Diawali dengan realita dunia maya yang memperlihatkan luasnya keterjangkauan menyibak dunia. Hampir-hampir setiap sudut bumi tidak ada yang tidak diketahui peristiwa dan hal identiknya. Mc Luhan dalam karyanya "Understanding Media" menjelaskan fenomen pergerakan cepat dalam global village yang menjadikan daerah pinggiran mengenal kecangghan teknologi. Internet menjadi fasilitator dalam peran media massa menyebar informasi, bahkan menyentuh lini saudara virtualnya yaitu media sosial. Informasi berkembang pesat melalui tangan-tangan pemegang koneksi internet. Beritikad baik membagi informasi, dampak yang terjadi malah sebaliknya-bila tidak berhati-hati. Selamat datang dalam dunia teknologi informasi.
Diberitakan bahwa pandemi virus corona atau Covid-19 mulai masuk ke Indonesia di awal Bulan Maret 2020. Terhitung sudah, enam bulan masyarakat berdampingan dengan Covid-19. Media massa tidak lelah mengabarkan situasi aktual perkembangan dan dampaknya. Televisi, laman daring, radio, surat kabar menjadi medium media massa. Sesuai dengan fungsinya to inform (menginformasi), to entertain (menghibur), dan to educate (mendidik). Selaras demikian, masyarakat turut bergantung pada informasi yang disuguhkan.
Statusnya yang lekat dengan dunia kesehatan, pemberitaan mengenai Covid-19 sudah semestinya mendapat perhatian khusus dalam konten dan teknis sebagai pertimbangan berbagi kepada khalayak. Berdasar pada prinsip jurnalisme dalam sembilan elemen jurnalisme oleh Bill Kovach dan Tom Rosentiel yang menyebutkan bahwa kewajiban jurnalisme yang pertama adalah berpihak pada kebenaran.
Dalam jurnal Kesehatan Publik yang berjudul "Leveraging Media and Health Communication Strategies to Overcome the Covid19 Infodemic", Nour Mheidly dan Jawad Fares menjelaskan bahwa peran media menjadi sangat penting sebab menjadi mata bagi publik dalam memahami peristiwa. "Media juga berkontribusi secara substansial terhadap kesadaran dan promosi kesehatan, menjadikannya mediator penting untuk komunikasi kesehatan."
Dalam New South Wales Department of Health, Shciavo mengabarkan bahwa komunikasi kesehatan adalah strategi kunci untuk menginformasikan khalayak tentang kepedulian dan pentingnya memelihara isu tentang kesehatan dalam agenda publik.
Sudah menjadi karakter jurnalisme untuk tidak terikat pada satu bidang pembahasan. Jurnalis dituntut untuk mudah menyesuaikan diri dengan berbagai aspek yang menjadi topik berita. Â Menjadi catatan sekaligus saran bagi praktik jurnalisme untuk bijak dalam mengemas berita yang berkaitan dengan kesehatan-dalam hal ini Covid-19. Produk berita yang dihasilkan akan dikonsumsi, dipertimbangkan, dan dijadikan referensi khalayak dalam mengambil suatu keputusan.
Schiavo menambahkan, hambatan yang akan terjadi dalam proses tansmisi pesan yang berkaitan dengan kesehatan antara lain: tingkat pendidikan, tingkat literasi kesehatan, bahasa, perbedaan budaya, usia, keterbatasan kognisi, jargon kesehatan yang sulit dipahami, penyakit akibat stres dan ketidakseimbangan kekuatan (power) antara pasien dan penyelenggara kesehatan.
Pemilihan diksi dalam penyampaian hal-hal yang terkait dengan kesehatan dalam pemberitaan Covid-19 juga perlu dipertimbangkan. Disesuaikan dengan segmentasi yang dituju, perlu penyederhanaan atau tetap sesuai bahasa medis dalam konteks penyebutan diksi sehubungan dengan dunia kesehatan. Lebih dalam mengenai konsep kesesuaian konteks dengan persitiwa, para jurnalis perlu diskusi mendalam dengan para ahli di bidang kesehatan supaya ditemukan titik kejelasan kepantasan bahasa yang digunakan.
Pemberitaan suatu peristiwa baik secara langsung atau tidak akan memberi efek kepada para audiens. Bahkan kepada mereka yang mengatakan akan memfilter dengan sebaik-baiknya filter. Sebab era dinamis sekarang, ada banyak laman media massa yang menyediakan informasi. Hal ini yang mendasari potensi besar terjadinya kebingungan dalam mencari kebenaran peristiwa di sisi lain menghindarkan diri dari salah menetapkan tindakan.
Pemberitaan Covid-19 ini lekat dan erat kaitannya dengan keselamatan dan kesejahteraan manusia. Dengan demikian, masyarakat akan terdorong untuk selalu mencari dan membaca berita terkait. Dengan adanya komunikasi kesehatan yang tepat dalam setiap pemberitaan, potensi dari dampak buruk yang ditimbulkan juga akan menjadi berkurang.
Memang benar bahwa segala yang terjadi akibat pandemi Covid-19 harus diberitakan secara transparan. Konsekuensinya, dampak destruktif Covid-19 tidak boleh ditutupi dan akan dicerna masyarakat. Pada sisi ini komunikasi kesehatan mengambil peran, menjadi senjata untuk mengemas berita untuk mengedukasi masyarakat supaya tidak panik. Menuntun masyarakat untuk dapat waspada. Waspada akan memotivasi untuk siaga dan berjaga dengan perencanaan dan pemikiran yang matang. Perilaku panik hanya akan memperkeruh suasana tanpa fokus pada permasalahan sesungguhnya. Ditambah budaya berbagi informasi yang belum tentu kebenarannya.
Memang tidak mudah untuk memahami komunikasi kesehatan secara keseluruhan. Memahaminya berarti berlajar tentangnya, yang membutuhkan banyak waktu layaknya para tenaga medis belajar di bidangnya. Khalayak membutuhkan informasi tentang Covi-19 yang akurat, tepat, dan pastinya tidak menjadikan mereka khawatir. Meski demikian, jurnalis tidak perlu tergesa-gesa atau kebingungan. Ada kunci untuk berpegang pada kebenaran dan verifikasi yaitu dengan strategi.
Nour Mheidly dan Jawad Fares berpendapat bahwa ada beberapa strategi untuk menjaga tersampaikannya informasi yang tepat sasaran dengan diksi yang berkesinambungan dengan dunia kesehatan, antara lain:
(1) Memberikan ruang yang lebih luas bagi profesional medis, ilmuwan, dan kesehatan masyarakat untuk memberikan informasi yang otentik, bermanfaat, dan transparan untuk umum, (2) mempromosikan situs web organisasi kesehatan masyarakat melalui mesin pencari, (3) verifikasi akun tenaga kesehatan masyarakat di platform media sosial populer, (4) mempromosikan posting kesehatan masyarakat dan profesional medis, (5) memantau keterlibatan di platform media sosial untuk mengontrol pesan yang disampaikan, (6) menetapkan program yang membantu orang mengatasi stres dan mengatasi mental mereka masalah kesehatan, (7) mengadopsi gaya komunikasi empati untuk menarik perhatian dan alamat public, (8) mempromosikan dialog untuk memahami persepsi orang dan motif di balik, bagikan pengalaman pribadi di media sosial untuk memerangi informasi yang salah, (9) strategi komunikasi kesehatan langsung terhadap populasi minoritas dan orang-orang, (10) mengembangkan materi pendidikan dan mempercepat berbagi ilmu berbasis bukti untuk mengatasi persepsi yang ada yang salah, perilaku yang benar, dan mempromosikan praktik kesehatan, dan (11) meningkatkan investasi dalam penelitian dan pengembangan komunikasi kesehatan untuk mengeksplorasi dan memahami cara-cara strategis dalam menargetkan populasi yang berbeda kelas, ras, dan etnis yang berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H