maha dari segala yang Maha.

“Kenapa kau hanya diam saja? Bukankah selama ini setiap keluh kesahku selalu kau jawab dengan dalil dari Tuhanmu? Tuhan yang kau agungkan itu, yang kau sujudi saban hari, yang kau bangga-banggakan. Kau juga yang mengajariku lebih dekat dengan-Nya. Tapi kenapa kau hanya diam saat aku mengadu padamu tentang keadilan Tuhanmu itu?” kalimat Fitri menggelegar. Membelah alam bawah sadar.

“Tuhan yang mana yang kau maksudkan itu? Jika Tuhan yang kau maksud adalah Allah SWT—Tuhan dari agama yang kuyakini sejak dari rahim ibuku—maka sesungguhnya Dia tak seperti yang kau katakana, Fit. Allah itu Maha Adil. Keadila-Nya tak perlu ditanyakan lagi.”

“Kau bisa bicara begitu karena tak merasakan apa yang kurasakan. Hatiku hancur. Hancur sehancur-hancurnya. Keperawananku hilang. Dan Tuhan hanya diam saat kesucian itu direnggut paksa oleh lelaki biadab. Kau pernah berkata, tutuplah aurat agar jauh dari godaan lelaki-lelaki bajingan. Aku sudah melakukannya. Sudah kututup auratku. Namun masih saja lelaki itu memperkosaku. Katakan pada Tuhan, aku membencinya. Melebihi kebencianku kepada lelaki bejat yang memperkosaku.”

Air mata itu menderas. Letupan-letupan maha dahsyat membuat jantungku berdetak kencang. Aku ngilu. Satu sisi amarah ini kian meradang, di sisi lain aku tak tahu apa yang harus kukatakan kepada Fitri. Ada peperangan yang sangat sengit di kepala. Ingatanku melayang kepada salah satu tokoh dalam novel berjudul “Tuhan, Izinkan Aku Jadi Pelacur”. Nidah Kiran, seroang muslimah taat yang pada akhirnya memberontak. Yang tak lagi percaya kepada Tuhan. Tapi … aku tak ingin Fitri menjadi Nidah Kiran yang selanjutnya.

“Sabar, Fit. Ini adalah cobaan dari Gusti Allah. Semakin besar cobaan, adalah sebuah bukti semakin besar pula kasih sayang-Nya padamu.”

“Omong kosong! Jika Dia sayang padaku, harusnya Dia menolongku saat itu! Kau tahu, khutbah-khutbah yang sering kudengar darimu, dari suarau-surau, dari langgar-langgar, dari masjid-masjid, tak lebih dari tipu daya saja.”

Dendam semakin dalam. Dendam seorang perempuan bernama Fitri. Dendam yang terluap dari sumpah serapah yang keluar dari kekecewaan  telah menjadi api di dalam hatinya. Aku tak ingin munafik. Aku sendiri pun pernah menghardik Tuhan seperti yang ia lakukan. Mempertanyakan tentang keadilan Tuhan. Di saat koruptor hidup enak, hidup ribuan rakyat miskin yang masih bersujud kepada-Nya tak bergerak seinchi pun dari kesengsaraan. Belum lagi betapa anak-anak di Palestina, Suriah, Lebanon yang terkapar menjadi bangkai itu. Salah apa mereka? Dosa apa mereka? Hingga Tuhan menempatkan bocah-bocah itu dalam peperangan. Juga dengan Israel, Amerika dan sekutunya yang nyata-nyata membantai ribuan bahkan puluhan ribu muslim, masih saja mencokolkan kebiadabannya. Lalu dimana Tuhan saat itu? Saat umatNya dibantai? Saat darah mengucur, saat bangkai-bangkai bergelimpangan, dimana Tuhan? Apakah Dia tak melihat, apakah dia tak mendengar jerit dan tangis? Begitu banyak peristiwa yang akhirnya membuat manusia bertanya akan keadilan TuhanNya sendiri.

“Fit, Gusti Allah itu Maha adil. Apapun yang terjadi pada umat-Nya, sedramatis apapun itu, di sana pula masih ada keadilan-Nya. Barangkali memang keadilan itu tak begitu terlihat olehmu yang sedang merasakan kekalutan. Tidakkah kau berpikir, bisa saja lelaki biadab itu membunuhmu? Tapi Gusti Allah masih memberimu kehidupan, Fit.”

“Haruskah aku berandai-andai? Andai saja, andai saja dan andai saja…. Andai saja Tuhan menolongku, aku tak akan kehilangan kesucianku. Andai saja lelaki bejat itu tak ada, tak akan pula terjadi pemerkosaan. Terus saja berandai-andai. Memang Tuhan sekadar andai. Tak lebih.”

Aku tertegun mendengar jawaban itu. Jawaban yang menusuk ulu hati. Sebuah jawaban yang tabu. Sekali lagi aku ingin memberontak. Tapi wanita ini benar-benar mulai menyudutkanku. Memperkosa pikiranku. Seribu argumen rasanya akan mentah. Fitri benar-benar sedang muak dengan Tuhan. Betapa sebuah peristiwa mampu merubah segalanya dalam sekedipan mata.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun