Mohon tunggu...
Dhea Syifa Malika
Dhea Syifa Malika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Prodi Pendidikan Sosiologi UNJ

Hai, perkenalkan nama saya Dhea Syifa Malika. Saat ini saya sedang menempuh studi S1 Pendidikan Sosiologi di Universitas Negeri Jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Pemuda dan Kekerasan: Potret Kesalahan Pola Asuh Orang Tua

21 Maret 2023   13:28 Diperbarui: 21 Maret 2023   13:31 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Konsep Pemuda

Konsep pemuda bersifat cair. Adanya beragam perspektif membuat gagasan tentang pemuda menjadi sangat kompleks. Istilah "pemuda" secara normatif merujuk pada orang yang berusia antara 16-30 tahun yang sedang memulai tahap pertumbuhan dan perkembangan yang penting. Secara sosial, pemuda dapat didefinisikan sebagai orang yang berkembang secara mandiri dan terintegrasi ke dalam masyarakat. Kenneth Kenniston, dalam bukunya yang berjudul Youth of Society mendefinisikan masa muda sebagai periode antara masa kanak-kanak dan dewasa ketika seseorang berjuang untuk menjadi mandiri dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial.

Konsep Kekerasan

Kekerasan memiliki korelasi dengan perilaku agresi. Agresi dimaknai sebagai setiap tindakan yang dimaksudkan untuk menyakiti orang lain baik secara verbal, fisik, atau psikis. Perilaku agresi termanifestasi ke dalam bentuk gagasan, perasaan, dan perbuatan. Sementara itu, kekerasan didefinisikan sebagai perilaku agresi dengan maksud untuk melukai, menyakiti, atau bahkan membunuh orang lain. Kekerasan berbeda dengan agresi. Ketika seorang pemuda menyebarkan rumor di kalangan teman sebayanya, tindakan tersebut bukan merupakan kekerasan. Namun apabila pemuda tersebut memukul, menendang, atau menikam teman sebayanya maka perbuatannya tersebut dapat dikatakan sebagai kekerasan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa semua tindak kekerasan bersifat agresif, tetapi tidak semua perilaku agresi adalah kekerasan.

Kekerasan terbagi ke dalam empat kategori. Pertama, kekerasan berupa penganiayaan fisik, misalnya pemukulan dan pengeroyokan. Kedua, kekerasan seksual reproduksi, berupa serangan fisik dan psikologis  untuk merusak organ reproduksi dan melakukan aktivitas yang merendahkan atau mempermalukan seseorang yang ditujukan pada pengalaman seksualnya. Ketiga, kekerasan psikologis, meliputi penyerangan terhadap harga diri, penghinaan, perilaku mempermalukan, upaya menanamkan rasa takut dan teror dalam segala manifestasinya, termasuk kata-kata kasar, ancaman, penghinaan, dan bentuk-bentuk kekerasan yang berdampak pada pikiran, seperti ketelanjangan dan pemerkosaan. Keempat, agresi yang disebabkan oleh deprivasi, misalnya penelantaran anak dan keterpisahan dari pemenuhan kebutuhan dasar.

Pemuda dan Kekerasan

Pemuda sebagai agent of change memiliki kapasitas untuk memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat berkat kekuatan fisik dan intelektual mereka. Idealisme tinggi yang menjadi ciri kaum muda pada umumnya sangat menjanjikan bagi perkembangan peradaban manusia. Namun sayangnya, pemuda masa kini tampaknya tidak memiliki banyak karakteristik kepemudaan. Pemberitaan negatif mengenai pemuda seringkali dengan mudah kita jumpai. Keadaan ini merupakan sebuah anomali. Bagaimana tidak? Alih-alih menjadi tumpuan harapan bagi masa depan bangsa, banyak pemuda justru terlibat dalam beberapa insiden kekerasan dan kegiatan kriminal lainnya.

Menurut teori fakta sosial, kehidupan manusia sesungguhnya dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat eksternal namun mengikat dalam bentuk aturan dan cara bertindak yang dianggap baik atau benar oleh masyarakat secara kolektif. Terkait hal ini, pemuda tidak lepas dari nilai dan norma yang mengatur kehidupannya. Adanya kontrol melalui nilai dan norma di satu sisi menyebabkan terciptanya pola interaksi yang dinamis dan membentuk keteraturan. Namun di sisi lain, adanya pembatasan dan aturan yang mengekang dapat menimbulkan resistensi. Pada akhirnya resistensi dapat berujung pada aksi perlawanan maupun pembangkangan terhadap nilai dan norma kolektif yang kemudian dapat menyebabkan timbulnya perilaku menyimpang. Salah satu perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pemuda adalah kekerasan.

Pemuda dan Kekerasan:  Potret Kesalahan Pola Asuh Orang Tua

"Menjadi orang tua adalah hal yang sulit." Mungkin kita sudah tidak asing dengan kalimat tersebut, terdengar klise namun begitulah adanya. Keluarga sebagai agen sosialisasi pertama dan utama memikul beban berat dalam mereproduksi nilai kultural dan sosial kepada setiap anggotanya. Lingkungan utama setiap orang adalah keluarga. Keluarga merupakan tempat belajar pertama kali panak sebelum mereka menjadi bagian dari lingkungan yang lebih besar. Oleh karena itu anak-anak akan terlebih dahulu menyerap aturan dan nilai-nilai yang berlaku dalam keluarganya untuk menjadi bagian dari kepribadian mereka sebelum mempelajari standar dan nilai-nilai masyarakat.

Keluarga memegang peranan sentral dalam meningkatkan atau mengurangi risiko kekerasan yang dilakukan oleh pemuda. Meskipun keluarga bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan seorang pemuda berperilaku menyimpang, namun keluarga khususnya orang tua memiliki andil besar dalam proses perkembangan kepribadian dan penanaman nilai-nilai moral terhadap setiap anggotanya. Salah satu aspek yang menjadi penyebab utama timbulnya perilaku kekerasan oleh pemuda adalah kesalahan pola asuh yang dilakukan orang tua.

Pendekatan terbaik yang dapat digunakan orang tua untuk mendidik anak-anaknya sekaligus menunjukkan pertanggungjawaban atas peran mereka adalah melalui pengasuhan. Pola asuh merupakan cara orang tua berinteraksi dengan anaknya. Sikap ini dapat diamati dalam beberapa cara, seperti bagaimana orang tua membuat rencana dengan anak-anak mereka, bagaimana mereka memberikan penghargaan dan hukuman, bagaimana mereka menjalankan otoritas, bagaimana mereka memperhatikan anak-anak mereka, dan bagaimana mereka bereaksi terhadap permintaan mereka. Oleh karena itu konsep pola asuh dapat didefinisikan sebagai sikap atau cara di mana orang tua berhubungan atau terlibat dengan anak-anak mereka, termasuk bagaimana mereka merawat, mengawasi, mendidik, membimbing, melatih, membantu, dan mendisiplinkan anak-anaknya.

Hurlock (1999) mengidentifikasi adanya tiga bentuk pengasuhan atau parenting yang berbeda, yaitu pengasuhan demokratis, pengasuhan otoriter, dan pengasuhan permisif. Ketiga bentuk parenting ini berdampak pada pembentukan perilaku anak.

  • Pola Pengasuhan Demokratis

Orang tua yang menerapkan pola asuh demokratis akan menunjukkan sikap menghargai kebebasan anak yang tidak mutlak seraya membimbing anak dengan penuh pengertian, memberikan pembenaran yang rasional, dan tidak memihak ketika keinginan dan pendapat anak tidak sejalan. Anak-anak yang dibesarkan dengan cara ini mampu mengembangkan rasa tanggung jawab dan berperilaku sesuai dengan norma sosial.

  • Pola Pengasuhan Otoriter

Pola asuh otoriter adalah pola asuh dimana orang tua menetapkan aturan dan batasan yang mutlak harus diikuti, tanpa memberikan kesempatan anak untuk menolak dan jika anak tidak patuh akan diintimidasi dan dihukum. Pola asuh otoriter dalam istilah sekarang disebut juga sebagai strict parenting. Dengan diterapkannya pola asuh ini, anak-anak mungkin akan kehilangan kebebasan dan inisiatif yang pada akhirnya dapat membuat anak kurang percaya diri.

  • Pola Pengasuhan Permisif

Ketika orang tua menerapkan pola pengasuhan permisif, mereka akan membiarkan anak-anak melakukan apapun yang diinginkan tanpa adanya pembatasan atau kontrol sedikit pun. Akibat tidak adanya kendali tersebut, maka anak diberi kebebasan penuh. Pola asuh ini dapat menyebabkan anak berperilaku sesuka mereka tanpa harus bertanggung jawab atas apa yang mereka lakukan.

Berdasarkan ketiga jenis pola asuh tersebut, jelas bahwa pola pengasuhan secara demokratis menjadi tipe yang paling ideal. Hal ini karena orang tua menghargai dan memberi kebebasan kepada anak disertai dengan bimbingan dan arahan agar anak berperilaku sesuai dengan nilai dan norma yang ada. Pola asuh otoriter dan permisif sangat rentan menyebabkan anak berperilaku menyimpang. Orang tua yang terlalu mengatur atau bersikap otoriter akan membuat pemuda merasa terkekang. Akibatnya, muncul perlawanan dari diri mereka dengan mencari pelampiasan kepada hal yang negatif seperti kekerasan. Pola asuh yang bersifat terlalu membebaskan anak juga tidak baik karena dapat membentuk berperilaku anak yang sesuka hatinya, nirempati, dan tidak bertanggung jawab atas hal-hal yang dilakukannya. Pemuda yang diasuh dengan pola permisif cenderung akan melakukan kekerasan terhadap orang lain karena menganggap dirinya dapat berbuat apapun tanpa adanya pembatasan atau pelarangan dari orang tua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun