Oleh : Dhea Riski Triani
email: dheariskitriani@gmail.com
Privilege atau hak istimewa memiliki kekuatan untuk menciptakan dan melanggengkan status sosial dalam masyarakat. Banyak kasus sederhana dari privilege, contohnya pebandingan antara anak yang harus membantu orang tuanya berjualan sepulang sekolah, dan mengorbankan waktunya untuk bermain bersama teman-temannya karena keterbatasan ekonomi.Â
Sedangkan di samping itu ada anak yang memiliki privilege atau keistimewaan dalam hal kepemilikan uang, entah itu untuk biaya pendidikan atau sekadar uang jajan.Â
Dari kasus tersebut, telah memperlihatkan adanya perbedaan privilege antara anak yang kekurangan materi dengan anak yang memiliki materi serba cukup. Dalam (Crevani, 2017) disebutkan bahwa konsep privilege dapat digunakan untuk mengekspresikan 'cara-cara sosial' ketidaksetaraan yang diaktualisasikan melalui pengalaman hidup sehari-hari, sistem dan institusi.Â
Di dalam ranah pendidikan, privilege memainkan perannya sendiri, seperti keistimewaan yang dirasakan dalam kualitas pendidikan yang ada di masyarakat memungkinkan seseorang untuk melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi, serta memberi mereka tempat yang lebih kuat dan stabil di masyarakat.Â
Sedangkan bagi orang yang tidak memiliki akses dan modal menuju pendidikan yang berkualitas, maka sulit baginya untuk mendapatkan posisi yang kuat di masyarakat.
Sejalan dengan hal di atas, tulisan ini berusaha melihat lebih lanjut bagaimana lembaga pendidikan menciptakan budaya privilege melalui salah satu perspektif Pierre Bourdieu terkait dengan teori modal-nya. Konsep privilege atau hak istimewa Bourdieu ini disebut juga sebagai modal.Â
Teori modal Bourdieu tidak bisa dilepaskan dari konsep dominasi lainnya, seperti habitus dan arena. Dalam (Takwin, 2009) habitus merupakan hasil pembelajaran lewat pengasuhan dan bersosialisasi dalam masyarakat. Proses pembelajarannya sangat halus, tak disadari dan tampil sebagai hal yang wajar. Sedangkan arena adalah bentuk kecil dari dunia sosial, penuh mufakat yang bekerja secara otonom dengan hukumnya sendiri, misalnya arena politik, seni, agama, dan sebagainya (Riyono, 2021).
Dalam (Jgera & Stine, 2017) Pierre Bourdieu menawarkan penjelasan yang berpengaruh tentang mengapa beberapa anak lebih berhasil dalam sistem pendidikan daripada anak lainnya.Â
Hal tersebut diakibatkan kepemilikan modal yang berbeda pada setiap anak. Dalam (Abdella, 2018) pemaknaan Bourdieu tentang modal tidak hanya sekadar dimaknai sebagai modal berupa materi, namun modal adalah sebuah hasil kerja yang terakumulasi.Â
Bourdieu membagi modal dalam empat bagian, yaitu modal ekonomi, modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik. Kepemilikan keempat kapital tersebut tentunya memberikan pengaruh pada habitus seseorang, misalnya orangtua yang memiliki modal budaya berupa mindset terbuka dan mampu mendorong anaknya untuk berprestasi dalam sistem pendidikan melalui kemampuan akses kepada biaya pendidikan yang mahal.
Kemunculan Praktik Lembaga Bimbingan Belajar (Bimbel) sebagai Arena Kontestasi Privilege
Bimbingan belajar di luar sekolah telah masuk ke dalam sistem pendidikan di seluruh dunia dengan kesuksesan yang sangat luar biasa selama dua dekade terakhir.Â
Dalam (Amelia, 2017) bimbingan belajar menurut Hamalik ditujukkan kepada siswa untuk mendapat pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat, kemampuannya dan membantu siswa untuk menentukan cara-cara yang efektif dan efisien dalam mengatasi masalah belajar yang dialami oleh siswa.Â
Ada banyak model bimbingan belajar masa kini, mulai dari lembaga bimbingan belajar konvensional sampai lembaga bimbingan belajar online, seperti ruangguru, zenius, quipper, dan lainnya. Kehadiran berbagai lembaga bimbingan belajar itu menawarkan cara dan metode praktis dalam mengerjakan soal-soal ujian.Â
Hal tersebut dikarenakan banyaknya siswa yang masih kurang paham terkait materi yang disampaikan guru di sekolah, tetapi sayangnya anak yang berasal dari kelas bawah tidak bisa mendapatkan materi tambahan dan trik-trik jitu dalam mengerjakan soal-soal ujian.
Dalam (Irving, 2020) bahwasannya di sebagian besar Asia, mengikuti les privat atau bimbingan belajar adalah sebuah rutinitas. Beberapa orang tua di Cina menghabiskan lebih dari $10,000 ($14,000) satu semester untuk persiapan ujian masuk universitas. Hal tersebut menunjukan bagaimana peran orang tua yang mampu membeli kursus tambahan/bimbingan belajar (bimbel) untuk mendorong anak-anak mereka unggul dari rekan-rekan mereka dalam ujian, dan mengamankan masuk ke sekolah serta perguruan tinggi yang lebih bergengsi.Â
Bagi Bourdieu dalam (Rogoi & Branislava, 2016) hal tersebut termasuk dalam modal budaya, yang di mana ia melihat ada kualitas hubungan dalam keluarga (misalnya, dukungan dan partisipasi orang tua dalam kegiatan bersama dengan anak/siswa). Tentu sebuah privilege bisa mempunyai orangtua dengan pemikiran yang terbuka terhadap pendidikan. Memang pada dasarnya bagi orang tua yang sadar sosial, keinginan untuk memberi anak-anak peluang terbaik bagi karirnya sangat besar.
Disebutkan dalam (Wirth, dkk. 2017) rendahnya mata pelajaran yang memiliki prestise rendah terkait dengan pendidikan, pengajaran dan pengasuhan didominasi oleh siswa berlatarbelakang sosial rendah. Sehingga permasalahan lain muncul ketika bimbingan belajar lebih berkualitas untuk menciptakan pelajar yang berprestasi.Â
Penelitian oleh (Tarkuni, 2021) di sebuah sekolah menunjukan bahwa meningkat atau menurunnya prestasi belajar ditentukan oleh bimbingan belajar sebesar 97%. Salah satu alasan mengapa orang tua dan anak memutuskan untuk mengambil bimbingan belajar di luar sekolah adalah dikarenakan buruknya iklim kurikulum yang membosankan.Â
Sebagai contoh, banyak guru di dalam kelas sering memaparkan materinya dengan kaku, dibanding berupaya untuk menjelaskan secara menarik dan kreatif. Sehingga anak dari kelas sosial bawah yang tidak memiliki privilege mendapatkan bimbingan belajar di luar sekolah akan mengikuti sistem pembelajaran yang ada di sekolah itu.Â
Istilah  sekolah favorit atau perguruan tinggi bergengsi bagi golongan kelas menengah ke bawah bukanlah sebuah mimpi yang mudah diwujudkan. Sekolah favorit yang memiliki prestise biasanya termasuk sekolah dengan biaya mahal. Untuk bisa masuk ke sekolah favorit atau perguruan tinggi yang bergengsi tidak hanya cukup bermodalkan kecerdasan otak. Namun, ada sumber daya lain berupa dana materi agar bisa diterima. Rasanya itu terlihat berbeda dengan siswa kaya yang dapat bebas memilih untuk bersekolah di manapun.
Keberlanjutan pola di atas akhirnya menghasilkan persepsi bahwa siswa yang pintar dan mampu bersekolah di lembaga yang bergengsi hanyalah dari orang-orang yang memiliki modal atas sumber daya.Â
Akibatnya dalam (Hidayat, 2011) kurikulum menjadi arena kontestasi perebutan kekuasaan, serta arena memproduksi dan mendistribusikan modal-modal simbolik yang dimiliki.Â
Modal simbolik ini digunakan kelas dominan sebagai perantara untuk menggunakan power-nya kepada orang lain yang lebih rendah dan lemah, sehingga orang yang tidak memiliki kekuasaan akan menuruti perintah kelas dominan.Â
Penelitian yang dilakukan Nanang Martono tahun 2012 menghasilkan kesimpulan bahwa kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin dalam ruang lingkup pendidikan sengaja dipelihara dengan memaksakan pemakaian budaya dominan yang digunakan sebagai standar.Â
Hal tersebut bisa kita lihat lewat proses dan aturan-aturan yang menjadi kebiasaan kelas dominan yang dipaksa untuk masuk ke dalam struktur sosial di lembaga sekolah, misalnya kegiatan ekstrakurikuler yang membutuhkan biaya mahal, atau sekadar kegiatan study tour ke luar negeri yang tentunya tidak bisa dijamah langsung oleh siswa miskin.Â
Tentunya bagi siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu akan mengalami kesulitan dalam hal mengikuti gaya hidup kelas dominan tersebut, yakni kelas sosial atas. Akhirnya karena mutu kurikulum yang tidak setara di sekolah membuat pendidikan tidak lagi setara.Â
Bahkan banyak siswa dari kalangan kelas bawah atau kelas pekerja tidak pernah berpikir untuk memasuki bidang pendidikan tinggi yang lain. Padahal pemerintah harusnya menempatkan tanggung jawab yang sangat besar untuk memastikan warganya menerima pendidikan yang berkualitas dan setara. Walapun banyak sekolah gratis atau beasiswa pendidikan lainnya, tetapi sayang penerapannya belum tepat sasaran.
Daftar Pustaka :
Abdella, Rahajeng Ayesha. 2018. Reproduksi Kelas Sosial Melalui Pendidikan Non Formal (Studi Kasus Terhadap Bimbingan Belajar Primagama) Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah
Amelia, Nur. 2017. Pengaruh Bimbingan Belajar terhadap Hasil Belajar Peserta Didik Kelas IV SD Inpres Batangkaluku Kabupaten Gowa. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
Crevani, Lucia. 2017. Privilege in Place: How Organisational Practices Contribute to Meshing Privilege in Place. Scandinavian Journal of Management. https://doi.org/10.1016/j.scaman.2018.09.002
Hidayat, Rakhmat. 2011. Pengantar Sosiologi Kurikulum. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Irving, Emma. 2020. Tutoring the Super Rich. https://www.afr.com/work-and-careers/education/tutoring-the-super-rich-20201026-p568tf. Diakses pada 20 Mei 2022
Jgera, Mads Meier & Stine Mllegaardb. 2017. Cultural Capital, Teacher Bias, and Educational Success: New Evidence from Monozygotic Twins. Social Science Research Volume 65. https://doi.org/10.1016/j.ssresearch.2017.04.003
Martono, Nanang. 2012. Kekerasan Simbolik di Sekolah. Sebuah Ide Sosiologi Pendidikan Pierre Bourdieu. Depok: PT Rajagrafindo Persada
Riyono, Ahdi. 2021. Menjadi Guru Kreatif di Institusi Pendidikan: Perspektif Pemikiran Kritis Pierre Bourdieu. Prosiding 3rd Telcecon
Rogoi & Silvia & Branislava Baranovi. 2016. Social Capital and Educational Achievements: Coleman vs. Bourdieu. ceps Journal. Vol. 6. No. 2
Takwin, Bagus. 2009. Proyek Intelektual Pierre Bourdieu: Melacak Asal-usul Masyarakat, Melampaui Oposisi Biner dalam Ilmu Sosial. Dalam: Harker, Richard, dkk. (ed.). (Habitus X Modal) + Ranah = Praktik: Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu. Yogyakarta: Jalasutra.
Tarkuni. 2021. Pengaruh Bimbingan Belajar Terhadap Prestasi Belajar Siswa Kelas V di Sekolah Dasar. Pedagogi : Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran. 1(1), 18--23. Retrieved from https://journal.actual-insight.com/index.php/pedagogi/article/view/78
Wirth, Erna Nairz. 2017. Habitus Conflicts and Experiences of Symbolic
Violence as Obstacles for Non-Traditional Students. European Educational Research Journal
2017, Vol. 16(1). DOI: 10.1177/14749041.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H