Dhea Yusri Ananda
Politeknik Keuangan Negara STAN
Pandemi Covid-19 merupakan keadaan yang mengharuskan banyak penyesuaian, terutama dalam anggaran pemerintah untuk menangani covid-19. Dimulai dari akhir tahun 2019, pandemi mulai merebak dan perlahan masuk ke Indonesia hingga mampu lumpuhkan aktivitas diberbagai lini. Hal ini memiliki urgensi yang harus diselesaikan secara cepat dan tanggap oleh pemerintah, mengingat pandemi covid-19 mengancam keterpurukan ekonomi dalam banyak sektor. Pembatasan aktivitas untuk menghindari kontak langsung dan penyebaran covid-19 membuat roda ekonomi tidak berputar secara sehat sehingga capaian produktivitas negara Indonesia menjadi turun. Keadaan ini tidak hanya di alami oleh negara Indonesia saja tetapi hampir semua negara di dunia ikut mengalami krisis pada pandemi covid-19.
Turunnya produktivitas tentunya akan berpengaruh pada tingkat capaian PDB Indonesia. Salah satu sektor yang juga terdampak adalah penerimaan pajak yang tidak memperoleh realisasi target. Hal ini tidak serta merta disebabkan oleh ketidakmampuan Direktorat Jendral Pajak dalam mengelola strategi untuk mencapai target realisasi tetapi dampak tersebut disebabkan oleh keadaan yang memaksa yaitu covid-19 yang secara seksama juga tidak terduga akan melumpuhkan berbagai aktivitas masyarakat, salah satunya juga aktivitas bisnis ekonomi yang memiliki sumbangsih besar dalam pembayaran pajak. Keadaan ini tentunya memaksa Kementrian Keuangan untuk berpikir keras bagaimana strategi agar tetap menjaga stabilitas penerimaan pajak karena menjadi unsur penting dalam APBN dan akan membiayai segala bentuk langkah pemulihan pandemi covid-19. Sebagai salah satu bagian penting dalam APBN maka kementrian keuangan mengambil beberapa langkah terkait perpajakan yaitu kebijakan pajak yang adaptif, intinya ada 3 aspek utama meliputi; menjaga bisnis ekonomi tetap berjalan, melakukan upaya untuk mempertahankan kesempatan kerja yang ada serta menjaga pendapatan rumah tangga. Pada kebijakan pajak yang adaptif ini, pemerintah juga memberikan insentif pajak dalam rangka penyesuaian kedaan pandemi covid-19.Lalu, dengan meredanya lonjakan kasus covid-19, Kementrian Keuangan melakukan  suatu inovasi untuk pemulihan dengan Harmonisasi Undang-Undang Perpajakan. Ini sebagai salah satu bentuk langkah untuk mencapai  penerimaan optimal dan sistem administrasi yang efisien.
Rancangan UU HPP disahkan menjadi UU HPP pada tangal 29 Oktober tahun 2021. Pemberlakuannya diterapkan mulai tahun pajak 2022. Undang-Undang Harmonisasi Perpajakan merupakan suatu bukti konkrit yang telah dilakukan oleh kementrian keuangan untuk menemukan Solusi dalam Pemulihan Ekonomi Nasional atau yang disebut dengan seingkatan PEN yang dalam hal ini timbul akibat dari adanya pandemi covid-19. Ini membuktikan bahwa langkah untuk memulihkan ekonomi nasional tidak menjadi wacana belaka. Hal ini tentu selaras dengan tujuan untuk mengoptimalkan kondisi fiskal yang berkaitan dengan peningkatan serta perluasan cakupan rasio pajak dan efisiensi sistem perpajakan yang lebih berkeadilan juga berkepastian hukum.
Dalam pasal 1 ayat 2 UU HPP juga memuat tujuan untuk meningkatkan pertumbuhan perekonomian Indonesia yang berkelanjutan sekaligus mendukung percepatan pemulihan ekonomi yaitu, “Undang-Undang ini dibentuk dengan tujuan untuk:
 a. meningkatkan pertumbuhan perekonomian yang berkelanjutan dan mendukung percepatan pemulihan perekonomian ;
b. mengoptimalkan penerimaan negara guna membiayai pembangunan nasional secara mandiri menuju masyarakat Indonesia yang adil, makmur, dan sejahtera;
c. mewujudkan sistem perpajakan yang lebih berkeadilan dan berkepastian hukum;
d. melaksanakan reformasi administrasi, kebijakan perpajakan yang konsolidatif, dan perluasan basis perpajakan; dan
e. meningkatkan kepatuhan sukarela Wajib Pajak