Istilah  sekolah favorit atau perguruan tinggi bergengsi bagi golongan kelas menengah ke bawah bukanlah sebuah mimpi yang mudah diwujudkan. Sekolah favorit yang memiliki prestise biasanya termasuk sekolah dengan biaya mahal. Untuk bisa masuk ke sekolah favorit atau perguruan tinggi yang bergengsi tidak hanya cukup bermodalkan kecerdasan otak. Namun, ada sumber daya lain berupa dana materi agar bisa diterima. Rasanya itu terlihat berbeda dengan siswa kaya yang dapat bebas memilih untuk bersekolah di manapun.
Keberlanjutan pola di atas akhirnya menghasilkan persepsi bahwa siswa yang pintar dan mampu bersekolah di lembaga yang bergengsi hanyalah dari orang-orang yang memiliki modal atas sumber daya.Â
Akibatnya dalam (Hidayat, 2011) kurikulum menjadi arena kontestasi perebutan kekuasaan, serta arena memproduksi dan mendistribusikan modal-modal simbolik yang dimiliki.Â
Modal simbolik ini digunakan kelas dominan sebagai perantara untuk menggunakan power-nya kepada orang lain yang lebih rendah dan lemah, sehingga orang yang tidak memiliki kekuasaan akan menuruti perintah kelas dominan.Â
Penelitian yang dilakukan Nanang Martono tahun 2012 menghasilkan kesimpulan bahwa kesenjangan sosial antara yang kaya dan miskin dalam ruang lingkup pendidikan sengaja dipelihara dengan memaksakan pemakaian budaya dominan yang digunakan sebagai standar.Â
Hal tersebut bisa kita lihat lewat proses dan aturan-aturan yang menjadi kebiasaan kelas dominan yang dipaksa untuk masuk ke dalam struktur sosial di lembaga sekolah, misalnya kegiatan ekstrakurikuler yang membutuhkan biaya mahal, atau sekadar kegiatan study tour ke luar negeri yang tentunya tidak bisa dijamah langsung oleh siswa miskin.Â
Tentunya bagi siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu akan mengalami kesulitan dalam hal mengikuti gaya hidup kelas dominan tersebut, yakni kelas sosial atas. Akhirnya karena mutu kurikulum yang tidak setara di sekolah membuat pendidikan tidak lagi setara.Â
Bahkan banyak siswa dari kalangan kelas bawah atau kelas pekerja tidak pernah berpikir untuk memasuki bidang pendidikan tinggi yang lain. Padahal pemerintah harusnya menempatkan tanggung jawab yang sangat besar untuk memastikan warganya menerima pendidikan yang berkualitas dan setara. Walapun banyak sekolah gratis atau beasiswa pendidikan lainnya, tetapi sayang penerapannya belum tepat sasaran.
Daftar Pustaka :
Abdella, Rahajeng Ayesha. 2018. Reproduksi Kelas Sosial Melalui Pendidikan Non Formal (Studi Kasus Terhadap Bimbingan Belajar Primagama) Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah
Amelia, Nur. 2017. Pengaruh Bimbingan Belajar terhadap Hasil Belajar Peserta Didik Kelas IV SD Inpres Batangkaluku Kabupaten Gowa. Skripsi. Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar